GAGASANRIAU.COM, TEMBILAHAN - Di sebuah pagi di Kabupaten Indragiri Hilir, Bupati H Herman SE MT melepas start lomba balap becak.
Acara yang digelar Dinas Pariwisata, Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan ini bukan sekadar perlombaan.
Di mata sang Bupati, momen ini adalah ruang silaturahmi. Hadiah tiga juta rupiah bagi pemenang mungkin tak seberapa, tapi baginya, nilai uang itu punya cerita lain.
"Dulu, waktu saya menarik becak, sehari bisa dapat lebih dari satu juta," kenangnya, Sabtu (18/10/25).
Ia bercerita tentang rutinitasnya yang dimulai usai salat Subuh, ketika ia sudah harus menunggu penumpang di depan sekolah.
Zaman telah berubah. Kini, persaingan semakin berat dengan kehadiran ojek online di Kota Tembilahan.
Tarikan becak tak mungkin menjangkau tempat-tempat jauh, seperti Sungai Luar, karena tenaga yang dikeluarkan bisa lebih besar daripada upah yang diterima. Namun, ia bersyukur karena kondisi jalan sekarang sudah jauh lebih baik.
Dulu, hampir semua jembatan terbuat dari kayu, dan kerap kali roda becak terselip di antara papan yang renggang, membuat bentuknya menjadi seperti angka delapanterutama jika penumpangnya gemuk.
Kenangan itu ia sampaikan dengan senyum, sambil menegaskan bahwa lomba ini hanyalah bentuk silaturahmi, mengumpulkan kawan-kawan penarik becak yang biasanya nongkrong di pasar atau di depan lorong.
Tak hanya hadiah untuk juara, seluruh peserta juga mendapat beras lima kilo dan uang lima puluh ribu rupiah untuk lauk-pauk.
Bupati menekankan bahwa ini adalah bantuan pribadi, bukan hadiah.
Sebelumnya, ia sempat ragu apakah bantuan ini justru akan menimbulkan masalah?. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk tetap memberikannya.
"Sampai hari ini, Bupati dan penarik becak itu sama saja. Hanya nasib dan rumahnya yang berbeda," ujarnya.
Ia mengundang mereka untuk bersilaturahmi ke rumahnya setiap Lebaran, seperti biasa.
Jumlah becak sendiri semakin menurun. Bupati bercerita bahwa orang tuanya dulu memiliki hampir seratus becak.
Setelah orang tuanya meninggal, ia pun turun menjadi penarik becak untuk membiayai sekolahnya.
Bahkan saat kuliah, ia masih menarik becak hingga akhirnya becak terakhir itu ia jual untuk menyusun skripsi. Becak itu adalah saksi perjuangan hidupnya.
Meski kalah bersaing dengan transportasi modern, ia yakin becak tetap punya tempat di hati masyarakat sebagai kearifan lokal.
Ia mengingatkan rekan-rekan penarik becak untuk menjaga tarif yang wajar dan layanan yang baik, agar penumpang tidak merasa dirugikan.
"Biasanya ongkosnya sepuluh ribu, ya sepuluh ribu. Tiga ribu, ya tiga ribu," pesannya.
Ia pun punya gagasan bagaimana jika becak dayung diubah menjadi becak motor?. Tapi ia sadar, bantuan seperti itu membutuhkan biaya besar.
Mungkin, becak motor bisa disubsidi atau dimodali, asalkan ada kesepakatan dari para penarik becak sendiri.
Dulu, becak juga dikenai pajak, tapi sekarang aturan itu sudah tak berlaku lagi, meringankan beban masyarakat.
Di balik semua cerita dan rencana, yang jelas nasib para penarik becak ke depan menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir.
Bantuan yang diberikan diharapkan dapat berkelanjutan, karena tidak semua penarik becak memiliki kondisi ekonomi yang menentu.
Sebuah harapan yang lahir dari pengalaman panjang seorang pemimpin yang pernah merasakan sendiri getirnya hidup mengayuh becak.
Penulis: Raharjo