GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto sebagai langkah yang tidak relevan dan problematik. Ia mengkritisi wacana tersebut karena dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, moral, dan keadilan historis.
Secara yuridis, Hendardi mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Dalam Pasal 24, tercantum syarat umum penerima gelar, salah satunya adalah memiliki integritas moral dan keteladanan serta berkelakuan baik. Ia menyatakan Soeharto tidak memenuhi syarat tersebut.
Menurut Hendardi, selama masa pemerintahan Soeharto yang otoriter dan militeristik, terjadi berbagai pelanggaran hak asasi manusia serta kejahatan terhadap kemanusiaan. Semua itu belum pernah diuji dalam proses peradilan yang adil dan independen hingga kini.
Lebih jauh, ia menyoroti praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan keluarga serta elit politik di sekitar Soeharto. Akumulasi persoalan tersebutlah yang memicu Gerakan Reformasi 1998 dan berujung pada lengsernya Soeharto dari kekuasaan.
Hendardi menegaskan bahwa tanpa adanya klarifikasi politik yang memadai atau proses hukum yang menyatakan Soeharto tidak bersalah, pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya menjadi tidak relevan dan cacat legitimasi.
Dari sisi politik, menurut Hendardi, gelar tersebut bisa menjadi simbol kebangkitan Orde Baru atau “Kebangkitan Cendana”, yang bertentangan dengan semangat Reformasi 1998. Hal ini dapat merusak semangat demokratisasi dan supremasi sipil yang diperjuangkan selama gerakan reformasi.
Secara sosial, Hendardi memperingatkan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dapat membingungkan generasi muda yang tidak mengalami langsung pemerintahan Orde Baru. Hal itu bisa menciptakan kontradiksi dalam pemahaman sejarah nasional.
Menutup pernyataannya, Hendardi menilai bahwa menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sama saja dengan menghapus ingatan kolektif atas berbagai pelanggaran di masa lalu, dan justru akan mencederai keadilan historis serta semangat reformasi bangsa.(*)