''Wah, kalau soal hotspot, status siaga darurat, water bombing, canal blocking, embung, itu kerjaan teknis agar survive birokrasi saja. Namun orang yang jeli melihat dengan paradigma, dengan ketajaman ideologi, nampak sekali sutradara di balik panggung,'' ujar Elviriadi.
Setidaknya, sambung pengurus Muhammadiyah Riau itu lagi, ada 2 akar masalah Karhutla di Riau dan di Indonesia.
Pertama, belum surutnya hasrat menyulap gambut menjadi sumber uang. Padahal kalau gambut dikonversi pasti akan mengering dan mudah terbakar. PP 71/2014 tentang Perlindungan Gambut dikeroyok habis habisan, Badan Restorasi Gambut (BRG) sudah mengetahui tembok tebal menghadang restorasi, dan Isnadi dari JMGR harus sabar walau tak pasti.
''Jadi, di level ideologi harus klir dulu, masih mau men-devisakan hutan dan lahan, atau mau berhenti dalam arti rehabilitasi menyeluruh ekosistem kita,'' kata anak watan Kepulauan Meranti tersebut.
Kedua, tambah laki-laki bertubuh tambun itu lagi, cara berfikir harus mendasar, intelek, sehingga punya paradigma bertindak dan ada ghiroh kejuangan. Kalau tidak, pilihannya selalu jangka pendek, ideologi tolol yang mudah menyerah pada konspirasi kemakmuran seraya membiarkan rakyat bersabung asap setiap musim panas tiba.***