Daerah

Negara "Dirampok" Ratusan Milyaran Oleh PT RAPP dan PT Arara Abadi Akibat Pengawasan Bahan Baku Kehutanan Lemah

Gagasanriau.com Pekanbaru-Negara mengalami kerugian hingga ratusan milyar rupiah oleh perusahaan HTI dan perkebunan selama lima tahun belakangan akibat lemahnya pengawasan ekspolitasi hasil hutan di Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau ini. Hal ini disampaikan oleh Ketua Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau Suhardiman Amby. Dimana ia menyatakan bahwa pengawasan pihak terkait terhadap bahan baku perusahaan kehutanan di daerah tersebut dinilai lemah, sehingga patut diduga ada kerugian negara hingga ratusan miliar Rupiah dalam lima tahun terakhir saja. "Kita sudah melakukan tinjauan lapangan, sumber bahan baku atau kayu mereka (perusahaan) kita anggap bermasalah. Waktu kita ke sana petugas pemerintah ternyata tidak ada di lapangan dan bahan baku langsung dibawa ke dalam pabrik tanpa ada pemeriksaan. Kita tidak tahu bahan yang masuk itu illegal atau tidak," kata Ketua Pansus, Suhardiman Amby dihubungi dari Pekanbaru, Rabu (29/4/2015). Diceritakannya, saat itu seharusnya ada petugas syahbandar, bea cukai, dan kehutanan mengawasai lalu lintas kayu di Sungai Siak menuju pabrik dua perusahaan kehutanan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Hal ini menandakan adanya "Loss Control" dari pemerintah sehingga tidak diketahui kayu yang masuk itu ilegal atau tidak. Tugas tersebut, lanjut dia, harusnya 24 jam karena harus diketahui pabrik mendapatkan kayu dari mana dan berapa jumlahnya. Hal terpenting, kata dia, harus diketahui dan diperiksa berapa yang sudah dibayarkan pabrik terhadap bahan baku tersebut. Dia menjelaskan bahwa sebaiknya mekanisme tersebut setelah disahkan Rencana Kerja Tahunan dan kayu telah tumbang harus dihitung jumlah potensi yang harus dibayarkan ke negara. Ini disebut dengan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). "Yang melakukan ini adalah Petugas Pejabat Laporan Hasil Produksi (P2LHP) dari Kementrian Kehutanan. P2LHP harus memeriksa dan menghitungnya dulu dan setelah itu barulah bisa masuk kapal," ungkap Politisi Hanura ini. Kemudian setelah masuk kapal tentu harus ada juga pengawasan dari Bea Cukai. Tapi, kata dia, pada saat meninjau beberapa waktu lalu tidak ada petugas di kantor, kosong semua. Selanjutnya setelah kayu tiba di pabrik, harus diperiksa oleh Pejabat Pembuat Pengesah Kayu Bulat (P3KB) dengan berkoordinasi dengan P2LHP. Sebelum disahkan, harus diperiksa dulu berapa yang diambil dan berapa yang sudah dibayarkan apakah itu kayu alam atau pun hutan tanaman (akasia). "Di lapangan tidak ada kontrol seperti itu. Maka kami menduga ada potensi kerugian negara ratusan miliar dalam waktu lima tahun saja dari sektor PSDH. Kalau perusahaan perlu 12 juta ton per tahun, jadi kerugian kita setengah dari bahan baku (kayu) yang masuk," sebutnya. Editor Brury MP sumber antarariau


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar