Daerah

Pemilukada Jatim Golput Menang !

gagasanriau.com ,Tulung Agung-Di Kabupaten Tulungagung dari DPT sejumlah 857.341, tingkat ketidakhadiran pemilih sebesar 49%. Artinya ada sekitar 437.030 pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Dan dilansir dari beberapa media, Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kabupaten Jombang sejumlah 1.001.953 pemilih, tidak hadir sebanyak 429.400 (sindonews.com).  DPT Kabupaten Malang adalah sebesar 1.965.483 pemilih, dan golput sebanyak 826.134 (malang-post.com).

Sementara tingkat ketidakhadiran di Kabupaten Pasuruan sebesar  43,20% (pasuruankab.go.id) dan Kabupaten Jember sebesar 46,9% (tempo.com).

 Sesuai dengan tahapan, program dan jadual penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur tahun  2013 (Pemilukada) dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim Nomor 11/Kpts/KPU-Prov-014/2013, KPU Kabupaten di Jawa Timur telah melaksanakan rapat pleno terbuka dalam rangka penyusunan dan penyampaian rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilukada pada 4/9 lalu.

Namun fakta  adanya ketidakhadiran warga untuk menggunakan hak pilih kembali memunculkan istilah golongan putih (golput), sebagaimana Pemilihan Umum (Pemilu) sebelum-sebelumnya.

Sedari awal Pemilukada Jatim tahun 2013 ini memang istimewa. Dimulai dari ISO DP yakni program pemutakhiran data berbasis teknologi besutan KPU Provinsi yang mengalami beberapa revisi sistem. Rumitnya proses input data sudah dirasakan mulai tingkatan Panitia Pemungutan Suara (PPS), termasuk jadwal pemutakhiran data Pemilukada yang bertindihan dengan jadwal Pemilu Legislatif 2014. Dalam pencalonan pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur pun terdapat kendala yang menyebabkan keluar masuknya pasangan erKah dalam bursa Pemilukada. Hal tersebut menyebabkan pemberhentian sementara tiga komisioner anggota KPU Provinsi Jatim oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Puncaknya adalah pada bagian logistik beberapa saat jelang Pemilukada, yakni stikerisasi nama pasangan BerKah pada berlembar-lembar format administrasi Pemilu dari tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hingga penundaan rapat pleno penghitungan suara di tingkat PPS sehari setelah penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Hal tersebut tentu saja menambah anggaran untuk pengamanan kotak suara. Yang disadari atau tidak juga mengundang spekulasi akan efek terburuk, yakni terjadinya penyusupan dan manipulasi surat suara untuk memenangkan salah satu paslon.

Pembagian pemilih per TPS sendiri adalah sekitar 350-500 pemilih dengan memperhatikan lingkar geografis masing-masing wilayah. Petugas pemutakhiran data dan petugas KPPS mayoritas diambil dari sistemik perangkat desa yang sangat mengetahui lekuk struktur geografis dan demografis wilayahnya, dari penduduk baru hingga yang meninggal di desanya.

Belum lagi pengalaman para petugas yang berkali-kali mendermakan diri dalam hiruk pikuk penyelenggaraan Pemilu.

Mereka ujung tombak penyelenggaraan Pemilu di lapangan, yang harus siap mental setiap saat damaikan situasi serta emosi saksi atau siapapun yang menghadiri prosesi pemungutan suara dan rekapitulasi penghitungan suara.

Satu biting satu suara. Satu biting tanpa “sah” bisa jadi perkara.

Terkait minimnya sosialisasi Pemilukada yang sempat disorot media, menurut penulis hal itu tidak sepenuhnya benar. Para penyelenggara Pemilu sesungguhnya bersifat sukarela dan terorganisir karena kebanyakan memiliki pekerjaan di lain bidang.

Dalam setiap kesempatan, KPU Kabupaten Tulungagung selalu berpesan untuk mensosialisasikan Pemilukada di komunitas pekerjaan dan lingkungan masing-masing.

