[caption id="attachment_2266" align="alignleft" width="227"]
ASSYARI ABDULLAH, S. SOS.[/caption]
gagasanriau.com- Adalah judul editorial Media Indonesia pada 31 Mei dua tahun lalu; Kasta Baru Pendidikan Kita. Sebuah catatan tentang sisi tergelap dunia pendidikan Indonesia sepanjang masa.
Bahwa Kementerian Pendidikan Nasional telah memberikan kesempatan kepada lembaga pendidikan kita untuk berubah menjadi lembaga pendidikan komersil, yang mencederai misi mulia Undang-Undang Dasar RI pasal pasal 31, ayat 1; bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Lewat embel-embel taraf internasional dan rintisan bertaraf internasional, sekolah-sekolah swasta tertentu berubah wajah menjadi sekolah yang menggerogoti kocek per orang tua murid hingga Rp 28 juta lebih.
Duit sebanyak itu bukan dipakai untuk membikin mutu pendidikan kian apik. Tapi justru hanya untuk mensulap ruang belajar berpendingin udara, laboratorium yang wahh dan wajah sekolah supaya kelihatan elite.
Ulah mulus ini lama kelamaan membikin lembaga pendidikan negeri ngiler dan kemudian membikin gaya dan pola yang sama, meski khusus untuk sekolah rintisan maupun bertaraf internasional negeri ini, negara sudah menggelontorkan duit antara Rp 300 juta hingga Rp 500 juta per tahun.
Anehnya, sekolah berlebel ini malah digandrungi oleh banyak orang tua murid. Mereka berlomba-lomba untuk memasukkan anaknya sekolah di lembaga pendidikan semacam ini. Hal yang bakal menjadi mimpi sepanjang masa tentunya bagi orang tua murid yang berkantong cekak.
Orang tua berkantong tebal tadi tak menyadari bahwa sebenarnya ada ancaman terkikisnya rasa nasionalisme di sekolah super mahal itu. Sebab di sekolah yang kemudian berjumlah hingga 1300 sekolah itu, bahasa bumi pertiwi bukan yang utama, sudah terdepak oleh bahasa Negeri Paman Sam yang dibikin prioritas.
Dua tahun setelah editorial Media Indonesia itu, tiga hari lalu Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengprak palu. RSBI batal demi hukum.Mahkamah Konstitusi menilai istilah standar Internasional dalam dalam pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, telah diartikan sempit.
Lembaga yang dikomandani oleh Mahfud MD itu menilai kalau menjadikan bahasa asing sebagai standar dari Sekolah Bertaraf Internasional jelas-jelas akan memberikan potensi besar mengikis jiwa nasionalisme, dan kepribadian anak didik.
Dan ini bertentangan dengan pasal 25 ayat 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan; Bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara dan berfunsi sebagai Bahasa Pengantar Pendidikan diberbagai institusi pendidikan di tanah air.
Sesuatu yang tak salah kalau globalisasi maupun internasionalisasi masuk ke dunia pendidikan. Asal itu tidak membikin jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Tapi RSBI dan SBI, justru telah membikin generasi bangsa yang cerdas, hanya bisa gigit jari lantaran orang tuanya tak bisa ikut urunan mebeli pendingin udara ataupun fasilitas wah lain untuk sekolah RSBI dan SBI itu.
Kini, amanah pasal 3 UU No 20 tahun 2003; pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat Jasmani dan Rokhani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab, telah dikembalikan oleh MK.
Ada baiknya, pembatalan RSBI ini, menjadi pelajaran berharga bagi lebaga otoritas penyelenggara pendidikan di Negeri ini. Bahwa tugas negaralah untuk mencerdaskan bangsa. Bukan malah membodohi, membikin jurang pemisah dan membiarkan saban semester buku pelajaran berganti dan pungutan merajalela. RSBI, Goodbye...
ASSYARI ABDULLAH, S. SOS.
Mahasiswa magister Komunikasi Politik,
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Staff Ahli Fraksi PPP Plus DPRD Kab. Kampar