Lingkungan

Ada Apa Suhardiman Amby Ngotot Ingin Sahkan Raperda RTRW ?

Suhardiman Amby

GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Suhardiman Amby anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Ranperda RTRW) dinilai masyarakat menentang Undang-Undang (UU) Penataan Ruang, Kehutanan dan Pemerintah Daerah.

Organisasi lingkungan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mencurigai sikap ngotot dari Suhardiman Amby tersebut.

“Sebelum Perda ditetapkan oleh DPRD Riau, masyarakat punya hak dan kewajiban secara konstitusional memberi masukan dan kritikan atas draft RTRWP Riau 2016 – 2035,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari Kamis (10/8/2017) kepada GAGASANRIAU.COM.

Peran serta dan partisipasi masyarakat diterangkan Woro dijelaskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 354. Pada Pasal 3 huruf a, Pemerintah harus mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda dan Kebijakan Daerah yang mengatur dan membebani masyarakat.

"Bentuk partisipasi masyarakat diatur dalam Pasal 4, yaitu: Konsultasi publik, musyawarah, kemitraan, penyampaian aspirasi, pengawasan ataupun keterlibatan lain sesuai ketentuan peraturan" ujar Woro.

Dan Woro mempertanyakan kenapa dari awal pembentukan hingga laporan kerja disampaikan pada Pimpinan DPRD, Pansus RTRWP belum pernah melibatkan publik dalam pembahasan draft RTRWP Riau 2016 – 2035.

Dan anehnya lanjut Woro, justru Suhardiman sendiri mengkritik pimpinan DPRD Riau ketika hendak mewacanakan uji publik atas hasil Pansus Ranperda RTRW tersebut.

Saat itu dituturkan Woro, pada 9 Agustus 2017 di sebuah surat kabar harian lokal Pekanbaru Suhardiman mengkritik Noviwaldy Jusman. Dimana Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau terkait Noviwaldy hendak melakukan uji publik atas hasil kerja Pansus RTRWP Riau.

Bahkan Suhardiman menuding Noviwaldy salah menerjemahkan UU yang ditujukan.

“Wakil Ketua salah menerjemahkan Undang-Undang, kalau mau disahkan seharusnya sebelum Pansus menyerahkan laporan ke Pimpinan, bukan sekarang. Sekarang tinggal pengesahan saja,” kata Suhardiman dituturkan oleh Woro.

Woro menjelaskan bahwa dari awal pembentukan hingga laporan kerja disampaikan pada Pimpinan DPRD, Pansus RTRWP belum pernah melibatkan publik baik masyarakat terdampak, masyarakat sipil dan akademisi yang selama ini berjuang menyelamatkan hutan tanah dan lingkungan hidup Riau dalam pembahasan draft RTRWP Riau 2016 – 2035.

 “Mengapa Pansus RTRWP Riau tidak pernah melibatkan masyarakat luas dan tidak transparan dalam bekerja?” kata Woro.

Jikalahari mempertanyakan mengapa Suhardiman Amby tetap bersikukuh RTRWP Riau segera ditetapkan, sementara dia tahu hasil Hasil Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan DPRD Provinsi Riau tahun 2015 menemukan ada 104 perusahaan merambah kawasan hutan seluas 77 ribu hektar akan dilegalkan jika draft RTRWP Riau 2016 – 2035 masih merujuk pada SK 673 dan 878.

Kawasan hutan Riau merujuk SK 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 jo SK.393/MENLHK/SETJEN/
PLA.0/5/2016 jo 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK 878 SK 878/Menhut-II/2014 jo SK 673/Menhut-II/2014.

“Bukankah Suhardiman Amby bekas Ketua Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan DPRD Provinsi Riau tahun 2015 yang waktu itu meminta review SK 673 dan SK 878? Namun mengapa sekarang Suhardiman tidak tertarik lagi mereview SK 673 dan 878?” kata Woro Supartinah.

Temuan Jikalahari, draft RTRWP Riau 2016 – 2035 yang diserahkan Gubernur Riau kepada DPRD Provinsi Riau pada 2016 merupakan copy – paste draft RTRWP Riau 2010 – 2030. Parahnya lagi, sampai detik ini Gubernur Riau belum membangun sistem informasi dan komunikasi yang dapat diakses masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.

“Publik masih sulit dan terkendala dalam mengakses data dan informasi terkait kembangan pembahasan RTRWP Riau. Sejauh ini, informasi yang dibutuhkan publik hanya diketahui dan dipegang oleh birokrasi tertentu dan elit di DPRD Riau,” kata Woro.

Editor Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar