Kelapa 'Denyut' Kehidupan Masyarakat Inhil

Ahad, 19 Maret 2023 - 13:40:27 wib | Dibaca: 1379 kali 
Kelapa 'Denyut' Kehidupan Masyarakat Inhil
Warga Desa Sungai Piai, Muhammad Idrus saat 'menyolak' kelapa. (Foto: Daud/Gagasanriau)

Seorang petani kelapa mandi keringat di bawah teriknya matahari hingga bulan akan tiba menunjukan batang hidungnya. Namun petani itu tidak mengeluh demi menghidupi keluarganya.

Petani itu terus bekerja dengan berbekal sebilah pengait yang menjulang memanen buah kalapa di hamparan kebun yang gersang. Setelah buah dipanen, petani itu menancapkan 'sulak' pengoyak sabut kelapa.

Namanya Muhammad Idrus berumur 55 Tahun, Warga Desa Sungai Piai Kecamatan Kuindra Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau itu tidak mengeluh menjalani proses panen demi menghidupi keluarganya.

Pria paruh baya itu mengaku hasil kebun kelapa tidak mampu mencukupi kebutuh hidup. Saat ini harga jual kelapa jambul grade A Rp.1.600 perkilogram, sedangkan yang PMK Rp.1.000 perkilogram.

"Harga jual kelapa sangat murah, tidak cukup untuk kebutuhan dapur," kata Idrus, seorang ayah yang menghidupi tujuh orang anak saat diwawancarai wartawan, menyempatkan waktu perjalanan ekspedisi Jurnalistik PWI Riau dalam memperingati HPN, Sabtu (18/03/2023).

Ditambah lagi musim banjir tiba yang mengancam menurunnya produksi pohon kelapa petani. Idrus mengaku panen bulan ini buah kelapa berkurang atau menyusut akibat pengaruh banjir melanda perkebunan kelapa di wilayah Kecamatan Kuindra.

"Panen trip ini buah kelapa sangat sedikit akibat pengaruh banjir," kata Idrus.

Brak.., Idrus menghentakkan buah kelapa ke mata sulak hingga sabut kelapa terkoyak dari tempurungnya. Satu persatu akhirnya mencapai seribu lebih buah kelapa dikupas yang akan dijual ke PT Pulau Sambu.

Untuk mencukupi kebutuh dapur, Idrus terpaksa mengambil upah panen kelapa petani lainnya. Ia mengaku menerima upah hasil mengupas kelapa hanya dibayar Rp.130 perbiji.

Langkah itu diambil Idrus bukan tampa alasan. Ayah tujuh anak itu hanya memiliki 4 baris kebun kelapa. Sedangkan harga jual kelapa sudah satu tahun tidak naik, tidak seimbang dengan harga jual sembako.

Idrus mengibaratkan, satu kilo buah kelapa tidak cukup membeli satu butir gembung (roti) Rp.2.000 perbiji.

Kondisi ini membuat petani menjerit. Jangankan merawat kebun kelapa mereka, untuk biaya hidup saja petani kelapa terseok-seok. Imbasnya perkebunan petani hamparan kelapa dunia tidak produktif lagi akibat kemiskinan.

Padahal negeri hamparan kelapa dunia yang menjadi julukan Kabupaten Inhil merupakan denyut kehidupan masyarakat tempatan. Hampir 65 persen masyarakat bergantung kepada kebun kelapa rakyat.

Kelapa menjadi tanaman kehidupan yang menghantarkan anak petani menjadi Sarjana hingga Profesor. Masyarakat petani berutang budi pada kelapa, darah dan daging masyarakat sangat tergantung pada jasa kelapa.

Jika harga jual kelapa murah dampaknya bukan hanya dirasakan para petani, namun seluruh lapisan masyarakat akibat perputaran ekonomi disektor riil tidak stabil. Para pedagang mengeluh karena dagangannya sepi pembeli.

Baca: Petani Inhil Menjerit Satu Tahun Harga Kelapa Anjlok, 'Pak Jokowi Tolong Kami'

Tidak ada Kepastian Patokan Harga Jual Kelapa

Seorang petani kelapa di Desa Teluk Kabung Kacamata Gaung Kabupaten Inhil terduduk lesu dipunggung kelapa yang berbaris rapi di tanah warisan datuk moyangnya.

Namanya Mulyadi, walaupun harga kelapa murah namun ia tetap bekerja. Saat itu panas terik menerpa menyengat wajahnya, ia tetap 'mengokang pengait' memanen buah kelapa bulat di tanah warisannya itu.

