Temu Sastrawan Jatim 2013

Kamis, 19 September 2013 - 12:16:00 wib | Dibaca: 2209 kali 

[caption id="attachment_4559" align="alignleft" width="300"]Temu Sastrawan Jawa Timur 2013. gagasanriau.com Temu Sastrawan Jawa Timur 2013. gagasanriau.com[/caption]

gagasanriau.com ,Tulung Agung, Jatim-Hikmat sahaja Sabtu (14/9) malam itu. Para dedengkot dan pegiat sastra Jawa Timur antara lain Akhudiat, Rakhmat Giryadi, Aming Aminudian, Hari Langit, Tjahjono Widarmanto, Winna Bojonegoro, Profesor Setya Yuwono Sudikan.

Selain itu juga hadir Arim Kamandaka, Juwaini Cak Ju, pegiat sastra Jawa Triwida, termasuk Zakyzahra Tuga yang juga merupakan anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Tulungagung, serta Siwi Sang, novelis sejarah dan anggota Komite Tradisi DK Tulungagung. Acara dibuka tampilan grup Mocopatan Adiningsung dari Blitar. Setelah sambutan dari Akhudiat, Giryadi, Bagus Putuparto dan Endang Kalimasada sebagai tuan rumah, acara dilanjut pembacaan puisi dan cerpen. Bagus Putuparto duet bareng sang istri, Endang Kalimasada, membacakan cerpen berjudul Seusai Baratayudha, diiringi rengeng-rengeng lagu Gegaraning Wong Akrami yang dilantun Mbah Untung dari grup mocopatan Adiningsung. “Saya menyadari bahwa kematian bukan saja urusan orang-orang yang ditinggalkan. Tetapi calon-calon mayat seperti saya harus mempersiapkan sebaik mungkin, biar kelak tidak menjadi warisan yang menyengsarakan anak cucu. Saya telah menasihati diri dengan ibadah, mengukir nama baik, dan juga seperti orangtua mampu di kampung saya, selalu mempersiapkan kafan dan sapi untuk cagak urip. Ditambah untuk orang-orang moderen sekarang, memesan terlebih dahulu peti mati yang bagus. Dan yang terpenting, mempersiapkan undangan-undangan bagi para pelayat yang bisa dititipkan di kantor kelurahan. Karena, selain seniman dikenal sebagai makhluk yang cuek, kata seorang teman yang tinggal di kota, akhir-akhir ini betapa tetangga mulai tidak peduli untuk datang melayat.

Kalau sudah demikian, saya juga mulai mencari solusi bagaimana kalau membayar saja para aktor dan aktris untuk berakting sebagai pelayat, biar tampak sukses prosesi kematian itu.” Itulah cukilan In Memoriam, satu dari sepuluh cerpen dalam Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo karya Bagus Putuparto terbitan SatuKata BookArt Publisher Sidoarjo yang diluncurkan pada acara Temu Sastrawan antar kota dalam propinsi Jawa Timur, malam itu di Rumah Budaya Bagus Putuparto, Kanigoro Blitar. Boleh diujar seluruh yang hadir di Rumah Budaya, hanyut-mayut terbiusi aroma klasik mencekik jiwa saat pasangan seniman sahaja ini memanggungkan salah satu episode Baratayudha paling dramatic mencekik, ketika Destarata dan Dewi Gendari di usai

Baratayudha terlarat-larat menjujug padang Kurusetra lalu ketemu putranya yang masih hidup, Sang Kartomarmo. Wajar bila panggung 4×4 meter dan para penonton berada dalam kedaulatan Bagus Putuparto. Ia adalah sastrawan sekaligus dramawan. Benar-benar makhluk komplit. Ia alumni jurusan teater Institus Seni Indonesia angkatan 1991. Pernah nyanggar di teater Aksara pimpinan Genthong HAS, berguru akting pada Sri Harjanto Sahid, serta pada Brotoseno. Kemudian sempat berproses di Bengkel Muda Surabaya sampai akhirnya pulang kampung membangun kantung kesenian di Blitar, tanah kelahirannya. Nama Bagus Putuparto tidak dapat dilepas dari sastra Pedalaman yang pernah menggempar jagad sastra nusantara. Pertama istilah sastra pedalaman dilontarkan olehnya dalam diskusi peluncuran Semangat Tanjung Perak, kumpulan puisi para penyair Surabaya dan Jawa Timur. Akhir 1992 di gedung Cak Durasim Surabaya, lantaran antologi yang dieditori Aming Aminudin itu menganaktirikan para penyair daerah pedalaman. Sebagai orang pedalaman, walau bukan penyair, dengan gagah, Bagus Putuparto berseru: ‘Tunggu munculnya Barisan Sastra Pedalaman’! Bukan gertak kosong. Tak lama setelah itu, 1993, Bagus Putuparto dan kawan-kawan pedalaman seperti Bonari Nabonenar dari Trenggalek, Kusprihyanto Namma dari Ngawi, membuat antologi cerpen berjudul Nyanyian Sastra Pedalaman I.

Lalu antologi-antologi dan sepak terjang Sastra Pedalaman serentak menyedot perhatian para dedengkot sastra Nusantara. Ada yang cibir ada yang dukung. Tapi Bagus Putuparto dan kawan-kawan pedalaman serta beberapa sastrawan dari Jawatengah seperti Sosiawan Leak dan Triyanto Triwikromo, gigih berjuang membangun karung-karung kesenian di Jawa Timur dan Jawa Tengah, membangun komunikasi budaya antar daerah, menumpas pusatisasi sastra di ibukota negara maupun propinsi-propinsi Sebagai anak panggung, aktor, penulis lakon dan sutradara, Bagus Putuparto mengakui bahwa estetika-estetika panggung selalu mewarnai penulisannya. Saat mengetik, ia senantiasa membayang karya-karyanya kelak kokoh dibacakan di atas panggung. Karenanya diksi, diskripsi suasana dramatisasi panggung tersirat bahkan kerap tersurat dalam cerpennya.

Karya sastra jenis cerpen atau karangan bebas lainnya memang dapat dibacakan di atas panggung seperti puisi. Tetapi banyak yang kekuatannya lumpuh ketika digelar di atas panggung. Sementara menurut Rakhmat Giryadi, ketua komite teater Dewan Kesenian Jawa Timur, seluruh cerpen dalam Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo sangat cocok dipanggungkan. Dalam pengantarnya, pengarang buku Dongeng Negeri Lumut itu menilai meski struktur ceritanya sederhana, tidak ndakik-ndakik, tetapi cerpen-cerpen dalam Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo mampu menyajikan suasana memesona, mampu memberi ruang leluasa bagi imajinasi sidang pembaca. Giryadi bersaksi bahwa cerita-cerita Bagus Putuparto juga tidak hanya pada keterpesonaan narasi tetapi juga keterpesonaan artistic panggung. Adegan dan karakter tokoh-tokohnya sangat kuat. Giryadi berharap, kehadiran buku karya Bagus Putuparto dapat menjadi pijakan untuk kembali ke dunia buku. ”Kita punya tradisi mendokumentasikan setiap catatan atau karya sastra,” ungkapnya. “Meski sekarang forum literasi menjamur di dunia maya, tapi harus diimbangi dengan dunia cetak. Kita jangan tinggalkan dunia buku”tambahnya lagi. Dalam cerpen In Memoriam, Bagus Putuparto gagah mengaku sebagai Kartomarmo, pengecut perang yang berlari meninggalkan palagan Kurusetra dan memenggal kepala lawan di akhir pelakonan.

Tetapi sejarah telah mencatat pahlawan kecil itu, meski akhirnya binasa tertelan mesin jaman. In Memoriam, menurut pengakuan Bagus Putuparto, merupakan buah kegilaan pencarian eksistensi. Ini dipicu adanya ekspos besar-besaran media massa setelah beberapa seniman besar seperti pelukis surealis Amang Rachman, sastrawan Jawa Yacob Sumardjono alias Poer Adhi Prawoto, dokter kentrung Suripan Sadi Hutomo, mengembus napas paling akhir dalam saat berdekatan. Lantaran takut tidak diekspos besar-besaran dalam sejarah jika kelak meninggal, maka Bagus Putuparto nekad kirim tulisan in memoriamnya di kolom Budaya Jawa Pos, dijuduli ‘In Memoriam Bagus Putuparto’. Tetapi setelah ditayangkan, redaksi mengubah judul, menghilangkan nama Bagus Putuparto, sehingga yang sisa adalah ‘In memoriam’. Sementara dalam cerpen berjudul PAK, Bagus Putuparto kembali mengaku lebih suka menjadi Kartomarmo. Bagi suami Endang Kalimasada itu, menjadi Kartomarmo lebih bermartabat ketimbang jadi Parikesit, putra Abimanyu yang hanya dianugerahi tahta emas tanpa mesti harus meneteskan darah di medan laga.

Bahwa yang diingini Bagus Putuparto adalah semangat perjuangan Sang Kartomarmo. Semangat tokoh kiri yang disingkirkan sejarah. Tokoh yang rela berkalang tanah setelah merebut martabat hidup melalui perjuangan gigih. Meski sejarah menulis Kartomarmo sebagai pengecut perang yang meninggalkan gelanggang padang Kurusetra di puncak perang besar antara Pandawa dan Kurawa, tapi Bagus Putuparto memiliki pendapat out of the box alias nggiwar alias melawan arus. Ia membaca upaya Kartomarmo meninggalkan Kurusetra sebagai setrategi canggih dan berakal. Kartomarmo yang gamang melihat kekuatan lawan, kemudian mawas diri melihat kemampuan diri secara akal sehat. Bahwa menghadapi pertarungan yang tak mungkin dimenangkan, memang tergolong konyol alias bunuh diri. Dan Kartomarmo tidak ingin hidup matinya konyol. Meski mati, setidaknya ada torehan sejarah yang tertinggal menjadi catatan abadi sampai masa kemudian. Maka Kartomarmo melancarkan setrategi gerilya dan akhirnya satu persatu tokoh keluarga Pandawa bertumbangan. Meski akhirnya mati, Kartomarmo mati dengan gagah. Dramatik Kartomarmo telah mengajari Bagus Putuparto untuk berani bermimpi supaya hidupnya tidak di bawah SHM, Setandar Hidup Minimal. Setrategi gerilya Kartomarmo juga menginspirasi Bagus Putuparto kepada penulisan karya sastra, sosialisasi, berkesenian, bermasyarakat, gerakan sosial budaya, bahkan gerakan ekonomi melalui usaha kue kering cap ‘Kalimasada Cookies’ yang dikelola bersama sang istri kecinta, Endang Kalimasada. Dalam Catatan Harian Doktorandus Karomarmo yang terdiri dari sepuluh judul cerpen, Bagus Putuparto mengakui betapa banyak rahasia hidupnya yang terungkap setelah mencermati kembali kearifan-kearifan hidup yang tertuang sejak dari cerpen Semar hingga In memoriam. Ada sejulur benang merah yang tak putus, menghubungkan proses hidup sebelumnya dengan etape berikutnya. Dari belajar mimpi pada Kartomarmo sampai introspeksi diri pada keflamboyanan penyair gaek Kakek Willy yang ditinggal pergi penontonnya di usia 100 tahun. Ia mengaku saat menulis cerpen, pikiran serta alam bawah sadarnya secara implicit tengah mengurai visi misi kehidupan yang ideal. Tentang cinta, kearifan hidup, keyakinan, kemanusiaan, keluarga, masadepan, bahkan menginspirasi gerakan ekonomi sebagai ujung tombak kehidupan. Semua terurai samara-samar dalam cerita pendeknya yang dibangun dari perkawinan alam pikir dan imajinasi.

Bagus Putuparto merasakan tidak ada jurang pemisah antara dunia cerita pendek dan ralita kehidupannya. Keduanya berkesinambungan, karya sastra tersebut menjadi catatan harian yang menginspirasi kehidupan. Tanpa sadar ia telah melukis masadepan lewat dunia imajinasi. Bagus Putuparto bersaksi bahwa sesungguhnya sastra bukanlah sesuatu yang main-main. Bukan sekadar kepiawaian pengarang menuang keliaran imajinasi serta kepandaian berakrobatik kata-kata.

Sastra adalah hidayah bagi seorang pengarang untuk menangkap kearifan-kearifan yang bisa mengungkap rahasia hidup di kemudian. Maka, menurut Bagus Putuparto, berhati-hatilah, jangan sekadar menulis, karena itu sebuah kesaksian hidup yang bisa terjadi pada diri kita, juga pada orang lain. Maka sekali lagi, jangan sekadar menulis! Dan jika nanti di kota-kota, di desa-desa, di hutan-hutan, di pantai-pantai, berhembus desus kemunculan pahlawan bernama Kartomarmo, dapat dipastikan dia adalah Bagus Putuparto. Siwi Sang, Jurnalis Warga dan Anggota Komite Tradisi Dewan Kesenian Tulungagung


Loading...
BERITA LAINNYA