GagasanRiau.Com Pekanbaru - Kasus pembantu yang dianiaya pembatu yang beberapa waktu lalu sempah menghebohkan Pekanbaru nampaknya akan berakhir damai, alasannya, keluarga Salomi Tiladala, si pembantu, tak sanggup bolak balik dari NTT untuk menghadiri penyidikan kasus ini.
Menurut Direskrim Umum Polda Riau, Kombes Surawan, keluarga korban minta kepolisian tidak melanjutkan kasus ini dan memilih damai. Upaya damai tersebut berkemungkinan ditebus dengan membayar ganti rugi gaji yang sebelumnya tak pernah diterima Salomi, selama ia bekerja dengan tersangka Susi.
"Keluarga Salomi merasa kesulitan bila harus bolak-balik dari Nusa Tenggara Timur ke Riau hanya untuk menghadiri panggilan penyidik, belum lagi jika nanti sudah masuk ke persidangan. Ini yang jadi alasan kuat mereka agar kasus tersebut dihentikan saja, meski sekarang status Susi, si pelaku, adalah tersangka," kata Surawan.
Tetapi menurut permintaan damai dari keluarga Salomi masih dikaji, dilakukan gelar perkara dulu, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, karena ini pidana murni.
Terkait ini, kriminolog Riau, Kasmanto Rinaldi SH, M. Si menyatakan, dalam penanganan tindak pidana, tidak ada istilah 'perdamaian' antara si pelaku dan korban.
Menurutnya, dalam criminal justice system, hubungan pelaku itu adalah dengan negara, bukan kepada individu korban. Begitu pula sebaliknya, korban tidak punya hubungan langsung atas apa yang terjadi pada diri si pelaku.
"Artinya, dalam aspek victimology konvensional, Salomi 'tidak akan dapat apa-apa', meski seandainya pun pelaku di hukum mati sekalipun atas perbuatannya. Namun di sini, kehadiran negara yang diwakili oleh perangkat sistem peradilan pidana adalah dalam konteks mewakili hak-hak si korban," katanya seperti dilansir dari Goriau.
Kasmanto menilai, dalam pandangan victimologi modern seperti kasus ini, acap kali korban mengalami yang namanya Revictimisasi yang diakibatkan oleh victimisasi struktural. Dikarenakan status sosialnya, si korban seringkali mengalami 'penderitaan baru' pada saat proses penanganan perkara pidana yang menimpanya," bebernya.
"Tidak jarang korban yang seharusnya 'diuntungkan', malah mengalami penderitaan lagi. Dinamika ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam sistem hukum pidana kita, namun pada pelaksanaannya kita belum mampu melakukan inovasi hukum," nilai Kasmanto.***
Editor Arif Wahyudi