Ada 1,6 Juta Hektar Hutan Alam Dirubah Status Jadi Perkebunan Sawit

Sabtu, 10 Desember 2016 - 17:11:00 wib | Dibaca: 6955 kali 
Ada 1,6 Juta Hektar Hutan Alam Dirubah Status Jadi Perkebunan Sawit

GagasanRiau.Com Pekanbaru - Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) didesak agar mengusut tuntas terkait peralihan status kawasan hutan alam yang dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Dimana kawasan tersebut ada sekitar 26 kawasan tidak memiliki Izin Pelepasan Kawasan (IPK) namun tetap beroperasi hingga sekarang.

Demikian disampaikan oleh Koalisi Eyes on the Forest (EoF), dimana kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare diubah status tanpa perizinan lengkap dan diduga koruptif dalam penerbitan izinnya.

"Patut diduga praktek korupsi maasif telah terjadi dengan cara perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare itu menjadi kawasan bukan hutan," kata Woro Supartinah, koordinator Jikalahari, yang juga anggota koalisi Eyes on the Forest (EoF), di Pekanbaru, Jumat (09/12/2016).

Permintaan tersebut disampaikannya terkait  EoF melakukan telaah dan investigasi lapangan pada 26.611 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT), 16.548 hektare Hutan Produksi (HPH) dan 57.634 hektare Hutan Produksi Dikonversi (HPK).

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional tahun 2016 status lahan yang ditelaah EoF berdasarkan izin adalah 18.754 hektare Hak Guna Usaha (HGU) 82.039 hektare untuk Bukan HGU. Analisa terhadap lahan yang dipertanyakan legalitasnya seluas 100.093 hektare (0,06 persen) dari total 1.638.249 hektare.

Menurut dia, temuan EoF menunjukkan mayoritas kebun sawit yang dianalisis belum diberikan izin Pelepasan Kawasan untuk perkebunan oleh Kementerian Kehutanan hingga tahun 2015. Mereka tidak termasuk dalam Data Progres Pelepasan Kawasan hutan ke Perkebunan 2015 atau Data Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk Perkebunan, Berdasarkan Buku Basis Data Spasial Kehutanan 2015.

Senada dengan Woro, Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau, anggota koalisi EoF mengatakan, luar biasa melihat bagaimana temuan oleh Pansus Sawit DPRD Riau di mana ratusan perusahaan membabat hutan alam dan mengonversinya menjadi sawit, lalu memiliki izin bodong, tetap beroperasi hingga sekarang, tanpa adanya penegakan hukum.

"Ini tak bisa dibiarkan, kami minta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengusut praktek korup ini, dan membatalkan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2004, Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan," katanya.

Koalisi juga mendesak KLHK melakukan penyidikan dan penindakan terhadap perusahaan sawit yang telah mengembangkan kebun sawit pada kawasan hutan sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, Tentang Kawasan Hutan di Propinsi Riau.

Selain itu, mendesak BPN Provinsi Riau untuk melakukan evaluasi terhadap HGU yang telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten di kawasan hutan.

Laporan EoF dengan merujuk pada temuan Koalisi Masyarakat Sipil Riau bersama Pansus Sawit DPRD menemukan nama-nama besar korporasi sawit global yang terlibat dalam dugaan kongkalikong sulap izin tata ruang ini, seperti Wilmar, First Resources, Golden Agri-Resources, Sarimas, Panca Eka dan Bumitama Gunajaya Agro.

"Korporasi sawit dengan operasi global telah memberikan komitmen kelestarian maupun ketelusuran rantai pasok dari sumber yang lestari, namun melihat kenyataan dari laporan ini, perlu klarifikasi dan ketegasan mereka, sehingga para konsumen dan pembeli tidak merasa dibohongi dengan komitmen berulang tersebut," ujar Nursamsu, Koordinator EoF dari WWF-Indonesia.

Dalam UU 18 tahun 2013 Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan Pasal 93 disebutkan Korporasi yang membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).(ANT)

Editor Arif Wahyudi


Loading...
BERITA LAINNYA