GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Pemerintah Kota Pekanbaru gagal dalam menerapkan pengelolaan sampah sesuai putusan pengadilan Nomor 262/Pdt.G/2021/PN Pbr tahun 2020.
Hal ini diperkuat dengan peningkatan timbulan sampah khususnya sampah plastik di banyak badan jalan, belum tersedianya fasilitas pemilahan di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS), dan ancaman kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Selain itu, kebijakan terkait Lembaga Pengelola Sampah (LPS) yang tersebar di 83 kelurahan juga belum mampu mengatasi akar permasalahan.
Pembentukan LPS hanya fokus pada aspek pelayanan pengumpulan dan pengangkutan sampah, namun mengabaikan pengurangan dan pemilahan sampah dari sumbernya.
TPS Tanpa Perencanaan
Pasca penutupan beberapa TPS, muncul TPS-TPS baru yang tidak berizin. Pemantauan WALHI Riau di lapangan mengungkapkan, penutupan sejumlah TPS di Pekanbaru justru menimbulkan titik-titik timbulan sampah baru di luar lokasi resmi.
Timbulan sampah di antaranya berada di Gang Anggur II Kelurahan Wonorejo, Jalan Kaharuddin Nasution Kecamatan Bukit Raya, Jalan Teropong Kecamatan Tuah Madani, Jalan Nelayan Kecamatan Rumbai, Jalan Tanjung Datuk Kecamatan Rumbai, Jalan Arwana Kec. Marpoyan Damai, dan Jalan Gulama Kecamatan Marpoyan Damai.
Ahlul Fadli, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau menilai sebaran TPS di Kota Pekanbaru tidak sejalan dengan Permen PUPR No. 3/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga serta Peraturan Wali Kota Pekanbaru Nomor 28 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 08 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Sampah, pasal 13 ayat 4 huruf (a) dan (h).
“Kurangnya sosialisasi pengurangan, pemilahan dan kebijakan larangan pembuangan sampah organik ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), akibatkan meningkatnya timbulan sampah di TPS yang berada di badan jalan. Kebijakan ini terlalu terpaku pada pemindahan sampah dari satu tempat ke tempat lain, tanpa memperkuat pencegahan dari sumbernya,” ujar Ahlul Fadli.
Penetapan lokasi TPS di Kota Pekanbaru sering berubah tiap tahun tanpa evaluasi dan sosialisasi yang merata,. Tercatat ada beberapa kali perubahan lokasi, 61 lokasi pada 2020, 139 lokasi pada 2022, 63 lokasi pada 2023, dan 87 lokasi pada 2025. Penempatan TPS tanpa perencanaan akan sulit mengatasi krisis sampah. Sampah yang tidak tertangani berpotensi menimbulkan pencemaran udara, air, maupun tanah, sekaligus mengganggu kesehatan masyarakat.
*Mengabaikan Putusan Pengadilan: Kegagalan Akuntabilitas*
Sri Wahyuni, selaku penggugat terhadap pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru mengatakan, adanya putusan Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru nomor perkara Nomor 262/Pdt.G/2021/PN Pbr pada 1 Agustus 2022 mewajibkan perbaikan sistem pengelolaan sampah. Namun hingga 2025 langkah konkret masih jauh dari harapan, seperti tidak optimal kebijakan pengurangan sampah dari sumber, belum adanya peraturan walikota tentang pembatasan plastik sekali pakai, dan TPA Muara Fajar masih beroperasi dengan sistem open dumping yang merusak lingkungan.
Pengabaian terhadap aturan hukum ini tidak hanya melanggar hak masyarakat atas lingkungan yang bersih dan sehat khususnya kelompok perempuan dan anak, tetapi juga menggarisbawahi kurangnya akuntabilitas dari Walikota, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan serta DPRD Kota Pekanbaru.
“Kurangnya tanggung jawab dalam melaksanakan putusan ini mengikis kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengatasi salah satu tantangan kota yang paling mendesak, seperti memperbaiki pengelolaan sampah, membuat peraturan daerah tentang pembatasan sampah plastik sekali pakai, menyediakan sarana dan prasarana, serta mengalokasikan anggaran yang memadai,” ungkap Ayu.
Kondisi saat ini perlu dibarengi dengan edukasi partisipatif kepada publik dalam upaya pengelolaan sampah untuk mengurangi kesenjangan beban keuangan daerah. Pemerintah juga harus memprioritaskan program pengurangan dan daur ulang sampah, berinvestasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah ramah lingkungan, dan melibatkan masyarakat melalui edukasi dan mekanisme partisipatif.
*Muara Fajar 2: TPA yang Krisis*
Tumpukan sampah yang terus membesar di Muara Fajar 2 tidak hanya mengeluarkan bau yang menyengat, tetapi juga berkontribusi terhadap pencemaran tanah dan air tanah, serta emisi gas metana—penyumbang signifikan perubahan iklim. Ketiadaan praktik pengelolaan sampah modern di Muara Fajar 2 mencerminkan kegagalan yang lebih luas dalam memprioritaskan solusi berkelanjutan, yang menyebabkan warga menanggung konsekuensi dari sistem yang tidak efisien dan merugikan.
Pada Juli dan Agustus 2025, media di Riau memberitakan upaya Pemerintah Kota Pekanbaru dalam memperbaiki pengelolaan sampah dengan mengonversi sampah menjadi energi listrik. Walikota Pekanbaru memerintahkan Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah dan Asisten II Setdako Pekanbaru untuk langsung meninjau sistem pengelolaan sampah menjadi energi listrik di Kota Chongqing, Tiongkok.
Ahlul Fadli mengkritik hal tersebut, menurutnya mengubah sampah menjadi energi dapat mendorong ketergantungan pada produksi sampah, menghambat upaya pengurangan sampah di sumber (reduce) yang sebenarnya lebih efektif untuk menekan emisi jangka panjang.
“Kebijakan ini akan memperburuk kesehatan dan lingkungan. Proses co-firing sampah yang bercampur aduk akan menghasilkan senyawa kimia berbahaya yang bersifat karsinogenik, yaitu dioksin. Seharusnya Pemerintah Kota Pekanbaru fokus pada pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir, serta mendorong Pemerintah Pusat untuk mengatur dan menyusun regulasi pengurangan dan penanganan sampah yang dihasilkan produsen,” tutup Ahlul.(*)