Daerah

Riau Dalam Cengkeraman Maut Pemilik Modal

[caption id="attachment_4609" align="alignleft" width="300"]Aktifis Agraria saat hearing dengan DPRD Riau menuntut Perusahaan HTI Angkat kaki. gagasanriau.com Aktifis Agraria saat hearing dengan DPRD Riau menuntut Perusahaan HTI Angkat kaki. gagasanriau.com[/caption] gagasanriau.com, Pekanbaru-Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dalam bukunya Kejahatan Kehutanan Di Bumi Lancang Kuning merilis data Koorporasi milik dua taipan Eka Tjipta Wijaya untuk Sinar Mas grup dan Sukanto Tanoto untuk Grup Raja Garuda Mas merajai bisnis Pulp and Paper dan kebun sawit di bumi Lancang Kuning ini. Konsesi PT.Arara Abadi anak perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) tergabung dalam grup Sinar Mas memilik konsesi seluas 299.975 hektar dan modusnya untuk memperluas lahan PT. Arara Abadi "bermitra" dengan 63 perusahaan hingga total luasan lahan yang berhasil dijarah 953.139 hektar. Sedangkan untuk PT.RAPP tergabung dalam grup Raja Garuda Mas memilik lahan 350.165 hektar berdasarkan SK Menhut 327 tahun 2009, dan modusnya tetap sama yang dilakukan oleh PT.Arara Abadi membentuk sel-sel baru dalam memperluas lahannya dengan bahasa "bermitra" kepada 83 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan modus ini dua perusahaan besar PT.Arara Abadi dan PT.RAPP berhasil "merampok" hutan dan lahan di bumi Riau ini total 1,159,047 hektar. Sejauh ini dua perusahaan HTI yang juga berbinis perkebunan kelapa sawit di Riau menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat adat dan petani yang ada di kabupaten-kabupaten tempat perusahaan ini beroperasi. Betapa menakutkannya bagi petani PT.RAPP dan PT.Arara Abadi akan dengan mudahnya mencaplok lahan mereka tanpa mereka sadari karena keterbatasan sistem administrasi dan pengetahuan tentang hukum hingga setiap perlawanan para petani akan dengan mudahnya dikalahkan bahkan "di kriminalisasi" didalam rumah mereka sendiri. Hal ini terbukti sejak perlawanan masyarakat dari Pulau Padang kabupaten Kepulauan Meranti Riau melakukan perlawanan hingga 4 tahun belakangan sudah tiga orang masyarakat aktifis agraria yang dipenjarakan oleh perusahaan perampas hak rakyat Pulau Padang yakni M. Ridwan dan Muis terakhir Yannas. [caption id="attachment_4610" align="alignright" width="300"]Aksi Penolakan Terhadap Operasional PT. RAPP Di Pulau Padang. gagasanriau.com Aksi Penolakan Terhadap Operasional PT. RAPP Di Pulau Padang. gagasanriau.com[/caption] Saat ini keduanya mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Bengkalis dengan tuduhan yang tak jelas dasar hukumnya. Intinya setiap ada perlawanan atas dua perusahaan tersebut maka penjara akan jadi solusi untuk membungkam nya. Dan ketiganya merupakan aktifis yang getol berjuang mempertahankan hak mereka ditengah-tengah keganasan PT.RAPP yang ngotot beroperasi di Pulau Padang meskipun telah ditolak oleh seluruh rakyat Pulau Gambut itu secara spartan. Pada tanggal 7 September lalu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad membeberkan banyaknya potensi pemasukan negara yang hilang akibat tata-kelola sumber daya alam (SDA) yang melenceng dari amanat konstitusi: pasal 33 UUD 1945. Abraham Samad mengungkapkan, banyak perusahaan tambang di Indonesia yang tidak membayar pajak dan royalti kepada negara. Akibatnya, berdasarkan taksiran KPK, Indonesia kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 7.200 triliun setiap tahunnya. Malahan, bila potensi pendapatan dari blok migas, batubara, dan nikel digabungkan, Indonesia seharusnya menerima Rp 20.000 triliun per tahun. Nilai itu setara dengan 12 kali APBN 2013. Pernyataan Ketua KPK itu menyiratkan beberapa hal. Pertama, argumentasi pemerintah dan pendukungnya, bahwa kehadiran perusahaan asing bisa berkontribusi pada pemasukan negara melalui