[caption id="attachment_2602" align="alignleft" width="300"]
John Tobing[/caption]
gagasanriau.com- Musisi kerakyatan John Tobing meluncurkan album berjudul “Romantika Revolusi” di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (7/6) malam. Acara peluncuran album lagu John Tobing itu sendiri mengambil tajuk
Reformasi adalah Lagu Panjang.
Acara yang dimulai sekitar pukul 19.00 WIB dibuka dengan penampilan
Fajar Merah, anak dari penyair kerakyatan Wiji Thukul. Fajar Merah menyanyikan empat lagunya, diantaranya:
Bunga dan Tembok dan
Apa Guna.
Melalui lagu
Bunga dan Tembok, Fajar Merah berhasil menyentuh jiwa khalayak dan sekaligus membangkitkan suasana revolusioner.
Bunga dan Tembok sendiri merupakan puisi karya Wiji Thukul.
Setelah itu, khalayak disuguhkan dokumenter singkat berisi wawancara John Tobing. Di situ, pencipta lagu
Darah Juang ini bercerita tentang perjalanan hidupnya, termasuk keterlibatannya dalam perjuangan melawan kediktatoran Orde Baru dan kelahiran karya-karyanya.
Dan tak lama kemudian, muncullah John Tobing di atas panggung bersama empat musisi pengiringnya. Dengan suara yang mantap, ia menyapa para khalayak. Dia bilang, setiap musik harus ada yang menyertainya, yakni massa rakyat. “Musik tidak bisa berjalan tanpa massa rakyat. Musik adalah sarana mencatat sesuatu,” katanya.
John Tobing pun membuka konsernya malam itu dengan lagu berjudul
Doa. Lagu ini diciptakannya untuk mengenang peristiwa Santa Cruz, yaitu aksi penembakan membabi-buta oleh tentara Indonesia terhadap aktivis Timor Leste di pemakaman Santa Cruz.
Kemudian, konser dilanjutkan dengan lagu
Jaga Saudara. Lagu ini mengajak kita merefleksikan berbagai kejadian bencana alam di tanah air, yang tidak terlepas dari perilaku kita terhadap alam. Ini tercermin dalam liriknya:
bencana terus akan datang/ tsunami, banjir, badai, gempa/ perubahan iklim dan senjata nuklir/ ulah manusia yang memiliki kuasa.
Lagu selanjutnya yang dinyanyikan John Tobing adalah
Fajar Merah Esok Milikmu. Lagu ini diciptakan di Jogjakarta, 14 Agustus 1994. Syair lagu ini diciptakan oleh kawan seperjuangan John Tobing, yaitu Web Waraouw, yang juga aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Lagu ini, kata John Tobing, bercerita tentang anak-anak dari keluarga revolusi. “Lagu ini tentang anak-anak kawan-kawan seperjuangan saya, yakni Fajar Merah, Merah, dan Obang,” ungkap John.
Fajar Merah Esok Milikmu adalah pesan seorang ayah, yang seorang pejuang rakyat, kepada anak-anaknya.
Namun, John juga tak menutupi sisi romantisme dalam hidupnya, termasuk di saat ia berjuang. Dalam konsernya tadi malam, ia juga menyanyikan lagunya yang berjudul
Hey. Lagu ini merupakan ungkapan perasaan John kepada kekasihnya. “Begitulah kalau orang sedang jatuh cinta, selalu berjanji akan merubah dunia,” kata John usai menyanyikan lagunya itu.
John Tobing kemudian melanjutkan konsernya dengan lagu
Marsinah. Sesuai judulnya, lagu ini memang merupakan persembahan John untuk pejuang buruh perempuan,
Marsinah. Liriknya antara lain:
Marsinah bangkit dan mengajak buruh bangkit/ Marsinah marah dan mengajak buruh melawan/ Marsinah…Marsinah/ Engkaulah jiwa semangat perjuangan kami.
Lagu lainnya yang dinyanyikan John Tobing dalam konser tadi malam adalah
Musim Senja dan
Api Kesaksian. Lagu
Api Kesaksian merupakan lagu seruan bagi pejuang untuk berkorban demi membebaskan rakyat dari ketertindasan. Ini nampak jelas dalam lirik:
Untuk Indonesia/ Kami tumpahkan/ Keringat dan darah/ untuk membebaskan/ rakyat yang ditindas dan sengsara.
Tidak hanya itu, John Tobing juga menyanyikan lagu berjudul Soeharto Asoe, yang merupakan ekspresi kegeraman yang tak terbendung terhadap penguasa orde baru tersebut. Lagu itu diciptakan tahun 1990. Dan, saat itu, John dan teman-temannya sudah bersepakat:
Soeharto harus ditumbangkan!
Di penghujung konsernya, John Tobing menyanyikan maha karyanya:
Himne Darah Juang. Lagu yang sudah menjadi simbol perjuangan melawan Orde Baru ini sekarang sudah menjadi Himne berbagai aksi massa menentang penguasa yang sewenang-wenang.
Untuk menyanyikan lagu ini, John tidak memakai band pengiring. Ia menenteng sendiri gitarnya, dan dengan sebuah microphone di hadapannya, ia mulai menyanyikan lagu
Darah Juang. Khalayak serentak berdiri dan mengepalkan tangan kiri untuk menyanyikan Darah Juang dengan sangat khidmat.
Seusai konsernya, John Tobing menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan wartawan. Musisi yang mengaku diinspirasi oleh karya-karya Bung Karno—khususnya
Di Bawah Bendera Revolusi dan
Sarinah—ini mengajak kaum pergerakan untuk kembali mengobarkan api perlawanan melawan rezim neoliberal.
Kepada Berdikari Online, John menuturkan, ia tidak akan berhenti berkarya untuk mengobarkan perlawanan. Ia mengaku sedang menggarap lagu baru untuk mengutuk berbagai tindakan tak beradab, khususnya pemerkosaan terhadap seorang perempuan di Jogjakarta. “Kita tunggu saja untuk album ketiga saya,” katanya.
John Tobing dilahirkan di Binjai, Sumatera Utara, tanggal 1 desember 1965. Dia mengaku mulai mencipta lagu pada tahun 1977, ketika merantau di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Sedikitnya 200-an lagu sudah diciptakan oleh John Tobing.
Ulfa Ilyas