Daerah

Pidato Ketua Umum PRD: Nyalakan Kembali Api Revolusi Itu!

[caption id="attachment_4047" align="alignleft" width="300"]Agus Jabo Priyono Ketua Umum KPP-PRD. gambar PRD. Agus Jabo Priyono Ketua Umum KPP-PRD. gambar PRD.[/caption] gagasanriau.com ,Jakarta-Berikut ini adalah pidato yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Agus ‘Jabo’ Priyono, untuk menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68. Kami publikasikan untuk disebarluaskan kepada masyarakat luas. Hari ini Proklamasi Kemerdekaan Indonesia memasuki usia 68 tahun. Kemerdekaan itu, yang berulangkali disebut oleh Bung Karno sebagai ‘Revolusi Nasional-Demokratis, adalah jemabatan emas menuju kehidupan berbangsa yang merdeka penuh, bebas dari imperialisme dan kapitalisme, serta bersih dari sisa-sisa feodalisme. Seperti ditegaskan Bung Karno, bahwa hari depan Revolusi Indonesia itu bukanlah menuju kapitalisme dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme, melainkan menuju ke sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi yang terdapat di Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi, dan kebudayaan Rakyat Indonesia. Revolusi Indonesia itu sudah memasuki pintu gerbang kemerdekaan. Selanjutnya, dengan bergotong-royong, Bangsa Indonesia seharusnya bisa membangun Negara yang berdaulat, mandiri, berkepribadian, berjiwa kekeluargaan, serta adil dan makmur. Merdeka itu seharusnya bermakna cukup sandang-pangan serta papan. Kesehatan dan pendidikan rakyat terjamin. Setiap warga negara seharusnya bebas dan dijamin untuk mengembangkan hidupnya. Termasuk bebas menjalankan kehidupan kerohaniannya. Merdeka itu seharusnya berarti bebas menyusun pemerintahan sendiri, yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang memajukan kesejahteraan umum, yang mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Merdeka itu seharusnya berarti bumi, air, dan seluruh kekayaan alam bangsa Indonesia, juga cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Merdeka itu seharusnya bermakna membangun bangsa yang berdaulat dan mandiri, yang percaya pada kekuatan sendiri. Sebuah bangsa yang memiliki kedaulatan pangan dan energi, sanggup membangun dan mengembangkan industri nasionalnya guna memenuhi kebutuhan rakyatnya. Namun, sayang sekali, setelah 68 tahun Proklamasi Kemerdekaan, jembatan emas yang dibangun para pendiri bangsa itu telah dirobohkan oleh penghianatan elit borjuis bermental komprador. Jembatan besar yang dibangun oleh pengorbanan para pejuang kemerdekaan itu telah disapu oleh banjir besar kapitalisme, neokolonialisme, dan imperialisme. Kapitalisme dan imperialisme juga telah menaklukkan nilai-nilai kemanusiaan kita. Akibatnya, bukannya berjalan menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur, perjalanan kita hari-hari ini justru menemui kenyataan pahit: kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, upah murah, korupsi, perampasan tanah rakyat, pembalakan hutan, kekerasan berbau etnis dan agama, utang luar negeri yang kian menumpuk, cadangan devisa yang tergerus habis, impor yang makin membanjiri, kehancuran industri nasional, dan bahaya disintegrasi yang mengancam di depan mata. Lihatlah, betapa imperialisme telah mengkapling-kapling tanah air kita. Kebun sawit dipunyai oleh mereka, tambang dikuasai oleh mereka, hutan-hutan kita pun dimiliki oleh mereka. Tak cukup itu, mereka merampas dan mengusir rakyat kita dari tanah yang merupakan warisan nenek-moyang kita. Jembatan emas