[caption id="attachment_2069" align="alignleft" width="300"] ujian-nasional-2013[/caption]
gagasanriau.com- Ketika mendengar kata “UN”, pikiran kita akan melayang membayangkan pengalaman melewati masa-masa kritis penghujung sekolah, setumpuk buku, les tambahan yang cukup merogoh kantong orang tua. Ujian Nasional menjadi momok menakutkan akhir-akhir ini. Seakan-akan Ujian Nasional lah penentu masa depan para siswa. Setiap tahun kata “tidak lulus” yang tertera di amplop saat pengumuman kelulusan dapat membuat siswa depresi hingga menelan korban bunuh diri.
Tidak hanya siswa yang menanggung beban psikologis, tetapi orang tua para siswa ikut menanggung perasaan malu di masyarakat. Di tambah lagi reputasi sekolah akan di nilai buruk ketika memiliki tingkat ketidaklulusan yang tinggi. Hal ini memancing para guru untuk melakukan kecurangan saat ujian nasional. Ujian Nasional tak ubahnya seperti monster tangguh yang dilawan dengan konspirasi siswa-guru. Alangkah gawatnya negeri ini, generasi muda di pupuk nilai-nilai korup dan menghancurkan budaya jujur dan sportivitas. Pada akhirnya Ujian Nasional menjadi ajang kecurangan “yang mahal” dari tingkat elit hingga tingkat bawah.
Indonesia Research Center (IRC) mencatat Ujian Nasional (UN) 2013 kali ini sebagai yang termahal sepanjang sejarah.UN di atur dalam Pasal 58 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/UU Sisdiknas dimana mengatur soal standarisasi. Pelaksanaan ujian nasional yang kacau balau ini sebagai cermin sekaratnya sistem pendidikan di Indonesia. Masalah kronisnya terletak pada arah sistem pendidikan.
Apakah arah pendidikan untuk menjahit krisis kapitalisme global yang semakin akut? Atau kah untuk menjawab kenyataan hidup rakyat dibawah cengkraman kapitalisme ?
Keributan yang sedang marak dibicarakan di picu oleh keterlambatan soal UN dan LJK dari 33 propinsi, 11 provinsi harus menunda pelaksanaan UN karena alasan teknis pencetakan soal dan distribusi. Telah menjadi rahasia umum bahwa kegaduhan ujian nasional setiap tahun telah mencabik-cabik wajah sistem pendidikan di Indonesia. Bocornya soal, siswa mencontek, soal tertukar, joki UN, dan persoalan lainnya menambah parah wajah Ujian Nasional. Anggaran pelaksanaan UN sebesar Rp. 644,25 milyar tahun ini merupakan anggaran terbesar sepanjang sejarah Ujian Nasional. Dengan anggaran sebesar itu akan lebih berguna dengan membangun dan memperbaiki infrastruktur sekolah. Saat ini KPK mulai mengusut indikasi korupsi anggaran UN yaitu: pembengkakan anggaran UN sekitar Rp. 100,8 milyar, biaya per siswa yang awalnya Rp. 39 ribu membengkak menjadi Rp. 53 ribu per siswa, dan kualitas LJK yang tipis.
Peribahasa “Jauh panggang dari api” cukup tepat menggambarkan logika pemerintah atas ujian nasional sebagai penentu kelulusan siswa. Ujian nasional mampu menjadi tukang vonis tentang pintar atau bodoh tergantung pada lulus-tidaknya siswa. Apalagi ketidaklulusan siswa hanya karena lembar jawaban yang tidak terbaca oleh komputer. Bagaimana mungkin menseragamkan kualitas soal ujian secara nasioanal, antara sekolah-sekolah di perkotaan dan pedesaan/pedalaman. Secara infrastruktur sekolah sangat jauh berbeda, metode pendidikan, fasilitas penunjang kurikulum, kualitas guru. Sehingga tidak dapat di pungkiri ada yang salah dan harus diperbaiki dari sistem pendidikan di Indonesia.