pajak dan royalti, sudah terbantahkan. Pada kenyataannya, praktek tata kelola di bawah kendali perusahaan asing itu justru melahirkan praktek kolusi dan korupsi. Kedua, aktivitas perusahaan asing mengeksploitasi kekayaan SDA kita memperlihatkan kecenderungan akumulasi primitif, yang menonjolkan metode perampasan dan penjarahan. Tak heran, banyak yang menyamakan praktek ini dengan praktek kolonialisme. Ketiga, kecenderungan pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau makelar untuk memuluskan kepentingan perusahaan asing mengeksploitasi kekayaan SDA kita. Selama ini, tata kelola SDA kita memang sangat neoliberal. Di sini, fungsi utama pemanfaatan kekayaan SDA itu sepenuhnya untuk kepentingan bisnis, sedangkan fungsi sosialnya diabaikan. Selain itu, hak menguasai dan mengelola SDA itu diserahkan kepada swasta, yang notabene mewakili kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum atau rakyat banyak. Akibatnya, rakyat banyak dihilangkan haknya mengakses kekayaan SDA tersebut. Tata kelola SDA yang berorientasi neoliberal itu membawa malapetaka. Pertama, terjadinya perampasan lahan milik rakyat. Di tahun 2012 saja terjadi 198 konflik agraria di Indonesia, yang menyeret sedikitnya 141.915 keluarga petani. Dalam banyak kasus konflik agraria, aparat keamanan negara (TNI/POLRI) justru berposisi sebagai pembela perusahaan swasta melawan kaum tani dan rakyat banyak. Kedua, masyarakat sama sekali tidak mendapat mamfaat dari proses eksploitas SDA. Sebaliknya, seperti terlihat dalam berbagai kasus, rakyat menanggung kerusakan ekologi dan kehilangan mata pencaharian akibat aktivitas eksploitasi SDA di bawah perusahaan swasta. Hari ini, 24 September 2013, kita memperingati 53 tahun pemberlakuan UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA-1960). UU ini merupakan penjabaran langsung dari semangat pasal 33 UUD 1945 terkait tata kelola agraria. Untuk diketahui, UUPA 1960 mengartikan agraria bukan hanya tanah, tetapi mencakup bumi, air, dan ruang angkasa. Artinya, kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi pun masuk dalam cakupan agraria. Dengan demikian, tata kelola SDA di Indonesia seharusnya mengacu pada prinsip-prinsip UUPA 1960. Dalam pasal 2 UUPA 1960 ditegaskan, bahwa prinsip pengelolaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut haruslah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Dengan merujuk pada UUPA 1960 di atas, kami menyimpulkan: pertama, setiap warga negara Indonesia harus dijamin haknya untuk bisa mengakses tanah dan memanfaatkan kekayaan SDA Indonesia; kedua, setiap warga negara Indonesia harus dilibatkan partisipasinya dalam memutuskan pengelolaan SDA agar terpastikan sesuai dengan kepentingan rakyat. Dengan demikian, setiap pengeluaran ijin eksploitasi SDA (tambang, kehutanan, pertanian,) harus mendapatkan persetujuan rakyat dan ada partisipasi dari rakyat di sekitar lokasi konsesi. Ketiga, pengelolaan SDA, baik oleh perusahaan negara maupun swasta, harus dipastikan mendatangkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Karena itu, sehubungan dengan peringatan Hari Tani Nasional yang ke-53 tahun ini, kami menuntut: Pengelolaan SDA di Indonesia harus dikembalikan sesuai ketentuan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Penyelesaian berbagai konflik agraria di Indonesia harus mengacu pada ketentuan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Cabut semua perundang-undangan yang bertolak belakang dengan semangat dan prinsip pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960. Mendesak KPK untuk segera membongkar praktek korupsi dan penyimpangan dalam pengelolaan SDA di Indonesia. Sikap Politik Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW-PRD) Riau Pekanbaru, 24 September 2013 Editor Ady Kuswanto


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar