Daerah

Pemerintah RI Berhak Usir Dubes AS, Terkait Penyadapan

[caption id="attachment_5599" align="alignleft" width="300"]Pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana Pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana[/caption]

gagasanriau.com ,Jakarta- Pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, Pemerintah Republik Indonesia (RI) berhak mengusir para diplomat Amerika Serikat (AS) yang bertugas di Indonesia, jika memang Pemerintah AS memiliki fasilitas penyadapan di Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta. Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah berbicara dengan Kepala Perwakilan Kedubes AS di Jakarta, untuk menuntut penjelasan resmi Pemerintah AS atas kabar yang menyebutkan bahwa Pemerintah AS memiliki fasilitas penyadapan di seluruh kantor Kedubesnya di wilayah Asia Timur dan Tenggara, termasuk di Kedubes AS di Jakarta. "Kalau penjelasan dari Pemerintah Amerika Serikat memadai, tak jadi masalah," kata Hikmahanto Juwana saat dihubungi wartawan, Kamis 31 Oktober 2013 malam. Namun, jika memang kabar tersebut dibenarkan Pemerintah AS, maka Pemerintah Indonesia bisa melakukan hal yang lebih dari sekadar protes keras. "Misalnya, mengusir sejumlah diplomat Amerika Serikat yang ada di Indonesia. Tapi itu sebelum memutus hubungan diplomatik. Kendati demikian, itu tergantung dari pemerintah Indonesia," ungkapnya. Seperti diberitakan sebelumnya, dugaan skandal operasi spionase Amerika Serikat, meluas hingga ke Asia, termasuk Indonesia. AS diduga melakukan penyadapan dengan menggunakan alat yang terpasang di Kedutaan Besar AS, di Jakarta. Hal itu terungkap dari bocoran dokumen milik bekas kontraktor National Security Agency (NSA), Edward Snowden. Mengutip laporan media Australia, smh.com.au, dari bocoran Snowden terungkap, fasilitas penyadapan AS sebanyak 90 titik yang tersebar di seluruh dunia. Untuk wilayah, Asia Tenggara, berbagai alat penyadapan AS diduga terpasang di Kedutaan Besar di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Phnom Penh dan Yangon. Pada 13 Agustus 2010, sebuah peta tidak menunjukkan fasilitas penyadapan itu terpasang di Australia, Selandia Baru, Inggris, Jepang dan Singapura, yang semuanya diketahui sebagai sekutu terdekat AS. Peta titik-titik alat penyadapan NSA itu dipublikasikan majalah Jerman Der Spiegel, Selasa kemarin. Peta, yang awalnya dipublikasikan secara penuh di website Der Spiegel, kemudian diganti dengan versi yang disensor. Dari website itu, tampak fasilitas penyadapan NSA ada di 90 lokasi di seluruh dunia. Termasuk 74 fasilitas berawak, 14 fasilitas dioperasikan dari jarak jauh dan dua dioperasikan dari pusat dukungan teknis. Di Asia timur, upaya pengumpulan intelijen AS difokuskan pada China, dengan fasilitas yang terletak di Kedutaan Besar AS di Beijing dan konsulat AS di Shanghai dan Chengdu, Ibukota Provinsi Sichuan di barat daya China. Fasilitas lain pemantauan terletak di kantor diplomatik AS di Taipei. Direktur Jenderal Organisasi Intelijen Keamanan Australia, David Irvine dan direktur dari Direktorat Sinyal Pertahanan, Ian McKenzie, juga telah diberitahu Komite Intelijen Parlemen Federal Australia atas implikasi potensi kebocoran untuk operasi intelijen Australia. ”Pengungkapan operasi pengumpulan sangat sensitif dan metodologi akan merusak kemampuan intelijen Australia. Di sini juga ada risiko komplikasi serius dalam hubungan kita dengan tetangga kita,” kata pejabat itu. Sindonews


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar