Mari Saksikan Perdebatan Mitos dalam “Tiang Debu”, Malam Ini di Aula DKR

Jumat, 20 Maret 2015 - 06:15:52 wib | Dibaca: 1842 kali 

Gagasanriau.com Pekanbaru-Tahayul dan mitos menjadi bagian dari perkembangan masyarakat. Mistos yang dibangun dari sugesti nenek moyang, menjadikan mereka seolah pantang larang yang harus dipatuhi untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan. Meski tahayul dan mistos dinilai bertentangan dengan ajaran agama, karena bisa menyeret manusia ke dunia kesyirikan, kebiasaan ini tetap saja hadir beriringan di tengah-tengah masyarakat. Pro-kontra dalam meyakini kepercayaan ini menjadi perdebatan oleh beberapa pihak. Tampaknya hal inilah yang menjadi latar belakang dari teaterawan, Motinggo Boesye menulis sebuah naskah drama berjudul "Tiang Debu". Naskah yang diproduksi pada tahun 1973 ini memaparkan perdebatan tentang keyakinan terhadap tahayul dan mitos yang begitu melekat dikehidupan masyarakat. Melalui sutradara M. Rhiky Pranata, naskah "Tiang Debu" akan dipentaskan pada Jum'at (20/3/15) malam di gedung Dewan Kesenian Riau, Purna MTQ, Pekanbaru pukul 19.30 WIB. Beriring dalam menunaikan tugas wajib menyandang gelar Ahli Madya Seni (A.Md. Sn) di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Rhiky dengan penuh keyakinan mengupas pertunjukan dan kertas kerja naskah "Tiang Debu". "Judul Tiang Debu ini sebuah filosofi dari Motinggo Boesye sang penulis naskah. Tiang diibaratkan sebuah pendirian, kepercayaan yang menjadi penopang utama kehidupan manusia. Baik itu konteksnya agama, maupun tujuan. Nah, tiang yang seharusnya menjadi kepercayaan, atau pendirian ini diibaratkan lagi oleh Motinggo dengan debu. Mampu pudar, tidak kokoh bahkan mudah sirna jika ditiup angin. Judul inilah yang menjadi benang merah dari cerita," ungkap Rhiky sang sutradara ketika ditemui riaukepri.com disela persiapannya, Kamis (19/3/15). Rhiky menambahkan, konteks cerita jika disesuaikan dengan kekinian masih sangat relevan. Meski ditahun 2015 ini manusia dihadapkan kepada dunia teknologi, mitos dan tahayul masih saja hidup di tengah-tengah masyarakat. "Naskah yang ditulis pada tahun 1973 ini masih relevan jika kita telaah hari ini. Meski perkembangan teknologi sangat pesat, tahayul dan mitos masih menjadi bagian kepercayaan masyarakat. Bahkan terkadang dibungkus dengan tradisi atau pariwisata. Seperti mendatangi tempat-tempat yang dianggap mampu memberikan kebaikan," ungkap lelaki kelahiran Bengkalis ini. Dalam cerita naskah, Rhiky memaparkan bahwa tahayul dan mitos menjadi perdebatan sengit oleh tokoh Romo dan tokoh Agus. Romo yang merupakan dukun kampung, sangat dipercayai oleh masyarakatnya akan kejadian yang diramalnya. Sementara Agus yang tidak lain adalah menantunya, sangat tidak mempercayai hal-hal yang berbau tahayul dan mistis. "Agus ini merupakan orang berpendidikan tinggi yang tidak mempercayai mitos. Sementara dirinya tinggal dirumah Romo yang merupakan orang tua angkat istrinya si Sumi. Dari sinilah cerita merangkai konflik," tambah Rhyki sedikit membocorkan cerita. Pementasan yang berdurasi lebih kurang satu setengah jam tersebut dijelaskan Rhiky telah menjalani latihan selama empat bulan. Dengan aktor-aktris yang diperankan oleh Dika sebagai Agus, Mashitah sebagai Sumi, Ilham sebagai Kadir, Rozi sebagai Romo dan Hendra sebagai Mantri, pementasan ini diharapkan mampu diapresiasi oleh penonton. "Pertunjukan ini atas bantuan teman-teman semua. Seperti tradisi kita yang selalu kolektif. Musik digarap oleh Adi Kayu, Ivan BM dan Okto. Dan panggung diborong oleh kawan-kawan HMJ Teater. Silahkan sama-sama kita apresiasi. Semoga bisa menjadi bahan diskusi," tutup Rhiky. Laporan Denny

Loading...
BERITA LAINNYA