Termasuk dengan diterimanya KTP dan KK sebagai pengganti kartu pemilih apabila ada pemilih baru maupun yang hendak pindah TPS. Penulis merasakan sendiri suasana beberapa TPS di wilayah Kecamatan Boyolangu.

Bagaimana usaha dan semangat petugas KPPS memanggil para pemilih via pengeras suara, hingga patungan swadaya mengadakan panggung hiburan, mengundang penyanyi dan membeli doorprize untuk tarik minat warga datang ke TPS berikan hak pilihnya.

Menurut Aristoteles, manusia adalah  zoon politicon-makhluk politik. Manusia dianggap sebagai mahkluk sosial yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Dari manusia membentuk masyarakat, kelompok, bangsa, dan negara. Manusia dikodratkan untuk bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain.

Sesuai dengan deskripsi tersebut, rakyat sudah biasa berurusan dengan birokrasi dan negara yang datangnya belakangan setelah adanya suku bangsa.

Domestifikasi urusan bangsa menjadi dicampuri oleh negara, anggap saja seperti pengurusan akte kelahiran, KTP dan sebagainya. Dalam hal kepemiluan, rumah warga yang telah didatangi oleh petugas pemutakhiran data akan diberi bukti telah terdaftar dengan penempelan stiker lengkap dengan identitas pemilik rumah.

Di satu sisi, dalam International Bill Of Rights, hak kebebasan berpikir dan hak kebebasan bertindak sesuai hati nurani adalah termasuk hak sipil dan politis seorang warganegara.

Dalam hal ini merupakan warganegara yang memiliki hak pilih dalam kepemiluan. Masyarakat Jatim tidak mungkin tidak tahu bahwa tanggal 29 Agustus 2013 adalah hari coblosan Pemilukada.

Karena semua instansi dan sekolah mendadak libur. Juga ada pengumuman ledang keliling wilayah desa dan kota oleh pihak birokrasi di tingkat kecamatan masing-masing jelang hari itu.

Hemat penulis, para golputers yang masih berada di wilayah Jatim melakukan hal itu dengan sadar. Alasan domestik terkait kebutuhan sehari-hari menjadi alasan utama.

Anggaplah “lebih baik berdagang sayur, daripada harus mencoblos surat suara bergambar orang yang tidak saya kenal sebagai pemimpin saya”.

Belum lagi “rasan-rasan” terkait dengan kebijakan sentralistis yang tidak sepenuhnya bisa berefek pada perbaikan kehidupan sosial masyarakat hingga pelosok provinsi.

Sederhananya “Wong kita masih gini-gini aja.., tak ada perubahan berarti”. Bahkan jika mungkin ada pemilih yang terkena uang panas pun, tak bisa mengelak dari suara hati nuraninya.

Apakah anda tahu gambar paslon siapa yang dicoblos seorang pemilih sesampainya di bilik suara? Bagaimanapun, asas rahasia dalam dunia kepemiluan menghormati siapa-siapa saja yang dipilih oleh empunya hak pilih. Siapa yang melanggar, harus siap kena sanksi via regulasi kepemiluan.

Bagaimanapun, Hargai pilihan untuk memilih dan tidak memilih. Jangan salah sangka, rakyat kini sudah pintar dan angka golput bukan sebagai takaran kegagalan atau keberhasilan suatu Pemilihan Umum.

Mungkin iya, bagi penyelenggara Pemilu di semua tingkatan yang telah berbulan-bulan menyiapkan hajatan ini. Tapi dalam demokrasi, pemimpin, supply side dan rakyat adalah setara sebagai Warga Negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih.

Jadi jangan kapok membuat pilihan, karena Pemilu Legislatif 2014 sudah di depan mata!

Dian AA, Jurnalis Warga Tulungagung, Puskakom – Kinerja USAID


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar