[caption id="attachment_1824" align="alignleft" width="290"] Peta Taman Nasional Tesso Nillo[/caption]
gagasanriau.com- Hasil analisis citra satelit tahun 2012 menunjukkan bahwa dari total kawasan Taman Nasional seluas 83.068 ha, sekitar 46.000 ha (atau 56 %) telah dirambah atau telah berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit, karet dan lainnya.
Posisi WWF Indonesia dalam peran taman Taman Nasional bukan pengelola. Taman Nasional berada dalam kewenangan Kementrian Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, dan pengelolaannya di lapangan berada di Balai Taman Nasional.
Dalam kaitannya dengan Taman Nasional Tesso Nilo, di Riau, WWF Indonesia bekerja di kawasan tersebut dalam konteks mendukung Kementrian Kehutanan dalam upaya melindungi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan dikawasan itu.
Dari menurunnya kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo ada beberapa yang mempengaruhi, diantaranya adalah:
Dari hal diatas sebagai penyebab terjadinya menurunnya kawasan secara drastis, ditambah lagi beberapa pemicu terjadinya lajunya berkurangnya kawasan.
WWF Riau menilai ada beberapa hal yang menjadi aspek penting maraknya perambahan di kawasan TNTN
Lemahnya Komitmen Perusahaan HPH dan HTI dalam Perlindungan Hutan dan Koridor
Kawasan TNTN dikelilingi oleh perusahaan HTI, perusahaan HPH dan perkebunan sawit. Salah satu kewajiban perusahaan pemegang konsesi kawasan hutan adalah melakukan perlindungan hutan . Perusahaan juga dimungkinkan untuk mendapat ijin membuat jalan (koridor) dengan kewajiban mengamankan kawasan hutan yang dilalui koridor tersebut dari perambahan, penebangan liar, kebakaran, pemukiman liar, penambangan liar, dan atau perbuatan melawan hukum lainnya.
Lemahnya komitmen Perusahaan HPH dan HTI dalam menunaikan kewajibannya untuk perlindungan hutan dan pengamanan koridor dan pembiaran terhadap perusahaan yang melalaikan kewajiban telah mempercepat terjadinya perambahan dan penguasaan kawasan hutan secara illegal.
Kawasan TNTN seluas 83.068 hektar sebelumnya merupakan Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Seluas kurang lebih 38.576 hektar HPT diantaranya dikelola oleh PT. Dwi Marta (1974 1994). Kemudian dilanjutkan oleh HPHTI PT. Inhutani IV yaitu dari 1995 hingga 2002. Dalam kurun waktu 1998-2002 PT. Inhutani IV ternyata tidak menunaikan kewajibannya untuk melindungi hutan. Sehingga selama hampir lima tahun kawasan ini seperti tidak bertuan dan perambahan terjadi di sejumlah lokasi.
Pada tahun 2004 kawasan ini ditunjuk sebagai kawasan TNTN. Sementara seluas kurang lebih?44.492 hektar HPT lainnya dikelola oleh PT Nanjak Makmur sejak tahun 1979. Meskipun ijin HPH masih aktif, sejak tahun 2003 perusahaan ini juga tidak menunaikan kewajibannya melindungi kawasan hutan. Sejak itu perambahan mulai merebak di sejumlah lokasi. Pada tahun 2009 ijin HPH PT Nanjak Makmur dicabut oleh Menteri Kehutanan dan kawasan itu diubah fungsinya menjadi Taman Nasional.
Untuk peta kerja dan peta batas Taman Nasional sampai saat ini belum ada kesepakatan para pihak. Pada bulan Oktober 2004, Dinas Kehutanan provinsi Riau dan BKSDA Riau telah menginisiasi pembuatan peta kerja Taman Nasional Tesso Nillo dan ternyata kondisi dilapangan tumpang tindih dengan peruntukan lain yaitu dengan PT. RAPP seluas 3.700 ha, dengan CV Putri Lindung Bulan seluas 500 ha, dengan KKPA PT. Inti Indosawit seluas 517 ha, sertifikasi lahan yang dikeluarkan oleh BPN Indragiri Hulu untuk beberapa koperasi sawit seluas 8460 ha.
Selain itu belum adanya tata batas yang jelas dilapangan telah memicu munculnya kasus jual beli lahan oleh oknum masyarakat lokal. Belum adanya penegakan hukum terhadap kasus ini memberikan awal yang buruk terhadap keutuhan Taman Nasional tersebut yang mana lewat Kep.
Menhut tersebut sudah ditegaskan kawasan mana yang ditunjuk sebagai Taman Nasional. Tetapi mengapa pihak berwenang belum dapat melakukan tindakan yang lebih nyata untuk menghentikan kegiatan ini.
Di dalam dan berbatasan dengan kawasan TNTN terdapat jalan-koridor HPH dan HTI yang dibuat oleh perusahaan. Dua diantaranya adalah Jalan – Koridor Baserah sepanjang 50 Km dan Koridor Ukui-Gondai sepanjang 28 Km. Dua koridor tersebut dibangun oleh PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), masing-masing pada tahun 2001 dan tahun 2004. Melalui dua koridor tersebut pelaku perambahan dan illegal logging memanfaatkan dan atau membuat jalan logging atau akses ke lokasi perambahan.
Koridor lain yang juga mempermudah para perambah mengakses kawasan hutan adalah koridor HTI PT. Rimba Lazuardi, koridor PT. Rimba Peranap Indah, koridor HTI PT. Putri Lindung Bulan, koridor HPH PT. Siak Raya dan koridor perkebunan sawit PT. Inti Indosawit Subur.
