Andre Syahbani: Jurnalis Damai Bukan Provokator

Sabtu, 31 Agustus 2019 - 23:08:57 wib | Dibaca: 2016 kali 
Andre Syahbani: Jurnalis Damai Bukan Provokator
Andre Syahbani (Jurnalis senior Inhil)

Jika jurnalis terlalu mendewa-dewakan fakta dalam membuat berita dan mengabaikan fakta bahwa berita bisa menyulut kerusuhan yang lebih besar, apa bedanya wartawan dengan provokator. Sebab, jika kita sama dengan media sosial lalu apa gunanya kita belajar ilmu jurnalistik dan mengusung kode etik.
 
Begitu status yang saya upload di beranda Facebook saya, menanggapi pemberitaan bertebaran di medsos mengenai kasus kerusuhan baru-baru ini di Indonesia.
 
Hitungan detik status saya terbit. Muhammad Daud, jurnalis media online bertugas di Kabupaten Indrgairi Hilir, Riau, berkomentar. Sesaat saya sempat terdiam apa yang disampaikan nya dikolom komentar status saya. Berulang kali saya membaca komentarnya itu sebelum saya menjawabnya. 
 
Dan inilah komentar yang ditulisnya "Sepakat Kanda, idealnya awak media memproduksi informasi penyeimbang agar tidak terkesan tendensius dan sensasional belaka".
 
Tentang komentar itu, jujur saya kagum, sosoknya masih sangat muda, tapi soal  penelaahaan sebuah berita terbilang cukup maju. Komentar itu juga menyiratkan sebuah pesan bahwa tugas jurnalistik dalam menyampaikan informasi harus terukur dan aktualitas, proksimitas (kedekatan) apa yang diberitakan untuk memenuhi kepentingan khalayak pembaca/pemirsa atau audiens.
 
Apa yang ditulis oleh Muhamad Daud itu memang harus dibangun sejak dini tanpa menghilangkan jiwa kritik sebagai jurnalis. Komentarnya itu juga mendasari artikel ini saya tulis di sela-sela menyambut malam 1 Muharram.
 
Tanpa menghilangkan jiwa keritik yang dimaksud menghindari atau mencegah munculnya keresahan masyarakat, pejabat atau pemangku kebijakan atas tulisan-tulisan jurnalis yang terkesan tendensius dan terlalu menghakimi berujung provokasi.
 
Jurnalis memupuk diri agar memiliki prinsip dalam membingkai laporan suatu kejadian lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat dengan harapan bahwa dampak atas apa yang diberitakan (peristiwa, kejadian, atau persaingan/konflik antarpihak yang menjadi bahan berita) tidak ada yang merasa dirugikan. Tidak menghilangkan 5W+1H dasar dalam sebuah pemberitaan. Ibarat kata, produksi berita harus mengena dengan istilah ini; What (apa), who (siapa), when (kapan), where (di mana), why (kenapa) + how  (bagaimana). Pentingnya prinsip 5W+1H itu diberlakukan, agar berita yang dihasilkan adalah dasar dari sebuah peliputan itu benar adanya bukan hoax.
 
Tapi dalam kenyataannya, dan di bawah alam sadar masih ditemukan jurnalis yang menerbitkan pemberitaan justru berujung pada sebuah konflik dan pertentangan.  Minimnya data, dan tidak tidak kuatnya sumber yang bicara bahkan tersamar dalam penyebutan nama sumber kerap dianggap layak.  
 
Bahkan dengan mudahnya pula kita temukan dengan entengnya jurnalis membuat dalam pemberitaan dengan memakai istilah "Menurut salah satu sumber yang tidak mau disebutkan namanya". Padahal dengan menulis sumber tersamar itu, sang jurnalis harus bersikap tegas yakni tidak memberitakan sesuatu itu jika narasumbernya saja tidak mau menyebutkan namanya. Kok kita sebagai wartawan mau mengambil risiko dari perilaku narasumber semacam itu. Apa kata dunia?
 
Kondisi ril di lapangan, pertumbuhan media massa cukup signifikan beberapa tahun belakangan ini, terutama media yang berbasis daring/online sangat cepat tersebar.  Perkembangan teknologi ini juga mengharuskan jurnalis selektif dalam menyiarkan beritanya. Dan bukan justru menyebarkan pemberitaan yang bisa memantik pro dan kontra apalagi kerusuhan. Sejatinya jurnalis dan khususnya pers bisa menyajikan pemberitaan yang mencerdaskan masyarakat sebagai pembaca dan perlunya penyeimbangan dalam berita yang dipublis tersebut.
 
Jika media sosial cepat mewara-wirikan sebuah peristiwa yang kebenarannya perlu diklarifikasi lagi, tentunya kita sebagai jurnalis tidak harus seperti itu karena selain memberikan informasi tentunya kita juga bisa hadir sebagai peneduh dengan menilai pemberitaan itu secara baik. Di satu sisi, meski benar bahwa yang dipublish itu fakta, hendaknya kita jangan sampai pula mengabaikan fakta bahwa berita bisa menyulut sebuah peristiwa semakin tidak terkontrol. 
 
Dan saya pun sepakat apa yang disampaikan oleh wartawan senior medcom.id, Syah Sabur,  di kolom artikelnya yang menyebutkan, kalau kita bersikap sama dengan media sosial, lalu apa gunanya kita belajar ilmu jurnalistik dan kode etiknya? Dan di akhir tulisan ini, saya teringat kembali sosok  wartawan muda yang saya sebutkan di awal tulisan ini,  Muhammad Daud . Setidaknya dengan semangat  jurnalisnya yang masih panjang, dia telah menyiapkan diri dengan memahami konsep-konsep pemberitaan yang  pro dan kontra itu sejak dini, dan mampu memilahnya adalah  pencapaian  berharga  menuju dedikasi dan kematangan  diri sebagai jurnalis .
 
 
Penulis: Andre Syahbani  (wartawan senior Inhil)
 
 

Loading...
BERITA LAINNYA