Sekilas Situasi Sistem Pendidikan
Pondasi awal pembangunan pendidikan di Indonesia dapat di rekam dari jejak politik etis oleh Belanda. Pendidikan saat itu dibangun dengan tujuan memaksimalkan produktivitas penjajahan (kapitalisme Dagang), hanya golongan priyayi yang dapat menikmati pendidikan saat itu. Ratusan tahun berlalu, secara esensial pendidikan sekarang tak banyak berubah. Hanya orang berduit yang dapat menikmati sekolah. 20% dana pendidikan (termaksud komponen gaji guru) tidak menyurut angka putus sekolah siswa, berdasarkan data Depdikbud bahwa setiap 1 menit terdapat 4 anak putus sekolah. Pendidikan jadi barang dagangan yang memperbesar perut para pengusaha. Nafas privatisasi dan komersialisasi pendidikan dapat tercium jelas pada UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 terutama dalam pasal pembiayaan pendidikan dan Badan Hukum Pendidikan. Dalam pasal-pasal ini secara jelas dikatakan bahwa masyarakat wajib turut serta dalam membiayai pendidikan, dan Badan Hukum pendidikan diperbolehkan sampai tingkat SD. Tentu saja pada gilirannya privatisasi pendidikan akan memperkecil akses rakyat atas pendidikan yang akhirnya berujung pada semakin akutnya pemiskinan dan penggangguran di Indonesia. Menurut Kemenpora jumlah pada tahun 2012 terdapat 47, 81 % pengangguran terdidik terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi, yaitu 12,78%. Posisi berikutnya disusul lulusan SMA (11,9%), SMK (11,87%), SMP (7,45%) dan SD (3,81%). Kebijakan kontroversi di sistem pendidikan terus bergulir, dari NKK-BKK, UU Sisdiknas, PT BHMN hingga UU Perguruan Tinggi. Kebijakan-kebijakan tersebut yang melambungkan harga pendidikan menjadi komoditas—yang di hargai dengan seberapa banyak uang yang kita miliki.
Era privatisasi dan komersialisasi pendidikan di tandai dengan perubahan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara. Kampus-kampus menjadi lahan basah bagi bisnis korporasi nasional maupun multinasional semakin tinggi harga yang harus di bayar oleh rakyat. Pada Perpres Nomor 76 dan 77 yang merupakan turunan dari UU Penanaman Modal Asing dinyatakan jelas bahwa pemodal dapat melakukan penanaman modal asing ke sektor pendidikan hingga 40%. Pasca di cabutnya UU BHP, Pemerintah tidak kehilangan cara untuk melakukan privatisasi dan komersialisasi dunia pendidikan secara terang-benderang dengan mengesahkan UU Perguruan Tinggi.
UN di masa ORBA
Sistem ujian nasional bermula saat orde baru di bawah kroni Soeharto dan telah mengalami beberapa kali perubahan dari tahun ke tahun, perkembangan ujian nasional tersebut yaitu: Periode tahun 1965 – 1971, pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk semua mata pelajaran. Bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Periode 1972 – 1982, sistem Ujian Sekolah pelaksanaan diselenggarakan oleh masing-masing. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat umum. Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang “sama” dan dapat dibandingkan antar sekolah.
Periode 1982 – 2002, pada tahun 1982 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS dikembangkan dan diseragamkan seluruh sekolah di Indonesia.
Periode 2002-2004, sistem EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Untuk kelulusan siswa pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Penentuan lulus di tentukan oleh hasil siswa pada UAN.
Periode 2005 – sekarang, mulai tahun 2005 untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB. Sedangkan untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.
Segala metamorfosis Ujian Nasional yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah remeh -temeh kurikulum, seolah-olah pemerintah peduli terhadap kualitas pendidikan . Nampak jelas bahwa Ujian Nasional peninggalan rezim Orde Baru adalah upaya untuk menyeragamkan kualitas pendidikan di Indonesia yang nyata-nyatanya berbeda. Bagaimana mungkin melakukan penilaian terhadap kemajuan kualitas pendidikan dengan persentase kelulusan pertahun siswa? Padahal fakta-fakta di atas telah menunjukan bahwa UN hanya ajang kongkalingkong yang tidak ada hubungannya dengan kemajuan kualitas pendidikan. Gonta-ganti “Ujian Nasional” hingga kurikulum hanya berganti baju saja dan membuang sia- sia anggaran pendidikan.