itu benar-benar telah runtuh! Ali Masykur Musa, salah seorang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pernah mengatakan, salah satu penyebab kemandirian energi kita belum terwujud adalah karena terlalu dominannya perusahaan asing dalam mengelola sumber daya alam nasional. Pihak asing menguasai 70% tambang migas; 75% tambang batubara, bauksit, nikel, dan timah; 85% tambang tembaga dan emas; serta menguasai 50% perkebunan sawit. Sedangkan Pertamina, yang notabene perusahaan nasional milik kita, hanya menguasai sekitar 17% produksi migas nasional. Bayangkan, setelah 68 tahun Proklamasi kemerdekaan kita, hampir tidak ada perubahan nasib rakyat yang fundamental. Sebanyak 95% dari 26 juta keluarga petani di Indonesia hanya menguasai lahan kurang dari 0,3 hektar. Padahal, untuk bisa bertahan hidup, setidaknya dengan pendapatan yang setara dengan Upah Minum Regional sebesar Rp 1,2 juta per bulan, satu keluarga petani setidaknya menguasai 2 hektar lahan. Tak hanya itu, pengelolaan hutan Indonesia pun makin tidak adil dan tidak berpihak ke rakyat. Bahkan makin amburadul. Bayangkan, dari perizinan pengelolaan hutan yang mencapai 150 juta hektar, itu hanya 11% yang memiliki izin sesuai peruntukannya. Sebanyak 89% hutan kita dirambah oleh para pemodal tanpa izin resmi. Yang lebih ironis lagi, dominasi asing itu turut menyuburkan korupsi dan penggelapan kekayaan negara. Seperti diumumkan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad, bahwa sekitar 60% perusahaan tambang  di Indonesia tidak membayar pajak atau royalti kepada negara. Akibatnya, Indonesia kehilangan potensi pemasukan sebesar Rp 15.000 triliun dari pengelolaan kekayaan alamnya. Padahal, bila kekayaan sebesar itu dibagi rata ke tiap warga negara Indonesia, maka per orang bisa mendapat Rp 20 juta per bulan. Ya, sudah 68 tahun kita memproklamirkan Kemerdekaan, tetapi mental korup ala pangreh raja di jaman kolonial masih melekat kuat di kalangan birokrat-birokrat kita. Beberapa hari lalu, Kepala SKK Migas yang juga bekas Wakil Menteri ESDM, Rudi Rubiandini, dicokok oleh KPK karena tertangkap tangan menerima suap dari perusahaan asing. Ironisnya, mental semacam ini, yang serakah dan tak mengenal batas untuk memperkaya diri, juga menjangkiti sebagian besar birokrat kita. Untuk anda ketahui, hingga sekarang ini sebanyak 291 kepala daerah (Gubernur, Walikota/Bupati) dan 1.221 aparatur negara terlibat dalam korupsi. Kini, 68 tahun Indonesia Merdeka, anak-anak muda kita terjebak dalam narkoba dan terbuai dalam budaya imperialis. Dan mereka makin lupa dengan persoalan yang dialami oleh bangsanya. Inilah neokolonialisme! Inilah imperialisme itu! Inilah perampokan terang-terangan. Mereka tidak hanya merampas hak hidup bangsa kita, tetapi juga merendahkan martabat bangsa kita. Dalam pidato Indonesia Menggugat, Bung Karno sudah mengingatkan: memang zaman imperialism modern mendatangkan ‘kesopanan’, mendatangkan jalan-jalan, tetapi apakah itu setimpal dengan bencana yang disebabkan oleh usaha partikelir itu? Kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme telah membelah bangsa-bangsa dan rakyat di dunia ini dalam dua kelompok: yang satu hidup berkuasa dan hidup nyaman laksana di surga, sedangkan yang satu hidup bertekuk lutut dalam kemiskinannya dan hidupnya terhinakan sepanjang hayatnya. Dan itu pula yang mulai terjadi di negeri kita. Kekuatan neokolonialisme dan imperialisme telah membalikkan jalan dan arah perjuangan bangsa