Padahal gairahnya untuk memanen kelapa sangat kecil. Pasalnya sampai saat ini ketidakpastian patokan atau standar harga jual komoditas kelapa. Persoalan ini membuat petani dua anak itu tidak memiliki semangat merawat kebunnya itu.

Walaupun pabrik penampung kelapa hasil produksi petani yang beroperasi di Kecamatan Kuala Enok dan Pulau Burung sudah ada, namun harga jual kelapa masih jauh dari nilai keekonomian dan belum bisa menutupi biaya produksi yang dikeluarkan petani.

Saat Field Trip Raja Ali Kelana HPN Provinsi Riau tahun 2023, rombongan sempat singgah ke PT Pulau Sambu Kuala Enok. Wartawan menanyakan mengenai patokan atau standar harga beli buah kelapa petani. Namun Humas perusahaan besar itu tidak menjelaskan secara rinci.

"Mengenai harga beli, tergantung market permintaan pasar. Jika permintaan pasar turun, maka harga bahan baku juga turun," kata Humas PT Pulau Sambu, Udin S, saat diwawancarai rombongan ekspedisi Jurnalistik PWI Riau di pelabuhan.

Perusahaan besar yang mejadi harapan masyarakat petani didirikan sejak 1967 yang diresmikan oleh Presiden RI, Soeharto, saat ini hanya memproduksi minyak goreng atau kara dan mengekspor ampas kelapa ke luar negeri.

Lebih lanjut Udin menjelaskan, harga beli bahan baku hasil pertanian kelapa tergantung market. Karena produk PT Pulau Sambu diekspor ke luar negeri. Ditambah lagi perusahan tidak mampu menampung seluruh kelapa rakyat.

Padahal masyarakat petani harus melalui proses panjang hingga hasil panen buah kelapanya sampai ke pabrik perusahaan raksasa itu. Setiap pancang bongkar muat buah kelapa dibatasi, perharinya hanya 40 ton.

Terkadang petani harus antrian menunggu giliran buah kelapanya dibongkar dan dimuat ke dalam kapal. Menunggu berhari-hari hingga sampai giliran bongkar. Akhirnya buah kelapa membusuk menurunkan kualitas yang ujung menurunkan harganya.

Krisis Pekebun Kelapa Rakyat

Sudah satu tahun masyarakat terseok-seok sejak harga kelapa turun drastis yang menimbulkan bencana terjadinya krisis perkebunan di Negeri Hamparan Kelapa Dunia sebagai julukan Kabupaten Inhil Provinsi Riau.

Zainal Arifin Hussein, SE.,ME seorang aktivis lingkungan mengatakan, dengan rendahnya harga jual buah kelapa berpengaruh bagi kesehatan perkebunan masyarakat petani yang berpotensi mengalami krisis produksi kelapa.

"Rendahnya upaya peremajaan perkebunan kelapa memperparah krisis perkebunan di Inhil," kata Zainal yang juga merupakan Dekan FEB UNISI.

Kondisi perkebunan masyarakat saat ini sangat memprihatinkan. Seperti terjadi di wilayah Inhil Utara, ribuan hektare perkebunan kelapa sudah tidak produktif lagi akibat terendam banjir.

"Berkurang luasan kebun disebabkan banyak faktor salah satunya adalah usia kebun kelapa yang sudah tua, abrasi/intrusi air laut," papar Zainal.

Krisis luas kebun kelapa terus merosot dari tahun ke tahun. Zainal menilai Inhil tidak lagi negeri penghasil kalapa terbesar di Riau yang berujung menghilangkan julukan Negeri Hamparan Kelapa Dunia.

"Harga kelapa tidak pernah membaik, posisi tawar petani kelapa lemah karena hidup miskin," sebutnya.

Demi kesejahteraan masyarakat petani kelapa, pemerintah harus melakukan pembinaan dan upaya mengucurkan bantuan bibit peremajaan kebun kelapa, serta mengalokasikan anggaran pembangunan tanggul.

Selain perbaikan kebun kelapa rakyat, Zainal menyarankan kepada pemerintah untuk mendirikan industri kelapa dengan memanfaatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam mengolah turunan kelapa.

Maka diperlukan hilirisasi industri, yaitu upaya mengolah sumber daya menjadi barang jadi atau setengah jadi agar menghasilkan produk yang dibutuhkan pasar domestik maupun ekspor keluar negeri.

"Hilirisasi bisa memberikan nilai tambah bagi petani, seperti pengolahan sabut, air kelapa, santan, dan beragam turunan lain," jelas Zainal.

 

Penulis: DaudMNur

*Artikel ini berhak cipta*
 


Loading...
BERITA LAINNYA