[caption id="attachment_2405" align="alignleft" width="300"] Pancasila.j[/caption]
gagasanriau.com- Tanggal 1 Juni mendatang, hari kelahiran Pancasila kembali akan dirayakan. Tahun ini Pancasila berusia 68 tahun. Tahun ini juga, Republik Indonesia akan berusia 68 tahun.
Pancasila dan Proklamasi 17 Agustus 1945 memang tidak bisa dipisahkan. Sebelum Indonesia diproklamirkan, Pancasila sudah dikonsep lebih dulu sebagai dasarnya. Ibarat membangun rumah, Pancasila adalah fondasinya.
Sayang, sepanjang 68 tahun perjalanan Republik itu, Pancasila juga cukup lama diabaikan. Ini diawali pada tanggal 1 Oktober 1965, saat sekelompok militer kanan di bawah komando Soeharto, yang dibelakangnya ada kepentingan imperialisme AS, mengatasnamakan Pancasila untuk ‘membunuh’ Revolusi Indonesia yang bergelora sejak Agustus 1945.
Saya menganggap, tanggal 1 Oktober 1965 adalah upaya pembunuhan pertama terhadap Pancasila. Saat itu, Soeharto menggunakan label “Pancasila’ untuk menandai tindakan kontra-revolusi yang dilakukannya terhadap Bung Karno dan revolusi Indonesia.
Pembunuhan kedua terhadap Pancasila terjadi tahun 1970. Saat itu, dengan motif ingin menghapus ingatan kolektif bangsa terhadap Pancasila sebagai hasil Revolusi Nasional, rezim Soeharto melarang peringatan Hari Lahirnya Pancasila. Alhasil, selama tiga dekade lebih, bangsa ini tidak pernah memperingati hari lahir ideologi bangsanya. Bahkan, tidak sedikit yang tahu peristiwa 1 Juni 1945 dan proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Pembunuhan ketiga terhadap Pancasila terjadi tahun 1971, yakni ketika rezim orde baru mulai menafsirkan ulang Pancasila sesuai dengan kepentingan ideologis-politisnya. Nugroho Notosusanto, ideolog orde baru jaman itu, meluncurkan buku berjudul “Naskah Proklamasi Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik (1971)”, yang di dalamnya tidak ada lagi peranan dan gagasan Bung Karno.
Lalu, Pancasila versi orde baru itulah yang kemudian diajarkan secara paksa di semua sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. Juga diajarkan melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Sejak orde baru berkuasa, yang tetap mengaku berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sifat negara Indonesia berubah total. Jika Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 sangat anti-kolonial dan anti-imperialisme, maka NKRI di bawah orde baru justru sangat bergantung kepada kapital asing dan negeri-negeri imperialis.
Sistem ekonomi di bawah Orde Baru sangat kapitalistik. Penyelenggaraan ekonomi, yang pemain utamanya adalah kapital asing dan kroni Soeharto, menyebabkan pola redistribusi kekayaan yang sangat timpang. Sebagian besar kekayaan mengalir keluar ke kantong korporasi asing dan sisanya nyangkut di kantong Soeharto dan kroninya. Sudah begitu, praktek korupsi merupakan corak dominan dalam sistem ekonomi era Orde Baru. Akibatnya, penyelenggaraan ekonomi di era Orba tidak pernah bermuara pada prinsip keadilan sosial.
Sistem politik juga berubah total. Jika RI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 digerakkan oleh ide-ide politik yang beragam (marxis, agamais, dan nasionalis), maka NKRI versi orba justru memberangus semua ide-ide tersebut. Bahkan, partai politik dipaksa ber-fusi dan dilemahkan. Massa rakyat dilarang berpolitik. Pancasila versi Orba kemudian dipaksakan sebagai azas tunggal semua partai dan ormas.
Di bawah orde baru, konsep kebangsaan kita dibiaskan sedemikian rupa sehingga menjadi “chauvinis”. Di bawah orde baru, NKRI dipaksakan sebagai “harga mati”, yang disertai dengan todongan senapan. Daerah-daerah yang tidak mau menyerahkan SDA-nya kepada pusat (Soeharto dan Kroninya) dicap separatis dan dipaksa tunduk melalui operasi militer.
Prinsip “Mufakat atau Demokrasi” diselewengkan menjadi “permufakatan semua Fraksi di MPR” untuk memilih Soeharto setiap pemilu digelar. Pada kenyataannya, pemilu era Orba—sering diklaim “Pesta Demokrasi”—hanya rutinitas belaka untuk mengesahkan Soeharto sebagai Presiden. Rakyat sendiri tidak bebas menggunakan hak politiknya sesuai dengan kehendak politiknya.
Pendek kata, selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, Pancasila bukan hanya hendak dihapus dari bingkai cita-cita Revolusi Nasional 1945, tetapi juga diselewengkan praktek penyelenggaraannya. Orba menggunakan Pancasila sebagai tameng untuk membenarkan semua kejahatan politik, ekonomi, dan sosial-budayanya. Tak heran, ketika gerakan anti-kediktatoran orba menguat, banyak yang sinis dan menyamakan Pancasila dan Orba.
Pasca tumbangnya Orde Baru, Pancasila tetap terabaikan. Bahkan, seiring dengan menguatnya praktek kapitalisme neoliberal dan sistem demokrasi liberal, Pancasila makin tergusur dari proses penyelenggaraan negara. Pancasila hanya diucapkan, lalu dijadikan bahan seminar dan simposiun, tetapi dijauhkan dari praktek perumuskan kebijakan ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Sekarang, di era pemerintahan SBY, nasib Pancasila makin genting. Pancasila dihajar dari berbagai sisi. Di satu sisi, Pancasila dilemahkan oleh praktek penyelenggaraan negara yang makin neoliberalistik-neokolonialistik. Di sisi lain, Pancasila juga hendak dikoyak-koyak oleh berbagai praktek intoleransi dan menguatnya gerakan kaum fundamentalis reaksioner.
Bahkan, karena keberadaan kelompok intoleran itu terkesan dibiarkan oleh rezim berkuasa (SBY), mereka sekarang dengan congkaknya berencana menggugat Pancasila sebagai dasar negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka ingin menggantinya dengan dasar agama. Inilah ancaman nyata terhadap eksistensi Republik Indonesia. Padahal, kata Bung Karno, Indonesia ini adalah wadah bagi bangsa Indonesia yang yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat.
Dari 1965 hingga sekarang—hampir setengah abad—Pancasila terus dilemahkan dan disingkirkan dari proses penyelenggaraan negara. Bersamaan dengan itu, cita-cita Revolusi Nasional 1945, yakni Masyarakat Adil dan Makmur, juga makin jauh dari pelupuk mata bangsa Indonesia.
Risal Kurnia, Kontributor Berdikari Online