kita. Pancasila, yang seharusnya menjadi fondasi berbangsa kita, telah dibongkar. UUD 1945 hasil proklamasi 17 Agustus 1945 telah diobrak-abrik sedemikian rupa. Semuanya demi melapangkan jalan bagi Neokolonialisme! Pemimpin kita yang bermental komprador, lebih bahagia menjadi sekrup dan bautnya sistem kapitalisme. Elit kita yang bermental inlander itu, rela menjadi calo dan jongosnya perusahaan asing. Elit komprador bermental inlander itu juga doyan memetik upeti dan mencoleng uang negara. Birokrasi kita, yang sebagian besar masih bermental binnenlands bestuur, masih bermental kolonial, lebih senang memposisikan dirinya sebagai penguasa yang dilayani. Padahal, mereka seharusnya menjadi pelayan rakyat. Semangat berbangsa makin kendur. Kepribadian nasional kita makin memudar. Rakyat kita seakan-akan mengalami demoralisasi dan makin terjebak dalam perbuatan dekaden: makin gampang disulut ke dalam kekerasan dan konflik berbau SARA. Bung Karno pernah mewanti-wanti kita akan bahaya ini. Dalam pidato 17 Agustus 1959, beliau berujar: “terasalah oleh seluruh masyarakat, kecuali masyarakatnya orang-orang pemakan nangka tanpa terkena getahnya nangka, masyarakatnya orang-orang yang arrives, masyarakatnya si pemimpin mobil sedan dan si pemimpin penggaruk lisensi, terasalah oleh seluruh Rakyat Indonesia bahwa jiwa, dasar, dan tujuan Revolusi yang kita mulai dalam tahun 1945 itu telah dihinggapi penyakit-penyakit.” Nafsu mengakumulasi keuntungan, yang telah melahirkan kesenjangan sosial, yang menyebabkan si kuat mengeksploitasi si lemah, telah menggurita di mana-mana. Memang, kapitalisme hanya menempatkan manusia sebagai benda atau komoditi belaka. Kapitalisme adalah ekonomi tanpa moral, yang merendahkan nilai peri-kemanusiaan dan mengubur martabat kemanusiaan. Itulah perilaku keji imperialisme dan cecunguknya. Mereka menghalalkan segala macam cara asalkan bisa menggali keuntungan sebesar-besarnya. Termasuk menjajah dan menghisap bangsa-bangsa lain. Ini harus dihentikan! Kita harus segera mengakhirinya! Sebelum bangsa kita hanya tinggal menjadi sejarah. Saya sarankan, jangan melihat masa depan dengan mata buta. Sekali-kali tengoklah masa lampau. Sebab, masa lampau berguna sebagai kaca benggala guna melihat masa depan. Memang, perjuangan mewujudkan Indonesia yang berdaulat dan berdikari itu adalah bagian dari tugas Revolusi Nasional kita. Awalnya, Revolusi nasional itu coba dijegal dengan kapitulasi melalui Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Beruntung, pada tahun 1956, berkat tekanan dari mobilisasi massa rakyat, Kabinet Ali Sastroamidjojo berhasil membatalkan hasil KMB itu. Kemudian, pada tahun 1957-1958, gerakan rakyat berhasil menasionalisasi perusahaan asing yang selama ratusan tahun mengeksploitasi bangsa kita. Alhasil, memasuki tahun 1960, sekitar 80% aktivitas ekonomi sudah dibawah kendali bangsa Indonesia. Bahkan, pemerintahan Bung Karno saat itu turut mendukung aksi-aksi nasionalisasi itu  dengan mengeluarkan UU nomor 86 tahun 1958 dan PP nomor 2 tahun 1959 yang memberi landasan hukum bagi pengambilalihan perusahan asing. Lalu diikuti dengan pengesahan UU Nomor 78 tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing yang melarang modal asing memasuki industri strategis dan yang menguasai hajat hidup rakyat, termasuk sarana dan usaha umum yang sudah dikelola modal dalam negeri. Revolusi nasional itu terus berlanjut dan mendalam. Pada tahun 1960 disahkan UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). UUPA 