Sarat Kepentingan Mafia Hutan, Jikalahari Desak DPRD Riau Tolak Pembahasan Draft RTRW

Selasa, 29 November 2016 - 11:38:49 wib | Dibaca: 2656 kali 
Sarat Kepentingan Mafia Hutan, Jikalahari Desak DPRD Riau Tolak Pembahasan Draft RTRW

GagasanRiau.Com Pekanbaru -  Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang saat dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau disinyalir banyak keterlibatan mafia dan tidak melibatkan masyarakat.

Sebagaimana diungkapkan oleh Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari). Organisasi fokus lingkungan ini beralasan untuk mendesak DPRD Riau agar menolak pembahasan draft Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi  Riau, karena minim mengakomodir isu dan partisipasi publik serta kebutuhan masyarakat.

"Partisipasi publik minim terbukti dalam setiap pembahasan RTRWP Riau itu tertutup untuk masyarakat hanya diketahui elit politik, pengusaha hitam dan birokrat," kata Koordinator Jikalahari Woro Supartinah, di Pekanbaru, Senin (29/11/2016).  

Menurut Woro, Menteri Kehutanan via SK.673/Menhut-II/2014 pada 8 Agustus 2014 hanya menyetujui perubahan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan seluas 1.640.826 hektare lebih.  Aturan terbaru Menlhk via SK.878/Menhut-II/2014 pada 29 September 2014 jo SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016  pada 20 April 2016 sebagaimana diubah dengan SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 tanggal 23 Mei 2016 perubahan peruntukan kawasan hutan tak mengalami perubahan signifikan.

Berikutnya, sepanjang proses pembahasan RTRW luasan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp and Paper tidak berubah secara signifikan, justru makin melegalkan 1,9 juta hektare  HTI di Riau yang masih penuh dengan persoalan tumpang tindih dengan lahan masyarakat tempatan dan tanah milik ulayat masyarakat hukum adat.

Contohnya, dari hasil temuan Jikalahari di lapangan, areal perusahaan HTI PT Rimba Rokan Lestari di Bengkalis tumpang tindih dengan beberapa desa di Bengkalis. Areal yang dibebankan izin milik PT RRL tumpang tindih dengan pemukiman masyarakat, fasilitas umum bahkan kebun kelapa masyarakat yang sudah ditanam sejak tahun 1991.

"Padahal perusahaan memperoleh izin pada tahun 1998, ini membuktikan bahwa pemberian izin tidak memperhatikan kondisi riil di lapangan. Luasan HTI PT RRL tidak berubah sama sekali," kata Woro.

Mirisnya temuan Pansus Monitoring Lahan dan Pajak DPRD Riau tahun 2016, bahwa seluas 1,8 juta hektare kawasan hutan telah ditanami kelapa sawit oleh 370 perusahaan sawit tanpa izin pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Lingkungan Hidup.

Temuan Jikalahari, PT Setia Agrindo Lestari (Surya Dumai Grup) di Indragiri Hiir tahun 2012-2013 masih masuk dalam kawasan hutan, di dalam SK Menteri Kehutanan No 673 tahun 2014 hingga SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 314 tahun 2016 dan revisinya SK nomor 393 diterbitkan pada 23 Mei 2016 menjadi APL.    

"Bahkan temuan EoF tahun 2016 ada sekitar 30 perusahaan yang diputihkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.  Belum lagi cukong-cukong yang merambah kawasan hutan ditanami kelapa sawit yang mengusik pemerintah untuk dilegalkan," kata Woro Supartinah.

Woro juga merujuk pada Korupsi Alih Fungsi Lahan yang melibatkan Annas Mamun, Edison Marudut, Surya Darmadi yang difasilitasi oleh Wakil Gubernur, Kepala Dinas Kehutanan hingga staf dinas agar lahan mereka dilegalkan.

Kini, katanya, Draft RTRWP Riau mengacu pada SK Menteri Kehutanan No. 673 tahun 2014 hingga SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 314 tahun 2016 dan revisinya SK nomor 393.

Dalam SK dituliskan luasan kawasan hutan Riau adalah 5.444.163 hektar dan untuk Area Peruntukan Lain (APL) seluas 3.472.783 hektar.

"Salah satu kelemahan lain dalam draft RTRW saat ini adalah bahwa dalam Draft RTRW saat ini perlindungan kawasan gambut sama sekali tidak dipertimbangkan. Kebijakan ruang yang baik mestinya memperhitungkan aspek perlindungan kawasan rentan kerusakan," katanya.

Menurut Woro, persoalan alih fungsi kawasan hutan ini perlu dicermati dengan teliti, ¿Ada indikasi alih fungsi kawasan ini dijadikan ladang "pemutihan" bagi perusahaan, sehingga mereka tidak perlu mengurus pelepasan kawasan hutan,"ujarnya.

Pada hakikatnya publik berhak untuk mengetahui perkembangan pembahasan terkit RTRW Riau karena tingkat kerawanan akan korupsi dan dampak implementasi kebijakan tata ruang tersebut yang bersampak pada tatanan kehidupan riil di masyarakat dan juga lingkungan.

"Karena itu DPRD Riau memerintahkan Gubernur Riau melakukan pengkajian ulang draft RTRWP dengan membentuk Timdu baru. Tim yang ditunjuk harus melakukan pengecekan ulang terhadap kawasan hutan di Riau dengan memperhatikan: aspek legal, perijinan industri, area tumpang tindih antaraperusahaan dan masyarakat,  kawasan kelola masyarakat dan perlindungan kawasan gambut," katanya.

DPRD mendorong agar areal konsesi yang sudah tidak dikelola ataupun konsesi yang berkonflik dengan masyarakat harus dilepaskan untuk kepentingan masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial dan kelola berbasiskan masyarakat hukum adat.(ANT).

Editor Arif Wahyudi


Loading...
BERITA LAINNYA