Tanpa menyelesaikan masalah yang paling fundamental dari sistem pendidikan Indonesia. Dunia pendidikan di Indonesia akan terus terpuruk dan jatuh dalam jurang kehancuran. Arena sekolah seharusnya menjadi ajang kegembiraan siswa mengasah pengetahuan, meningkatkan kreatifitas demi meningkat mutu pendidikan yang berkualitas serta memiliki solidaritas tinggi untuk menyelesaikan realitas.
Selama sistem pendidikan Indonesia bernafaskan kepentingan neoliberalisme, selama itulah generasi muda hanya akan dipersiapkan sebagai budak-budak kapitalisme dan melanggengkan hegemoni kapitalisme. Karena sekolah bagi kapitalisme hanyalah alat untuk mencetak generasi yang individualistik, rendah solidaritas dan semakin jauh dari realitas objektif demi mengamankan kepentingan modalnya yang terus beranak-pinak.
Tak cukup Hapus UN
Ujian nasional jelas tidak memiliki mamfaat terhadap kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Hambatan sistem pendidikan kita terletak pada akar ekonomi -politik kapitalistik yang di jalankan oleh pemerintah agen kapitalisme. Selama akar persoalan masih kuat mencengkram Indonesia maka akan sangat sulit mewujudkan pendidikan berkualitas, demokratik, adil/setara hingga bervisi kerakyatan. Karena pemerintah yang kapitalistik tidak berkeinginan membangun sistem pendidikan yang pro terhadap kepentingan rakyat.
Saat ini, sistem pendidikan kapitalistik, kurikulum pendidikan yang kaku dan pesanan kapitalis, arah akademik yang mengejar rating, budaya paternalistik warisan orde baru, guru sebagai pegawai ketimbang pendidik, siswa yang patuh dan siap jual di bursa pasar tenaga kerja hingga buku-buku yang jauh dari sentuhan kritis.
Paul Trowler dalam bukunya education policy (1983) menjelaskan bahwa proses pembuatan kebijakan di dalam sistem pendidikan merupakan pengejewantahan dari ideologi yang di anut oleh kelas berkuasa. Bahwa seluruh ide-ide dan nilai-nilai di dalam masyarakat diatur serta diarahkan pada tujuan kelas berkuasa.
Menurut Paulo Freire, mewujudkan pendidikan yang humanistik (memanusiakan -manusia) terdiri dari tiga kompenen dalam hubungan dialektis yang selaras, yaitu: pengajar, pelajar dan realitas. Pengajar dan pelajar adalah subjek sesuai dengan porsinya masing-masing, sementara realitas merupakan objek yang disadari oleh subjek. Dialektika antara subjek dan objek inilah yang belum digunakan oleh sistem pendidikan di Indonesia yang gaya “bank”. Bahwa anak didik adalah objek investasi. Depositornya adalah pemerintah agen kapitalisme, memapankan hegemoni kelas berkuasa guna memelihara ideologi kapitalisme.
Bagi Freire, sistem pendidikan justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan siswa sebagai manusia-manusia yang terasing dan tersisihkan dari realitas dirinya sendiri dan realitas disekitarnya, karena sistem pendidikan saat ini hanyalah mendidik siswa menjadi menjadi seperti orang lain, atau bukan menjadi dirinya sendiri.