1960 ini telah mengakhiri UU agraria kolonial, agrarische wet (staatsblad 1870 nomor 55), dan sekaligus mengubur struktur feodalisme. UU tersebut telah menguasai penguasaan tanah secara besar-besaran dan terbatas oleh perusahaan besar dan tuan tanah. UU itu telah menghapus liberalisasi dan kapitalisasi tanah. Pendek kata, UUPA 1960 telah mengembalikan pemilikan tanah ke tangan rakyat. Sayang, seperti diungkapkan Bung Karno, selalu ada penyakit dualisme yang berusaha menghambat proses berjalannya revolusi tersebut, yakni penyakit yang memunculkan kegalauan: apakah kita mau ke masyarakat adil makmur atau masyarakat kapitalis? apakah revolusi sudah selesai atau belum selesai? kita mau menganut demokrasi untuk rakyat-kah atau rakyat untuk demokrasi-kah? Lantaran kegalauan itu, kita disusupi pikiran-pikiran menyesatkan, seperti liberalisme, laisses faire, yang membuka pintu kembali bagi campur tangan asing. Ya, kekuatan nekolim tentu tidak akan membiarkan Indonesia yang kaya sumber daya alam ini lepas begitu saja dari genggaman mereka. Dengan dukungan borjuis komprador di dalam negeri, nekolim berhasil menginterupsi Revolusi Nasional kita. Api revolusi nasional yang berkobar-kobar, langsung padam seketika. Dan itu dimatikan oleh anak bangsa sendiri yang berpikiran pro-asing: Orde Baru. Begitu Orde Baru berkuasa, pintu bagi modal asing kembali dibuka. Dengan disahkannya UU PMA tahun 1967, Indonesia kembali menjadi—meminjam istilah Presiden Nixon–‘kue terbesar’ dalam cengkeraman Amerika Serikat. Di bawah Orde Baru, arah bangsa mengalami perubahan besar. Cita-cita Trisakti, yakni bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya, berubah menjadi pembangunan berorientasi kapitalistik di bawah jubah “Trilogi Pembangunan”. Kita sempat punya harapan ketika Soeharto terguling. Sayang, reformasi tahun 1998 itu, yang diharapkan rakyat bisa mengembalikan haluan negara sesuai cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, justru menjadi jalan yang lebih lapang bagi kapital asing untuk menguasai tiap jengkal tanah di Republik Indonesia ini. Reformasi telah dibajak oleh imperialisme yang merasa belum cukup dilayani oleh rezim Orde baru dalam menguasai negeri ini. Laissez faire, pikiran semau gue, dasar filosofisnya kapitalisme dan imperialisme, adalah sebuah doktrin ekonomi yang hendak menyerahkan semua nasib dan hidup bangsa Indonesia ke pihak swasta. Dengan mengatasnamakan kebebasan individu, juga kepemilikan pribadi yang tak mengenal batas, perusahaaan negara (BUMN) diserahkan ke swasta; subsidi untuk rakyat dihapus dan dialihkan ke swasta; pasar bebas dan persaingan bebas digalakkan dalam sebuah kerangka demokrasi yang disebut Demokrasi Liberal. Sekarang ini, negara hanya menjadi alat untuk melayani kapital. Tidak ada lagi konsep tanggung jawab sosial. Negara dilarang campur tangan dalam urusan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sementara di Amerika dan Eropa, negeri asalnya kapitalisme, sistim itu mulai bangkrut. Namun di negeri kita, kapitalisme justru disembah-sembah tak ubahnya berhala. Kita bisa memetik pelajaran dari negara Amerika Latin, seperti Venezuela dan Bolivia. Di sana perubahan besar dimulai dengan menciptakan sebuah konstitusi yang mengabdi kepada kepentingan nasional dan rakyatnya. Lalu dilanjutkan dengan upaya mengembalikan kontrol negara terhadap kekayaan alam bangsanya melalui nasionalisasi perusahaan asing. Di negara kita, entah saking