Pengembangan Perkebunan Sawit
TNTN telah menjadi kawasan sasaran ekspansi perkebunan sawit secara illegal. Seluas 28.606,08 hektar kawasan TNTN yang dirambah, hampir seluruhnya telah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Sehingga pengembangan perkebunan sawit telah menjadi motif utama bagi para perambah di TNTN. Ekspansi perkebunan sawit sangat erat kaitannya dengan kecenderungan meningkatnya kebutuhan pasar global terhadap sawit sebagai bahan baku industri minyak nabati.
Sejalan dengan itu harga buah tandan segar sawit juga melonjak pada titik yang menguntungkan Perusahaan Perkebunan dan para Petani Sawit, terutama transmigran dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan perkebunan plasma KKPA yang dibina perusahaan.
Pola PIR dan KKPA yang banyak terdapat di sekitar TNTN dikembangkan oleh Pemerintah Daerah untuk mengangkat taraf ekonomi masyarakat lokal di sekitar areal perkebunan sawit. Sebagai contoh misalnya, pada tahun 1998/1999 Bupati Indragiri Hulu menghimbau masyarakat untuk memiliki minimal dua hektar kebun sawit dan memberi kemudahan dalam mendapatkan ijin pendirian koperasi. Dalam pelaksanaannya kebijakan tersebut telah mempermudah para pendatang mendapatkan ijin dan mendapatkan lahan, dan menimbulkan kasus-kasus sertifikasi kawasan hutan.
Seperti misalnnya kasus Koperasi Mekar Sakti, Koperasi Tani Lubuk Indah dan Koperasi Tani Berkah yang telah memiliki sertifikat dari Kantor Pertanahan Indragiri Hulu yang lokasinya tumpang tindih dengan TNTN.
Besarnya modal yang dibutuhkan dalam pengembangan kelapa sawit, telah mendorong pelaku perambah untuk bekerjasama dengan pengusaha dan mengusulkan pola KKPA dengan perusahaan. Dua contoh pola tersebut yang teridentifikasi pada tahun 2007 adalah: 1) pembukaan kebun sawit seluas 500 hektar oleh Koperasi Segati Jaya bekerjasama dengan pengusaha dari Sumatera Utara di konsesi HPH PT. Siak Raya Timber; 2) pembukaan kebun sawit seluas 4.500 hektar oleh koperasi? masyarakat Kecamatan Pangean bekerjasama dengan PT. Citra Riau Sarana Di konsesi HPH PT. Hutani Sola Lestari.
Para perambah yang tidak memiliki kelompok, berupaya mengembangkan perkebunan sawit di lahan-lahan yang masih murah di kawasan hutan yang sulit dijangkau.
Penegakan Hukum dan Kebijakan Pembangunan
Lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah dalam menjaga hutan alam menjadikan perambah semakin berani menguasai kawasan hutan. Lebih tragis lagi, saat ini sudah banyak pendatang dari daerah luar yang menguasai dan menduduki kawasan Tesso Nilo. Upaya-upaya penegakan hukum yang masih lemah kepada para perambah telah mendorong masyarakat adat dan masyarakat setempat menguasai (kembali) kawasan hutan yang dikuasai Negara.
Kebijakan pertanahan di daerah juga menunjukkan ketidaksinkronan dengan kebijakan kehutanan. Sebagai contoh kasus adalah penerbitan Sertifikat Hak Milik Tanah di kawasan TNTN atas tanah masyarakat Anggota Koperasi Perkebunan Koperasi Mekar Sakti (515 persil), Koperasi Tani Lubuk Indah dan Koperasi Tani Berkah melalui Program Nasional Swadaya (Prona Swadaya) APBN 1998/1999 oleh Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten Indragiri Hulu.
Demikian pula halnya dengan kebijakan pengembangan wilayah/desa. Kabupaten Pelalawan telah mengeluarkan Perda Nomor 11 Tahun 2007 (Khusus Pemekaran Dusun Bagan Limau Menjadi Desa Bagan Limau) yang 95% wilayahnya berada di dalam kawasan TNTN. Lebih dari 3.500 hektar Kawasan TNTN di desa itu telah dibuka dan dikelola oleh masyarakat.
Melemahnya Institusi lokal
Institusi lokal di hampir semua desa-desa di sekitar dan di dalam kawasan TNTN memegang peranan penting dalam mencegah dan mengatasi perambahan. Tetapi institusi lokal telah melemah karena berbagai sebab. Di sejumlah desa banyak bermunculan oknum-oknum adat yang menyatakan diri sebagai tokoh adat atau penghulu suku/marga.
Mereka mengisi kekosongan kepemimpinan adat yang sedang krisis. Klaim atas penghulu suku atau marga diikuti oleh klaim atas wilayah suku. Oknum tersebut menghibahkan (menjual) tanah-tanah adat yang telah menjadi kawasan hutan milik negara itu kepada para pendatang.
Peta dibawah ini mengenai perambahan menurut analisa citra hingga thn 2009 . di sini terlihat nama-nama kelompok perambahan, itu merupakan penamaan yang tim Patroli Tesso Nilo (WWF, Balai TNTN, BKSDA, Dishut Pelalawan, Forum Masyarakat Tesso Nilo, Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, dan perusahaan yang beroperasi di sktrnya) berdasarkan survei yg dilakukan oleh tim. (Shodik)