GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Sekretaris Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Pekanbaru Basri, terkejut saat mendengar kabar bahwa ada oknum pegawainya yang diduga meminta uang dari masyarakat untuk mempercepat terbitnya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SK BPHTB).
“Saya sudah bilang dari awal ke seluruh pegawai jangan biasakan urusan pakai duit. Karena kalau sudah ada uang, pasti jadi masalah,” ujar Basri Kamis (24/4).
Pernyataan itu bukan tanpa sebab. Ia sedang merespons kesaksian warga bernama Radit yang mengaku menjadi korban dugaan pemerasan oleh pegawai berinisial ZL. Radit, yang hanya ingin mengurus perubahan status tanah menjadi sertifikat resmi, justru merasa dipermainkan.
NJOP yang awalnya disampaikan sebesar Rp160 ribu per meter, mendadak melonjak menjadi Rp916 ribu hanya dalam hitungan hari. Akibatnya, beban pajak yang harus dibayarnya naik drastis dari sekitar Rp 12 juta menjadi nyaris Rp 89 juta.
“Saya tak tahu siapa inisial ZL itu. Nanti saya tanyakan ke Kabid-nya langsung, ke Pak Dayat (Hidayat Al Fitri),” tegas Basri.
Ia menambahkan, hingga saat ini belum ada laporan resmi yang masuk ke pihaknya terkait kasus tersebut. Namun Basri tak menampik bahwa praktik semacam ini adalah hal serius yang mencederai pelayanan publik.
“Masyarakat jangan terbiasa memberi uang, dan petugas pun jangan pernah meminta. Dengan alasan apa pun, itu sudah salah,” katanya.
Sebagai Sekretaris, Basri mengaku telah berulang kali mewanti-wanti pegawai agar pelayanan publik dilakukan tanpa embel-embel uang. Semua proses, menurutnya, sudah memiliki prosedur yang jelas dan transparan.
“Silakan masyarakat datang langsung ke kantor, masukkan berkas ke loket yang sudah tersedia. Gratis. Tidak ada bayar-bayar tambahan. Yang disetor hanya uang pajak ke kas daerah,” tegasnya.
Namun publik bertanya, jika Basri sudah sejak awal mengingatkan, mengapa praktik ini masih terjadi? Dan mengapa seorang pejabat setingkat sekretaris belum mengenali oknum yang disebut-sebut oleh korban?
Meski begitu, Basri tak menutup kemungkinan untuk mengambil tindakan. “Kalau nanti terbukti, kita panggil dan suruh kembalikan uang masyarakat. Uruslah semua secara normal. Kalau ada kendala, masyarakat bisa langsung ke Kabid, Sekretaris, atau Kaban,” katanya, seakan membuka pintu koreksi.
Pernyataan itu terdengar menjanjikan. Tapi Radit dan banyak warga lainnya berharap lebih dari sekadar janji. “Kalau warga yang niatnya taat pajak saja diperas, bagaimana bisa kami percaya pada sistem?” ujar Radit.
Kini, sorotan tajam tertuju pada Basri, bukan sebagai sosok yang disalahkan, melainkan sebagai harapan terakhir untuk membersihkan tubuh Bapenda dari praktik kotor yang sudah lama membebani hati masyarakat. Sebab, di balik angka-angka pajak itu, ada jeritan diam para warga kecil yang hanya ingin haknya dihargai, dan langkahnya dimudahkan.(*)