Alternatif
Kuba, negara berkembang yang terkenal sebagai negara pembangkang kapitalis global (Amerika) ternyata memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan. Keberhasilan pemerintah Kuba dalam mendorong kualitas pendidikannya antara lain: 97 % tingkat melek huruf penduduk kuba di atas usia 17 tahun. Setiap 20 siswa sekolah dasar di layani 1 pengajar dan 15 siswa sekolah menengah di layani 1 pengajar. Pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sehingga siswa di fokuskan untuk belajar tanpa memusingkan biaya pendidikan. Pemerintah Kuba juga memiliki inovasi kebijakan “university for all” salah satu program mengajar dengan memanfaatkan media siaran televisi. 394 jam dalam seminggu jatah rakyat menikmati pendidikan langsung lewat siaran televisi. Program tersebut di asuh oleh berbagai profesor di Kuba. Sangat menarik bahwa sistem pendidikan di Kuba di kelola bersama oleh pengajar, siswa dan orang tua siswa. Selama 40-an tahun pasca revolusi, Kuba, semakin memperlihatkan keberhasilan membangun tenaga produktif rakyat dengan perhatian yang sungguh-sungguh dilakukan oleh pemerintah Kuba terhadap pendidikan.
Tak kalah penting juga di Venezuela. Komitmen pemerintah Venezuela terhadap pendidikan di wujudkan dengan kebijakan menaikkan gaji guru. Hingga saat ini gaji guru sudah melampaui angka 8 juta hingga 14 juta perbulan. Sehingga tidak seperti mayoritas guru di Indonesia yang mengesampingkan kepentingan mengajar karena harus mencari peluang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Venezuela, memberikan tunjangan yang dibutuhkan guru hingga mengadakan pelatihan khusus guna memaksimalkan tenaga pengajar.
Tugas: Wujudkan Impian!
Pendidikan harus gratis! Tetapi hal ini bertentangan dengan kepentingan kapitalisme. Pemerintah agen kapitalisme akan melepas tanggung jawab pendidikan jika di nilai bahwa subsidi negara atas pendidikan memberatkan pemerintah. Pendidikan di serahkan pada mekanisme pasar. Alhasil pendidikan menjadi mesin-mesin pencetak generasi yang patuh terhadap dikte-dikte modal.
Jalan keluar dari krisis pendidikan di Indonesia tidak bisa lagi disandarkan pada pemerintah agen imperialis. Kegaduhan ujian nasional hanyalah riak-riak kecil dalam tubuh sistem pendidikan yang sekarat ini. Pendidikan hakikatnya adalah alat bagi rakyat untuk menumbuhkembangkan potensi diri (kognitif,afektif dan psikomotorik) guna menjawab potensi alam demi kesejahteraan bersama. Ujian nasional harus di hapuskan, solusinya bukan dengan memformulasikan kembali ujian nasional, tetapi dengan menyelesaikan akar persoalan sistem pendidikan yang kapitalistik. Ketika pendidikan mahal maka semakin rendah rakyat dalam mengelola potensi diri dan potensi alam. Dan, selanjutnya semakin hancur tenaga produktif rakyat. Hingga akhirnya rakyat akan jatuh pada jurang kemiskinan dan kebodohan.
Kekuatan gerakan mahasiswa masih kecil dalam memenangkan tuntutan-tuntutan pendidikan misalnya pendidikan gratis dari tingkat SD hingga Universitas. Pembukaan demokrasi di kampus-kampus, kurikulum yang bervisi kerakyatan, dll. Padahal dengan kekayaaan alam yang ada pendidikan gratis sangat dimungkinkan. Tetapi apakah mungkin rezim agen kapitalis rela memberikan pendidikan gratis kepada rakyatnya? Tentu saja tidak. Maka, negara harus disterilkan dari kepemimpinan agen imperialisme (rezim SBY-Budiono, partai politik dan elit politik borjuis). Gerakan mahasiswa bersama gerakan rakyat (buruh, tani, kaum miskin kota/desa) berkepentingan menuntut pendidikan gratis serta mewujudkan pengambil-alihan kepemimpinan negara. Mengutip kalimat dari chaves bahwa “untuk memberantas kemiskinan berikanlah kekuasaan kepada orang miskin: pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan [hugo chavez, 2005].
Bermimpi mengharapkan pendidikan gratis, demokratis, ekologis, adil/setara dan bervisi kerakyataan kepada pemerintahan agen Imperialis adalah ketidakmungkinan yang pasti. Sebaliknya dengan kepemimpinan gerakan rakyat lah maka cita-cita sekolah yang mendidik akan terwujud. Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Oleh: Arie Lamondjong*