Daerah

Free, Prior, Informed Consent: Iseng atau Bentuk Baru Feodalisme?

gagasanriau.com ,Pekanbaru-Enam tahun lalu, tanggal 13 September 2007, Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat sidang  Majelis Umumnya menghasilkan sebuah deklarasi yang berisi hak-hak masyarakat adat. Sebelumnya di tahun 1998, muncul Indigenous Peoples Rights Act (IPRA), termasuk di dalamnya Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (KBDD) atau Free Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai solusi bagi konflik kekerasan lingkungan yang dialami masyarakat adat di Filipina. Berbeda dengan penduduk perkotaan, suka tidak suka kita harus mengakui bahwa masyarakat adat memang istimewa karena mereka memiliki struktur hukum, tradisi dan kebudayaan tersendiri. Mereka juga istimewa secara geografis karena hidup di kawasan dengan kekayaan alam yang melimpah. Dua keistimewaan itu kemudian menarik banyak pihak untuk memanfaatkan. Antara lain pihak negara yang (tentu saja) ingin melaksanakan pembangunan, pihak swasta/korporat yang memiliki kepentingan bisnis seperti perusahaan minyak dan pertambangan, serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Sekilas, kata “memanfaatkan” memang berkonotasi negatif. Tapi mungkin juga memiliki dampak positif. Pemerintah punya kewajiban mensejahterakan rakyatnya lewat pembangunan. Misalnya dengan mendirikan sekolah, jembatan, akses jalanan beraspal atau sistem irigasi. Jika memang harus dilakukan dengan memanfaatkan tanah adat, kenapa tidak? Tanpa menghilangan identitas kesukuan mereka, masyarakat adat juga bagian dari masyarakat dunia yang harus berkembang sesuai tuntutan jaman. Sama halnya dengan pemanfaatan oleh penggiat bisnis seperti pihak korporat yang memiliki potensi ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Semua demi peningkatan kesejahteraan masyarakat adat. Tapi untuk mencapainya tentu ada harga yang harus dibayar. Setiap pembangunan memiliki resiko, baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan. Seringkali masyarakat adatlah yang merasakan pengaruhnya. Untuk itu aturan FPIC ini diberlakukan. Idealnya, FPIC merupakan jalan tengah menuju “win-win solution” antara hukum adat dan kepentingan pembangunan. Sayangnya, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan setelah konsep FPIC dideklarasikan, sudah tak terhitung banyaknya konflik di dunia ini yang diakibatkan pembangunan di atas tanah adat. Banyak bermunculan “konsultan” yang ikut campur dalam bisnis menguntungkan, menarik banyak uang dari perusahaan-perusahaan untuk “menolong” komunitas lokal. Seperti di Amerika Selatan, dimana FPIC bukan saja gagal memecahkan masalah yang menimpa masyarakat adat, tetapi juga malah menciptakan sistem feodal baru dengan melanggar hukum negara. Yang lebih mengejutkan lagi, beberapa pelanggaran FPIC dan hak masyarakat adat ternyata dibiayai rezim ekonomi internasional seperti World Bank dan Asia Development Bank (ADB). Contoh kasus tersebut antara lain: Pembangunan bendungan di Laos untuk pengembangan energi hidro (12 sedang dalam tahap pengerjaan, 25 diantaranya memasuki tahap perencanaan akhir). Tak hanya mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati dan naiknya emisi karbon di Laos, beberapa bendungan yang sudah selesai juga berdiri di atas tempat tinggal puluhan ribu masyarakat adat. Sementara di tempat baru yang disediakan sebagai pengganti pun mereka hidup di bawah standar kelayakan. ( http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/SEA-01-120413.html ) Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Ai di Sarawak, Malaysia. Walaupun proyek ini sudah berjalan sejak tahun 1980-an, tapi sampai tahun 2009 masyarakat adat Batang Ai masih tidak memiliki akses transportasi umum dan kualitas pelayanan publik yang buruk. Dan menurut penelitian, relokasi sekitar 2800 penduduk Batang Ai akibat proyek tersebut, tidak berakhir sukses karena lahan pertanian yang disiapkan untuk mereka ternyata gagal panen. Penghasilan menurun, dan 60% kepala keluarga hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal ADB sudah menyatakan pemindahan tersebut sebagai program yang sensitif budaya dan aman secara ekonomi karena sudah disiapkan dengan hati-hati. Dua kasus tersebut hanya sebagian contoh kecil tentang belum efektifnya aturan FPIC untuk kesejahteraan masyarakat adat. Masih banyak kasus-kasus lain yang bahkan melibatkan kekerasan seperti yang terjadi di Philippine. FPIC masih sekedar formalitas hitam di atas putih dan belum jadi jaminan bagi keikutsertaan masyarakat adat dalam menentukan kelangsungan tempat tinggal mereka. Jangankan dalam proyek berbujet besar, dalam seminar tentang pentingnya FPIC yang diselenggarakan Oxfam Amerika pada September 2012 di Washington DC, tak ada satupun perwakilan masyarakat adat yang diundang untuk menyatakan pendapat mereka. Bagaimana bisa, NGO idealis pembela keadilan dan kesejahteraan seperti Oxfam bisa lupa menyertakan elemen terpenting dalam seminar FPIC? Jika sosialisasi FPIC bahkan tak bisa menyentuh subjek yang jadi tujuan aturan ini dibuat, maka tak heran masyarakat adat jadi semakin jauh dari advokasi yang bisa menyuarakan aspirasi mereka dan pada akhirnya mereka makin terasing dari pembangunan dan akan terus menerus menjadi korban industrialisasi. Seperti yang disampaikan kepala suku Yawanawa di Brazil dalam surat terbukanya kepada beberapa NGO, “Kami sudah lelah dengan ahli antropologi, penggiat lingkungan hidup, organisasi keagamaan dan ahli-ahli lain yang bicara atas ama kami dan memanfaatkan kami untuk kepentingan mereka. Tolong hormati tekad kami untuk menentukan keputusan kami sendiri.” Sebuah ucapan yang layak direnungkan, terutama oleh mereka yang menekan para pembuat kebijakan di pemerintahan untuk mengaplikasikan FPIC. Bagaimanapun, ada baiknya melakukan tinjauan kritis dulu terhadap FPIC sebelum hal itu malah membuat masyarakat adat menjadi semakin terasing. Ika Virginaputri – penulis independen untuk Dekker Center for Investigative Journalism/DCIJ  


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar