Daerah

Pembantu itu Gadis Pemberani

[caption id="attachment_2472" align="alignleft" width="300"]ilustrasi perempuan pemberani ilustrasi perempuan pemberani[/caption] gagasanriau.com- Tak bisa kusebut namanya disini. Selain karena tidak nyaman aku pun masih ragu apa yang bisa kulalukan untuknya. Gadis belia itu. Aku belum sempat mendengar semua tentang dia. Butuh waktu lama untuk itu, dan kami tak punya waktu itu. Meski begitu hari ini aku dibuat bangga olehnya. Aku bangga padanya yang bagiku lebih berani dari pada aku. Aku salut padanya, dan dengan semangat meski lewat bisikan saja aku bilang: ‘Kamu hebat!’. Tahu kenapa dia hebat? Dia berani melawan! Melawan, adalah satu kata yang terdengar tidak enak dan tidak patut dilakukan oleh orang lemah pada orang yang yang lebih kuat. Tapi itu dulu. Bagiku sekarang ‘melawan’ bukan dosa. Dan ‘berani’ benar-benar harus dilatih. Tentu saja melawan disini adalah melawan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan.Kembali pada gadis belia itu. Umurnya 18 tahun. Adik beradiknya lebih dari 6. Sempat lulus sekolah hingga SMP dan pernah mengenyam pendidikan pesantren selama 3 bulan di sebuah desa di Jawa sana.Tak betah di Pesantren dia mulai memasuki dunia kerja. Jadi pembantu melalui yayasan ternama di ibu kota. Oh ya, tanah kelahirannya di Lampung. Aku lupa sukunya. Tapi sepertinya dia juga jawa, lebih tepatnya nenek moyangnya jawa. Aku sungguh tak bisa menyebut namanya disini, dan aku tahu aku terserang penyakit ganas: takut. Atau karena aku lebih bersikap waspada. Toh aku menulis karena bagiku tentang dia harus ku tulis, aku tak mau lupa. Suatu hari dia mendekatiku yang tengah sibuk dengan pekerjaanku diruangan yang tidak terdeteksi  CCTV. ‘kak, gajiku dipotong 500rb’. ‘hah?’aku kaget. Dan tanpa berhenti, ku sediakan telingaku baik-baik untuknya yang berkata begitu pelan seakan menyadari bahwa diantara ‘kami’ tak boleh ada hubungan persuasif. Tak boleh tahu masalah pribadi masing-masing dan lain sebagainya. Dan yang lebih dikhawatirkannya tentu saja mata-mata majikannya. ‘Kenapa?’lanjutku. ‘Aku telat bangun 3 menit. Dimarahi dan langsung disuruh menandatangani surat pemotongan gaji karena telat bangun 3 menit’, jawabnya. ‘Sadis’ komentarku. ‘memang berapa gajimu?’lanjutku. ‘waktu diyayasan katanya 2juta. Sudah sampai sini dibilang 1,5 juta. Mereka pembohong!’, desisnya. Aku memandangnya, ragu-ragu bertanya: ‘kenapa kamu cerita ini sama kakak?’. dia hanya tersenyum, aku merasa dia percaya padaku. Dan aku sendiri percaya padaku bahwa aku tak akan mencelakakannya. Dan belakangan aku menyadari setelah 3 bulan bersamaku baru kali ini dia mau ‘bicara’ tentang nasibnya. Beberapa hari berikutnya dia mendekatiku lagi. ‘kak gajiku dipotong lagi.’, kali ini aku mengernyit sperti orang merasa sakit kepala. ‘apa lagi salahmu?’, ’telat bangun,’ ’3menit lagi?’kataku cepat sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. ‘Pagi ini yang ke3 kali kak. Anehnya jam dikamarku jadi lebih cepat. Beda dengan jam wekerku. Habis semuanya kak. Aku tak punya uang lagi. Dan pagi tadi aku melawannya ketika hampir ditendang.’ dia berhenti sejenak. ‘Ditendang?’tanyaku. Seolah tahu bahwa aku masih mendengarnya dia pun melanjutkan. ‘Telingaku dijewer dua kali. Dan mencoba menendangku.Tapi aku bilang ‘silahkan ibu tendang aku jika merasa benar’ dan dia hanya diam’. jawabnya. ‘Aku dimarahi karena dibilang belum menyapu lantai. Padahal sudah kusapu. Saat dia marah-marah aku bilang ‘Percuma ada cctv jika ibu menuduhku tanpa bukti’, akupun dibilang suka melawan. Saat dia membandingkanku dengan pembantu sebelumya yang katanya tak pernah melawan meski ditampar dan dijambak, kubilang ‘Aku bukan dia!, jadi jangan samakan aku dengannya’. Aku tak begitu jelas mendengarnya lagi karena konsentrasiku terbagi-bagi. Dari yang mampu kutangkap gadis pemberani itu sempat diusir, tapi ketika benar-benar akan pergi malah dilarang. Menurutku majikannya tidak akan mudah melepaskannya pergi sampai ia mendapat ganti pembantu yang baru. Dan selama masa menunggu itu kurasa keberaniannya bisa melindunginya. Aku sempat tertawa dalam hati ketika dia diancam dijatuhkan dari gedung lantai 3 jika melawan, dan dengan matanya gadis itu kembali melawan, meski bagiku majikannya tak mungkin berani melakukannya. itu cuma ancaman, cuma gertakan supaya gadis pemberani itu tunduk pada perintahnya. Getir setiap kali aku mengingat dia tak boleh mengucapkan kalimat yang berbau ‘Allah’, sebagai gantinya dia boleh menggunakan  kata ‘Tuhan’. Aku bilang padanya Allah dan Tuhan itu sama, kamu hanya punya satu, dan sebut selalu Dia dihatimu. Sepertinya majikannya alergi pada Islam haha, kasihan sekali jika mengingatnya. Alergi dan benci adalah penyakit hati, dan semakin majikannya benci pada Islam semakin kasihan aku padanya. Saat mendengarnya tidak boleh beribadah sholat, aku kian bersyukur aku masih bisa melaksanakannya. Tidak ada kekuasaan manusia lain yang melarangku untuk menjalankan rutinitas itu. Belum lagi beban kerja seorang pembantu, terutama dia karena yang lain aku kurang tahu. Dia yang masih belia itu bekerja dari jam 4 pagi hingga jam 11 malam, dipotong gaji setiap melakukan kesalahan yang kadang tidak masuk akal, dilarang berkomunikasi dengan keluarganya, bahkan dengan tetangga ataupun rekan sekerjanya. Jika diteliti kembali ini termasuk eksploitasi tenaga manusia. Meski aku tak membaca undang-undang di negara tercinta ini tapi pasti pemerintah tidak mengizinkan putra putri bangsanya dijajah sedemikian rupa. Apalagi dinegeri sendiri. Penulis : Anisah El Aliyah  


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar