[caption id="attachment_2641" align="alignleft" width="300"] Penghancuran Hutan Alam Oleh PT. RAPP Di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti[/caption]
gagasanriau.com Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) melanggengkan praktik perusakan hutan “secara legal” oleh korporasi dengan menggunakan izin sebagai pembenar. Sebab, melalui UU P3H, selama korporasi memiliki izin maka tidak akan terjerat oleh pasal mana pun dalam UU P3H.
"Dengan diberlakukannya UU P3H, pemerintah dan DPR melanggengkan dan memperkuat rezim perizinan. Semua pasal mengenai perusakan hutan menjadi tidak berlaku dengan syarat perusahaan mendapatkan izin, baik izin menteri maupun pejabat berwenang lainnya," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan di Jakarta, Kamis (11/7).
Menurut Abetnego, makna dikeluarkannya UU P3H sebetulnya sangat jelas. DPR dan pemerintah menyadari bahwa Kementerian Kehutanan tidak mampu mengelola wilayah atau kawasan hutan, sehingga DPR dan pemerintah berinisiatif untuk membuat undang-undang baru untuk membereskan permasalahan pengawasan dan penindakan pelanggaran tindak pidana kehutanan.
Dengan dikeluarkannya UU P3H maka semakin jelas bagi rakyat bahwa Kementerian Kehutanan tidak mampu menegakkan forest governance yang baik. "UU ini juga menegaskan bahwa kinerja penegakan hukum lingkungan tidak mampu dijalankan dengan baik oleh Kementerian Lingkungan Hidup," kata Abetnego.
Menurut Deddy Ratih, Manager Advokasi Bioregion Eksekutif Nasional Walhi, salah satu alasan kelahiran UU P3H adalah untuk memperlancar koordinasi antarsektor. Namun begitu banyak perundang-undangan sektor sumber daya alam, sementara berdasarkan kenyataannya koordinasi antarsektor hampir tidak terlihat.
"Kami sangat tidak yakin koordinasi lintas sektoral terjadi dengan lahirnya UU P3H. Kita bisa lihat tumpang tindih peruntukan kawasan, lemahnya penegakan hukum, dan lambannya tindakan pemerintah selama ini," kata Deddy.
Pemberlakuan UU P3H sama sekali tidak memiliki korelasi dengan pelestarian lingkungan karena UU P3H memandatkan “pelestarian” melalui perizinan. Akibatnya upaya masyarakat adat atau lokal dalam melestarikan hutan tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan yang mendapatkan izin pelestarian (pemanfaatan hutan).
"Konteks pemanfaatan dan pelestarian sangat jauh berbeda. Sangat sulit dipahami bagaimana mungkin UU P3H mengategorikan pemanfaatan hutan sebagai upaya pelestarian," kata Deddy Ratih.
Nina Suartika / VHRmedia