GagasanRiau.Com Pekanbaru - Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Bupati Rokan Hulu non aktif Suparman dan Ketua DPRD Riau Johar Firdaus dengan hukuman masing-masing enam dan 4,5 tahun penjara.
Kedua orang ini terdakwa dalam status mereka sebagai terdakwa dugaan suap pada pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Riau.
"Meminta supaya majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing untuk terdakwa satu, Johar Firdaus selama enam tahun dikurangi selama berada dalam tahanan, dan terdakwa dua Suparman selama empat tahun dan enam bulan, dikurangi selama berada dalam tahanan," kata Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tri Anggoro Mukti, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau, Kamis (26/1/2017).
Jaksa penuntut umum (JPU) juga menuntut agar kedua terdakwa dijatuhi denda masing-masing sebesar Rp200 juta, subsidair pidana kurungan pengganti selama tiga bulan, dengan perintah agar para terdakwa tetap dalam tahanan.
Menurut JPU, berdasarkan fakta persidangan sudah bisa dinyatakan kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama, melanggar Pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pembatalan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kedua politisi Partai Golkar itu disebut oleh JPU telah menerima suap dan janji dari Annas Maamun, yang saat itu menjadi Gubernur Riau, dalam kasus dugaan suap pembahasan Rancangan APBD Perubahan 2014 dan Rancangan APBD 2015. Para terdakwa saat itu masih menjadi legislator periode 2009-2014, diakhir masa jabatan Johar sebagai Ketua DPRD Riau dan Suparman sebagai anggota. Dalam kasus ini, Annas Maamun juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
JPU menyatakan terdapat perbuatan menerima janji yang telah terjadi secara sempurna kepada Johar dan Suparman, berupa pemberian uang dan fasilitas perpanjangan penggunaan kendaraan dinas dari Annas Maamun berkaitan untuk mempercepat pembahasan APBD-P 2014 dan APBD 2015.
"Hal yang memberatkan, perbuatan para terdakwa sebagai anggota DPRD Provinsi Riau periode 2009-2014 telah menciptakan pemerintahan daerah yang koruptif," kata Tri Anggoro Mukti.
Dari fakta persidangan, Annas Maamun menginginkan pembahasan perubahan APBD 2014 dan RAPBD 2015 dilakukan anggota DPRD Riau periode 2009-2014, yang akan habis masa jabatannya pada 6 September 2014.
Sebabnya, Annas Maamun mengganggap anggaran yang ada sebelum dirinya dilantik sebagai Gubernur Riau, tidak sesuai dengan visi dan misinya.
Pada prosesnya, Johar Firdaus mengusulkan permohonan pinjam pakai kendaraan dinas anggota DPRD Riau yang akan memasuki masa purna bakti, termasuk untuk dirinya karena tidak terpilih lagi pada Pemilu Legislatif 2014.
JPU mengatakan Johar dan Suparman, yang saat itu juga anggota Badan Anggaran (Banggar), terlibat aktif dalam perencanaan untuk meminta imbalan dalam pembahasan APBD tersebut, mulai dari permintaan Rp200 juta untuk tiap anggota dewan, hingga akhirnya Annas Maamun hanya dapat memberikan Rp50 juta untuk 40 orang anggota DPRD. Dari keterangan saksi-saksi dipersidangan juga terungkap bahwa gaya kepemimpinan Annas Maamun yang otoriter selaku gubernur, telah memperbaiki sendiri buku Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), yang membuat pembahasan APBD berlarut-larut.
Bahkan, Annas Maamun juga menghendaki agar KUA-PPAS yang dibuatnya dapat diterima oleh anggota DPRD untuk disahkan menjadi APBD tanpa ada koreksi.
"Sebagai anggota Banggar dan orang yang memiliki kedekatan kepada Annas Maamun, baik secara politik maupun pribadi, pada tanggal 30 Agustus 2014, terdakwa II (Suparman) melaporkan kepada nnas Maamun melalui telepon yang intinya RAPBD 2015 tidak ada masalah. Padahal saat itu jelas bahwa koreksi buku KUA-PPAS tahun anggaran 2015 belum diterima oleh DPRD Provinsi Riau, dan belum dilakukan pembahasan," kata Tri Anggoro.
Pada kasus tersebut, JPU menyatakan uang suap yang diberikan oleh Annas Maamun berjumlah Rp1,2 miliar, namun baru teralisasi Rp900 juta. Uang tersebut dimasukan ke dalam amplop tertutup sebanyak 40 amplop yang terdiri dari satu amplop berisi Rp50 juta, dua amplop Rp40 juta, enam amplop Rp25 juta dan 31 amplop isinya Rp20 juta. Penyerahan uang melalui saksi Suwarno kepada saksi anggota DPRD Kirjauhari, diparkiran basement DPRD Riau sehari sebelum penandatanganan nota kesepahaman KUA antara Pemprov Riau dan DPRD Riau pada 2 September 2014. Kemudian, Perda APBD 2015 disahkan pada 4 September 2014.
"Padahal KUA dan PPAS tahun anggaran 2015 tidak pernah dibahas oleh tim Banggar DPRD Provinsi Riau," katanya.
Kemudian pada 8 September 2014, JPU menyatakan terdakwa Johar telah menerima uang suap dari Annas Maamun sebesar Rp155 juta dari janji awalnya Rp200 juta, yang diserahkan oleh saksi Riki Hariansyah di rumah Johar di Komplek Pemda Arengka Pekanbaru.
Sementara itu, terdakwa Suparman memang belum menerima bagian dari uang suap Rp900 juta tersebut. "Namun, dapat dikatakan bahwa walaupun terdakwa dua (Suparman) tidak menerima, namun terdakwa dua juga merupakan bagian dari kerjasama dan kesepakatan antara anggota DPRD Provinsi Riau untuk mnerima sejumlah uang dari Annas Maamun berkaitan dengan pembahasan APBD-P 2014 dan RAPBD 2015," katanya.(ANT)
Editor Arif Wahyudi