Daerah

Emmy Saelan, Kisah Pejuang Wanita Di Garis Depan

imagesgagasanriau.com ,Jakarta-5 April 1946. Gubernur Sam Ratulangi bersama dengan pembantu-pembantunya ditangkap oleh Belanda. Lalu, kemudian, pada Juni 1946, Gubernur Ratulangi diasingkan ke Serui, Irian Barat. Dr. Sam Ratulangi adalah pejabat Gubernur yang ditunjuk Bung Karno untuk provinsi Sulawesi. Akan tetapi, entah karena pertimbangan apa, Ratulangi belum membentuk pemerintahan secara resmi di Sulawesi saat itu. Meski begitu, berita penangkapan Ratulangi mendapat protes. Salah satunya adalah perawat-perawat putri di Rumah Sakit Katolik ‘Stella Maris’. Mereka melakukan pemogokan umum untuk memprotes penangkapan tersebut. Salah satu tokoh penggerak aksi pemogokan ini adalah Emmy Saelan. Emmy Saelan adalah salah satu pejuang wanita Indonesia. Meskipun statusnya adalah seorang perawat dan kepala bagian palang merah, tetapi ia juga ikut memanggul senjata dan bertempur di garis depan. Emmy dilahirkan di Makassar, pada 15 oktober 1924, sebagai putri sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Amin Saelan, adalah tokoh pergerakan taman siswa di Makassar dan sekaligus penasehat organisasi pemuda. Salah seorang adiknya yang laki-laki, Maulwi Saelan, adalah tokoh pejuang dan pernah menjadi pengawal setia Bung Karno. Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai juga di telinga rakyat di Sulawesi. Lalu, pada 19 Agustus 1945, Pemerintah pusat telah menunjuk Dr. Sam Ratulangi sebagai gubernur provinsi Sulawesi. Akan tetapi, meski sudah ditunjuk oleh pemerintah pusat, Gubernur Ratulangi belum juga membentuk pemerintahannya secara resmi di Sulawesi. Ia malah ditangkap oleh Belanda pada bulan April 1946. Tetapi sikap rakyat Sulawesi sudah jelas: mendukung Republik Indonesia. Pada bulan September 1945, Sekutu sudah mendarat di Makassar. Secara formal, mereka bertugas mengontrol keamanan dan melucuti tentara Jepang. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa mereka bekerja untuk mengalihkan kekuasaan dari tangan Jepang ke Belanda. Rakyat Sulawesi tidak suka dengan hal ini. Pada 17 September 1945, para pelajar perguruan islam Datu Museng mengibarkan bendera merah-putih di sekolahnya. Berkali-kali terjadi bentrokan antara pasukan NICA dengan pelajar-pelajar Indonesia. Pada saat itu juga, sekelompok pemuda mendirikan organisasi bernama Pusat Pemuda National Indonesia (PPNI). Pemimpinnya adalah seorang pemuda Indonesia bernama Manai Sophiaan, kelak dubes Indonesia untuk Rusia. PPNI memainkan peranan penting di masa-masa awal perlawanan pelajar Sulawesi terhadap kolonialisme Belanda pasca proklamasi kemerdekaan. 28 oktober 1945, hanya beberapa saat setelah sekutu mendarat di Makassar, pasukan NICA telah menangkap pemimpin pemuda, Manai Sophiaan. Ia lalu dibawa ke markas NICA di Empress Hotel. Besoknya, 29 Oktober 1945, para pelajar Makassar menyerbut hotel itu dan mengibarkan bendera merah-putih di sana. Kakak-beradik, Emmy dan Maulwi, adalah penggerak utama para pelajar yang menyerbu kantor NICA itu. Para pelajar heroik ini sebagian besar berasal dari SMP Nasional. Sekolah ini merupakan sekolah milik Republik pertama yang berdiri di Makassar pasca proklamasi kemerdekaan. Latar belakang pendirian sekolah ini pun sangat heroik: sekolah ini merupakan tantangan terhadap usaha Belanda untuk membikin sekolah di Makassar. Belanda sendiri mencap sekolah ini sebagai sekolah ‘ekstremis’. SMP Nasional melahirkan banyak tokoh pejuang, diantaranya: Emmy Saelan, Robert Wolter Mongisidi dan Maulwi Saelan, adik Emmy. Sejak pemogokan Stella Maris, lalu penyerbuan Empress Hotel, Emmy Saelan telah memilih jalan hidupnya: sebagai pejuang Republik Indonesia. Pada bulan Juli 1946, 19 organisasi pemuda se Sulawesi Selatan telah berkumpul di Polombankeng, sebuah daerah di Takalar, Sulawesi Selatan. Emmy Saelan dan adiknya, Maulwi Saelan, turut dalam pertemuan itu. Hadir pula pelajar-pelajar SMP nasional seperti Wolter Monginsidi, Lambert Supit, Abdullah, Sirajuddin, dan lain-lain. Salah satu kesepakatan