liciknya pemimpin yang bermental inlander, konstitusi hasil proklamasi 17 Agustus 1945, yakni UUD 1945, yang jelas-jelas anti-kolonial dan anti-imperialis, justru diamandemen. Bukan untuk melindungi kepentingan nasional, melainkan untuk membuka pintu bagi liberalisasi dan penyerahan kedaulatan kita kepada pihak asing. Setelah itu, hampir semua UU yang mengatur kehidupan strategis berbangsa diliberalkan, seperti  UU nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan, UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas, dan lain-lain. Mereka tidak memahami hakekat UU Proklamasi 1945 itu! Padahal, Bung Karno sudah menegaskan: sekali lagi biar mereka geger! UUD 1945 bukan bikinan Jepang, UUD 1945 bukan Japanese made. UUD 1945 adalah cerminan kepribadian bangsa Indonesia, yang sejak jaman purbakala mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat. Dalam Manifesto politik 1959 pun diatur, bahwa modal asing harus mentaati ketentuan-ketentuan Republik. Imperialis manapun yang berusaha memperdayakan Republik adalah musuh Rakyat Indonesia. Bongkar! Hanya itu jalan kita untuk kembali hidup Merdeka! Dalam pidato HUT Kemerdekaan RI tahun 1966, Bung Karno berteriak lantang: apakah kelemahan kita itu? kelemahan jiwa kita ialah kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercaya satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong-Royong! Juga, pada pidato HUT Kemerdekaan RI tahun 1963, Bung Karno memperingatkan bahwa suatu bangsa hanya bisa menjadi kuat jikalau patriotismenya meliputi patriotisme ekonomi. Inilah jalan yang benar ke arah kekuatan bangsa, jalan yang jujur, jalan yang tepat. Saya mau menegaskan: perbaikan nasib kita ini hanyalah datang seratus persen bilamana masyarakat kita sudah tiada lagi kapitalisme dan imperialisme. Di mana jiwa Revolusi Nasional itu sekarang? Jiwa Revolusi Nasional itu sudah hampir padam, sudah hampir dingin dan tiada apinya. Di mana dasar Revolusi nasional itu sekarang? Dasar Revolusi nasional itu sekarang tidak karuan letaknya, oleh karena masing-masing partai menarukan dasarnya, sehingga meninggalkan dasar Pancasila. Di mana tujuan Revolusi itu sekarang? tujuan Revolusi itu, yakni masyarakat adil dan makmur, sudah diganti dengan politik dan ekonomi liberal. Dalam politik liberal itu, suara rakyat dieksploitir, dicatut, dikorup oleh partai-partai korup. Dalam ekonomi liberal itu, segelintir orang mengeruk kekayaan dengan mengorbankan rakyat banyak. Kita harus kembali membangkitkan kepercayaan diri kita sebagai sebuah bangsa, bahwa kita pernah punya masa lalu yang hebat. Dan tidak ada alasan untuk kita menjadi bangsa yang kalah. Semangat kebangkitan harus dikumandangkan selekas-lekasnya, sebelum kita hidup ditengah puing-puing sisa penghisapan atau ampasnya imperialisme! Apa pegangan kita untuk bangkit? kita harus kembali kepada filosofi bangsa kita, yakni filosofi yang mencakup Ketuhanan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Kerakyatan, dan Keadilan. Itulah Pancasila. Kebangsaan kita menjunjung tinggi perikemanusiaan. Sementara demokrasi kita haruslah ditujukan untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Bukan demokrasi yang menjadi alatnya kapitalisme, imperialisme, dan neokolonialisme. Bukan pula demokrasi yang hanya alat stempel supremasi pemilik modal untuk merusak tatanan dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dengan filosofi itulah kita bangkit dan bergerak kembali. Kita gemakan filosofi luhur itu ke rakyat di gunung-gunung, desa-desa, kampung-kampung, kampus-kampus, pabrik-pabrik, dan tempat-tempat dimana ada kumpulan manusia Indonesia. Dengan begitu mereka bisa mengetahui apa yang melenceng dari kehidupan berbangsa ini, menyadari bahwa nasib bangsa ini masih bisa diubah, dan perubahan itu hanya mungkin bila dilakukan oleh rakyat yang sadar. Kita harus menyatukan kekuatan, bergotong-royong untuk memberantas apapun yang menghalangi keinginan luhur bangsa kita untuk membangun dirinya menuju kesetaraan, keadilan, dan kemakmuran. Dalam pidato HUT Kemerdekaan Indonesia tahun 1964, Bung Karno berseru: berjuanglah, berusahalah, membanting-tulang, memeras keringat, mengulur-ulurkan tenaga, aktif, dinamis, meraung, menggeledek, mengguntur, dan selalu sungguh-sungguh—tanpa kemunafikan—dan ikhlas berkorban untuk cita-cita yang tinggi. Bagaimana cara menghentikan imperialisme itu? Hanya dengan Persatuan Nasional, yakni mengkonsentrasikan seluruh nasional yang menentang neokolonialisme dan imperialisme, lalu bergerak merebut kekuasaan, dan menyusun kembali kepemimpinan nasional yang kuat dan mandiri dengan mencabut semua UU yang pro-asing. Bung Karno pernah mengatakan, suatu revolusi hanya dapat berjalan atau berlangsung terus hingga mencapai tujuannya apabila memenuhi tiga syarat, yakni Revolusi, Sosialisme, Dan Pimpinan/Terpimpin (Re-So-Pim). Ada bangsa yang melakukan revolusi dan punya pimpinan nasional, tetapi tidak punya konsepsi atau ideologi nasional, sehingga revolusinya tidak tahu arah dan menjadi gagal. Ada bangsa yang berevolusi dan mempunyai konsepsi atau ideologi nasional, tetapi tidak terpimpin, ibarat tentara tanpa Jenderal, maka revolusinya tak ubahnya api mengangah dalam sekam dan tak mencapai apa-apa kecuali asap yang mengepul kesana-sini. Ada bangsa yang mau mengadakan perubahan besar yang terperinci, dan punya pula pemimpin nasional tetapi tidak mau jika perubahan besar itu berlangsung secara radikal-revolusioner, dan menghendaki sekedar perubahan yang hanya reformasi-reformasi kecil di sana-sini. Itupun pasti gagal! Tugas kita sekarang, setelah 68 tahun Proklamasi Kemerdekaan, dengan tetap berpegang kepada ajaran Bung Karno, adalah menyalakan kembali api revolusi nasional-demokratis yang sudah lama dipadamkan oleh kekuatan imperialis bekerjasama dengan para kompradornya di dalam negeri. Memang sifatnya revolusi semacam itu adalah multi-kompleks alias panca-muka, yaitu penggabungan dari revolusi politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Revolusi Indonesia menuju kepada sosialisme, sebuah dunia baru tanpa “exploitation de I’homme par I’homme” dan  “exploitation de nation par nation”. Revolusi adalah perombakan, penjebolan, dan penghancuran semua yang tidak disukai rakyat kita dan membangun apa yang disukai oleh rakyat kita. Revolusi adalah perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan keadaan yang baru. Dengan demikian, tiap-tiap yang mempertahankan keadaan yang sudah tua dan menghalangi kemajuan, berarti adalah musuh revolusi. Sekali lagi, mari dengan bergotong-royong kita nyalakan kembali api revolusi Agustus itu. Mari kita rebut kembali kemerdekaan itu. Agar bangsa kita bangkit menjadi bangsa mandiri dan berdikari, punya martabat, adil dan makmur! Hentikan Neokolonialisme! Laksanakan Pasal 33 UUD 1945! Salam Gotong-Royong! Agus Jabo Priyono
Ketua Umum KPP-PRD
Sumber Artikel: berdikarionline.com


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar