Gagasanriau.com Pekanbaru-Rencana Pemerintah Kota Pekanbaru yang sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA) terkait keberadaan pasar tradisional atau lebih dikenal dengan Pasar Kaget dan dianggap mengganggu dan bermasalah. Hal ini menimbulkan multi tafsir dikalangan tokoh dan masyarakat Pekanbaru seakan Walikota terpilih ini tidak lagi perduli dengan nasib pedagang kecil dan lebih mendengar bisikan pedagang raksasa yang akan membangun Supermarket dan Mal hampir disetiap sudut Kota Pekanbaru meskipun ditemui banyak yang cacat hukum dari perizininan lingkungannya. Adalah TAPAK organisasi lingkungan dalam rilis yang dikirimkan melalui surat elektroniknya ke redaksi Gagasanriau.com mengkritis hal tersebut. Dimana disebutkan oleh TAPAK, banyak kalangan menyayangkan sikap Walikota Firdaus karena tidak memahami kondisi yang sebenarnya terjadi dikalangan masyarakat. Hasil pengamatan TAPAK secara garis besar, masyarakat merasakan beberapa manfaat langsung dari pasar tradisional, di antaranya, Harga jual dipasar kaget jauh lebih murah dari pasar modern, sehingga sangat membantu penghematan keuangan masyarakat ekonomi menengah kebawah.
Komoditi yang dipasarkan dalam pasar tradisional adalah komoditi rumah tangga yang menjadi konsumtif sehari-hari, baik sayuran segar dan kebutuhan rumah tangga. Harga dapat tawar menawar bahkan ada beberapa barang yang dijual pedagang dipasar kaget kepada masyarakat sistem kredit yang sangat membantu keuangan masyarakat.
Mengurangi jarak tempuh yang jauh dan menghabiskan bahan bakar sehingga masyarakat merasa terbantu karena letaknya yang dekat dan mereka dapat mengatur jadwal rumah tangga dengan jadwal kegiatan lainnya. Harga parkir yang relatif murah bila dibandingkan dengan parkir di mal atau pasar modern yang harganya bisa bertambah di setiap penambahan jam berikutnya. Perputaran uang dan ekonomi kota Pekanbaru lebih besar tersebar kepada masyarakat, jika dibandingkan ke Mal hanya berputar pada satu atau dua pengusaha besar saja. Sementara dikatakan TAPAK, hasil pembahasannya dengan beberapa lembaga yang membahas permasalahan pembangunan kota di Pekanbaru menunjukan beberapa kebijakan pemerintah Kota Pekanbaru khususnya Walikota sekarang memihak kepada pengusaha besar. Hal ini dapat dilihat dari Izin Prinsip yang dikeluarkan Firdaus terkait terbitnya BAP Komisi AMDAL Kota Pekanbaru terhadap 5 (lima) perusahaan besar yang akan membangun Mal di beberapa titik lokasi di wilayah Kota Pekanbaru. Menurut TAPAK, hasil diskusi dengan beberapa lembaga lingkungan, pemerhati lingkungan dan anggota komisi AMDAL Kota Pekanbaru jika dibaca dan dilihat dokumen RKL dan RPL masih belum memenuhi syarat mutlak AMDAL dari masing-masing perusahaan yang mengajukan dokumen UKL dan UPL. Dari kelima perusahaan yang mengajukan AMDAL TAPAK sudah membahas 3 (tiga) perusahaan dari Dokumen yang diajukan kepada Komisi Amdal Kota Pekanbaru. Ketiga perusahaan perusahaan tersebut dan lokasi serta izin prinsip nya dapat dilihat sebagai berikut: Pertama perusahaan PT. Pekanbaru Panhegar Permai, lokasi Kelurahan Simpang Tiga Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru, No. Izin Walikota 556.2/BPT/ 234/2013, Dokumen Amdal masih bermasalah, kedua PT. Halla Mohana Di Jalan Riau, Kelurahan Padang Terubuk Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, no 530/BPT/ 861/2013 SK Kep BLH No : 660.1/BLH /V /2014/61 dan izinnya Dokumen Amdal masih bermasalah. Ketiga PT. Jasmine Residence Indonesia Di Jalan Soekarno-Hatta Kelurahan Delima Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru 640/BPT/ 163/2013 No. BAP : 660.1/BLH/TL-AMDAL/431 Dokumen Amdal masih bermasalah. Ketidak berpihaknya Walikota Pekanbaru kepada pedagang kecil dan pengusaha kecil dinilai tidak wajar, bahkan dengan gegabah dan serta merta menerbitkan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Tata Pasar Tradisional. Kebijakan ini seakan memiliki kepentingan lain dan pesan tersirat dari konglongmerat Mal yang akan segara dibangun untuk mematikan pasar tradisional dan masyarakat beralih kepada pasar kompensional. Kehadiran lima Mal di kota Pekanbaru justru menimbulkan beberapa kondisi negatif dan berbahaya bagi masyarakat. Ady Kuswanto