dari konferensi organisasi pemuda itu adalah pembentukan sebuah wadah bernama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Panglimanya adalah seorang pejuang pemberani, Ranggong Daeng Romo. Lalu, seiring dengan semakin banyaknya senjata hasil rampasan, para pelajar SMP nasional lalu membentuk organisasi gerilya bernama ‘Harimau Indonesia’. Emmy Saelan ditunjuk sebagai pimpinan laskar wanita dalam organisasi ini dan sekaligus memimpin Palang Merah. Mantan komandan pasukan wanita Makassar, Sri Mulyati, pernah menulis perihal pengalamannya bersama Emmy Saelan. Menurut Mulyati, Emmy dikenal sebagai seorang yang ahli menggunakan sandi. Sebagai missal, untuk mengenal mana kawan dan mana lawan, maka diperkenalkan sandi dengan memegang rambut. Jika seseorang berkenalan dengan memegang rambut, maka ia adalah kawan seperjuangannya. Semasa berjuang bersama Harimau Indonesia, Emmy menggunakan nama samaran Daeng Kebo. Organisasi Harimau Indonesia ini adalah semacam organisasi gerilya. Hampir setiap hari mereka menyergap patroli pasukan Belanda. Suatu hari, Wolter Monginsidi, pimpinan Harimau Indonesia yang dikenal pemberani, menyergap jeep Belanda. Ia lalu merampas senjata dan melucuti pakaian pasukan Belanda itu. Lalu, dengan mengenakan seragam pasukan Belanda, Wolter Monginsidi mendatangi kantor KNIL dan memberondongnya dengan senjata. Karena perlawanan-perlawanan itulah, terutama karena sudah tidak bisa lagi dikontrol orang NICA, pasukan Belanda mendatangkan pasukan elit  Depot Speciale Tropen (DST), dengan pimpinannya adalah Westerling. Perimbangan kekuatan pun berubah. Dengan kedatangan pasukan tambahan itu, pasukan Belanda pun bertambah kuat. Westerling pun memulai sebuah operasi pembersihan, yang sasarannya adalah para pejuang republik. Inilah peristiwa yang dikenang sebagai korban 40 ribu jiwa itu. Sementara itu, Emmy Saelan dan kawan-kawannya terus melakukan gerilya. Akan tetapi, desakan pasukan Belanda sangat kuat. Pasukan Harimau Indonesia pun terdesak hingga ke Kassi-Kassi, sebuah kampung di Makassar. Pasukan Belanda mengejar dengan kendaraan lapis baja dan tank. Sore itu, 23 Januari 1947, dalam posisi terjepit, pasukan Wolter Monginsidi pun memilih mundur. Emmy Saelan, yang telah terpisah dengan Monginsidi, memimpin sekitar 40 orang pasukan bertempur dengan Belanda. Pertempuran terjadi dalam jarak yang sangat dekat. Seluruh anak buah Emmy gugur dalam pertempuran itu. Tinggal Emmy sendirian. Pasukan Belanda mendekat dan memerintahkan Emmy menyerah. Tetapi, ia menolak dan terus melawan. Dan, karena senjata ditangannya tinggal granat, maka dilemparkanlah granat itu ke pasukan Belanda. Pasukan Belanda pun bergelimpangan, tetapi Emmy turut gugur dalam pertempuran jarak dekat itu. Sementara itu, Wolter Monginsidi yang bertahan di Tidung, tidak jauh dari tempat Emmy gugur, juga kewalahan menahan serangan Belanda. Hampir seluruh pasukannya gugur, kecuali ia dan dua orang kawannya. Emmy Saelan, perempuan cantik berkulit putih itu, telah memilih gugur dengan jalan sangat terhormat. Ia adalah salah perempuan Indonesia yang telah mengorbankan dirinya di usia sangat muda untuk revolusi nasional. Meskipun ia anggota palang merah, tetapi ia selalu berpakaian ala laki-laki dan memilih bertempur di garis depan. Nama Emmy Saelan terus abadi. Di makassar, ada sebuah jalan, yang dulunya rute gerilya Emmy, telah dinamai “Jalan Emmy Saelan”. Tidak hanya di Makassar, tetapi nama “Jalan Emmy Saelan” hampir terdapat di semua kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Lalu, sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya, pemerintah telah mendirikan sebuah monemen bernama ‘Monumen Emmy Saelan’. Monumen itu berdiri tepat di atas tanah tempat gugurnya Emmy. Sebelumnya, ada usulan untuk membuat patung Emmy, tetapi usul itu langsung ditolak pihak keluarga. Pihak keluarga beralasan, pembuatan patung itu melanggar ajaran agama. Artikel ini sebelumnya dimuat dalam Berdikari Online, Senin, 18 Juli 2011.


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar