Jutaan Hektare Kebun Sawit Rampasan “Diputihkan” Demi BUMN

Senin, 29 Desember 2025 | 19:20:08 WIB
(dok net)

GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Harapan para pecinta lingkungan agar kebun-kebun kelapa sawit hasil rampasan pemerintah dikembalikan fungsinya sebagai hutan, akhirnya pupus. 

Sebab diam-diam, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 20 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.

Pada ayat 1 Pasal 326A aturan itu disebutkan bahwa Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan secara parsial untuk kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan hasil penguasaan kembali, dilakukan melalui pelepasan kawasan hutan.

Lalu di ayat 2 disebutkan pula bahwa Pelepasan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Kawasan Hutan yang telah diserahkan oleh pimpinan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintah di bidang pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada badan usaha milik negara.

“Ini benar-benar sebuah kezaliman yang sangat luar biasa. Di satu sisi, dalil yang muncul di awal, kebun-kebun kelapa sawit yang disangkakan berada di kawasan hutan itu diambil alih untuk dikembalikan fungsinya sebagai kawasan hutan. Namun kenyataannya, justru dirubah menjadi Areal Peruntukan Lain (APL),” kata Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Sawitku Masa Depanku (DPP-SAMADE), Abdul Aziz, di Pekanbaru (28/12).

Oleh dalil menyelamatkan kawasan hutan itulah, menurut lelaki 50 tahun ini, publik memberikan dukungan. “Tapi kalau sudah begini ceritanya, lagi-lagi pembohongan publik yang terjadi,” ujar Aziz.

Memang kata Aziz, di Permenhut itu disebutkan bahwa status kawasan hutan yang akan dilepaskan itu adalah kawasan hutan dengan fungsi Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Hutan Produksi Tetap (HP). “Kalau kebun sawit yang dirampas sudah mencapai 4,08 juta hektare, anggaplah separuhnya adalah HPK dan HP. Ini kan sudah 2 juta hektare kawasan hutan yang dilepaskan,” katanya.

Dan pelepasan itu, lanjut Aziz, ditujukan untuk kepentingan perusahaan. “Meskipun itu perusahaan milik negara, tetap saja untuk tujuan bisnis. Apakah bisnis lebih penting ketimbang penyelamatan lingkungan?” tanya Aziz.

Yang membuat Aziz semakin heran, kebun-kebun sitaan itu justru dikelola oleh perusahaan yang umurnya baru hitungan bulan. “Apakah ini akan benar-benar berjalan? Sementara di lapangan, perusahaan ini tidak mengelola sendiri kebun hasil sitaan itu, tapi di-KSO-kan (Kerja Sama Operasional) kepada pihak lain. Perusahaan cuma terima bersih. Oleh KSO ini, banyak masalah yang muncul dan bahkan terjadi pertumpahan darah. Kalau memang pada akhirnya lahan-lahan itu dilepaskan dari kawasan hutan, kenapa tidak pelaku usaha lama saja yang tetap mengelola? Sementara mereka sudah lama memohon pelepasan tapi tidak digubris,” ujarnya.

Klaim Sepihak, Lahan Disita, dan Denda Tidak Masuk Akal

Sejak awal, kawasan hutan yang disangkakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) — yang kini telah berubah menjadi Kementerian Kehutanan — kepada para pelaku usaha sawit hanyalah klaim. Sebab, menurut Aziz, kehutanan hanya menunjukkan peta kawasan hutan, sementara bukti-bukti proses pengukuhan kawasan hutan tidak pernah ditunjukkan.

Padahal Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan menyebutkan bahwa apabila proses penataan batas telah selesai dilakukan dan sudah temu gelang, tapi masih ada hak-hak pihak lain di dalamnya, maka panitia tata batas harus menyelesaikan hal tersebut.

“Itu artinya, semua hak-hak pihak ketiga harus dihargai dan diselesaikan. Sebagai bukti kalau kawasan hutan itu ditata batas, tentunya ada Berita Acara Tata Batas (BATB) yang diteken oleh semua pihak yang berbatasan. Kalaupun ada yang luput, bukan berarti pihak ketiga itu langsung disangkakan berada di dalam kawasan hutan, tapi justru hak-haknya harus diselesaikan,” terang Aziz.

Intinya menurut dia, kalau kehutanan benar-benar melakukan proses pengukuhan kawasan hutan — yang dimulai dengan penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan — maka tidak akan pernah ada hak-hak pihak lain yang terjebak di dalam kawasan hutan.

Tragisnya menurut Aziz, setelah kehutanan menyangkakan secara sepihak lahan seseorang berada di kawasan hutan, sangkaan itu kemudian diikuti dengan tagihan denda yang nilainya sangat tidak masuk akal.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif, disebutkan bahwa denda yang dibebankan kepada pelaku sawit yang lahannya disangkakan berada di kawasan hutan adalah Rp25 juta per hektare dikalikan dengan lama produksi kebunnya.

“Kalau lama produksi kebun itu 10 tahun, maka Rp25 \text{ juta} \times 10 = Rp250 \text{ juta}. Ini denda untuk 1 hektare. Kalau 100 hektare, sudah Rp25 miliar. Sudahlah harus bayar denda, lahan disita pula. Setelah ada Satgas PKH, pelaku usaha sawit tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Dan kalaupun membela diri, mau melapor ke mana? Semua Aparat Penegak Hukum (APH) ada di Satgas PKH. Ini juga menurut saya tidak fair. Seharusnya penegak hukum itu ada di posisi netral,” katanya.

Di saat pelaku usaha yang disangkakan “dibunuh” lewat denda, kata Aziz, perusahaan BUMN justru dengan enaknya boleh mengusahai lahan sitaan itu semaunya. “Sampai sekarang kita belum pernah mendengar berapa hasil kebun sawit sitaan itu dan duitnya ada di mana. Kalau Rp2 juta saja hasil satu hektare kebun sawit itu sebulan, sudah Rp18 triliun hasil dari 1,5 juta hektare kebun sitaan selama 6 bulan. Ini uangnya ke mana dan di mana?” tanya Aziz.

Kehutanan Tidak Berpihak pada Rakyat

Gampangnya Menteri Kehutanan membentangkan “karpet merah” kepada perusahaan pelat merah, menurut Aziz, sudah sangat mencederai rakyat. Pertama, tak satu hektare pun lahan sitaan itu yang diserahkan kepada masyarakat tempatan.

“Banyak lahan masyarakat adat menjadi kebun sawit perusahaan lama. Salah satunya di Riau. Mereka kini hanya jadi penonton. Tapi begitu negara menyita kebun kelapa sawit itu, tak ada yang dikembalikan kepada masyarakat, yang ada malah diserahkan kepada perusahaan baru (perusahaan pelat merah),” katanya.

“Kalau memang tujuan bernegara ini adalah demi kepentingan masyarakat, bagikan saja lahan sitaan itu kepada masyarakat. Kalau 4 juta hektare yang sudah disita, sudah ada 2 juta kepala keluarga yang hidupnya akan membaik bila mereka kebagian 2 hektare per KK. Tapi ini nampaknya tidak,” ujar Aziz.

Kedua, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak rakyat telah bermohon agar lahan sawitnya dilepaskan dari kawasan hutan, tapi permohonan itu tidak mendapat respons. Sementara banyak di antara mereka telah mengelola lahannya jauh sebelum kawasan hutan itu ada.

“Yang lebih miris lagi adalah lahan-lahan eks-transmigrasi yang jelas-jelas program pemerintah, lalu lahan itu diklaim masuk kawasan hutan. Ketika mereka memohon agar dilepas dari kawasan hutan untuk ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), permohonan itu mentok begitu saja. Kalaupun ada yang direspons, paling diarahkan ikut Perhutanan Sosial atau Hutan Kemasyarakatan. Ini kan sama saja statusnya tetap hutan,” ujar Aziz.

Kalau memang Kemenhut berpihak pada rakyat, seharusnya lahan-lahan masyarakat itu dilepas dari kawasan hutan. “Kenapa kalau untuk perusahaan, Menhut dengan gampangnya mengubah peraturan?” Aziz kembali bertanya.

Aziz kemudian berharap agar publik mau bersama-sama mendorong agar Permenhut tentang pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan pelat merah itu dibatalkan. “Kalau memang kawasan hutan, kembalikan saja menjadi hutan,” tegasnya.

Lalu, Aziz juga meminta agar pemerintah membentuk Tim Independen untuk menelaah kembali kawasan hutan versi kehutanan tersebut. “Kami menemukan banyak kejanggalan di sana. Termasuk pengakuan seorang Dirjen yang mengatakan hanya bisa menata batas luar saja karena kekurangan anggaran. Sementara di batas dalam banyak hak-hak masyarakat. Inilah yang terjebak di dalam kawasan hutan itu,” tutupnya.(*)

Halaman :

Tags

Terkini