GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU - Badan Restorasi Gambut (BRG) dinilai telag gagal total dalam melakukan pemulihan lahan-lahan rusak dirambah untuk kepentingan bisnis korporasi Hutan Tamanan Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Lantaran tak mampu bekerja dan hanya menghabiskan duit negara, BRG malah menyalahkan masyarakat.
"Kami dari Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) menyesalkan dan membantah keras atas pernyataan Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) yang menyudutkan masyarakat gambut yang berulah sebagai biang terjadinya bencana kabut asap" Isnadi Esman selaku Sekretaris Jenderal JMGR kepada Gagasan Sabtu (14/9/2019).
Dimana katakan Isnadi, pernyataan Kepala Badan BRG itu dimuat di media online kompas.id pada tanggal 13 September 2019.
"Kita harus pahami bahwa, memuncaknya bencana kabut asap yang di timbulkan dari Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Riau hingga saat ini merupakan akumulasi dari buruknya tata kelola gambut yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan dan regulasi yang tidak berpihak kepada ekosistem gambut dan masyarakatnya" papar dia.
Kemudian kata dia lagi, izin konsesi baik itu Hutan Tanaman Industri (HTI), HGU, Tambang dan Migas merupakan akar utama dari keringnya gambut sehingga mudah mengalami kebakaran.
Namun kata dia lagi, sangat disayangkan apabila hingga hari ini pemerintah dan publik masih membangun paradigma dan opini bahwa masyarakat petani gambut di desa sebagai penyebab utama terjadinya Karhutla ini.
“Kepala Badan BRG harus jeli melihat fakta lapangan hari ini bagaimana masyarakat gambut berusaha “mengikat perut” mereka, menahan lapar dan kemiskinan, dengan tidak lagi bertani dan bercocok tanam karena takut akan terjadinya kebakaran" tegas dia.
Isnadi menyatakan bahwa mereka siap untuk menunjukkan kepada pemerintah, dimana masyarakat yang mengalami penderitaan ganda akibat kesalahan masa lalu negara dalam mengelola sumber daya alamnya.
Karena katanya lagi, saat ini masyarakat gambut tidak hanya mengalami kemunduran kesehatan akibat asap namun juga kemiskinan yang semakin mendera.
"Contohnya di desa-desa sepanjang Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan” terangnya.
Dia menyebutkan, dulu masyarakat mengelola lahan gambut dengan arif dengan menanam jagung, hasilnya berlimpah untuk kebutuhan makan, sekolah dan kesehatan.
Namun tgeasnya, ketika ada larangan membakar, patroli dari kepolisian dan TNI rutin di lakukan ke masyarakat, ribuan hektare lahan terlantar dan menjadi semak belukar. Dan itu yang sekarang setiap tahun mengalami kebakaran hebat, itu baru satu contoh banyak lagi kondisi yang sama terjadi di Riau” ungkap Isnadi
Sebenarnya katanya, Substansi masalah kegagalan restorasi gambut saat ini bukan di masyarakat, tapi kelemahan pemerintah yang tunduk pada korporasi.
Pemerintah kata dia, tidak berani mengintervensi secara maksimal kepada perusahaan untuk melakukan upaya restorasi. Selain itu juga tidak mampu memberikan sanksi atas kerusakan gambut yang disebabkan perusahaan.
Dan tegas dia, seberapa banyak pun sekat kanal dan sumur bor dibangun jika tidak dilakukan manajemen air yang baik tetap saja areal-areal masyarakat akan mengalami kekeringan dan kebakaran.
"Kita temukan di lapangan perusahaan menutup pintu air yang mengarah ke areal masyarakat secara permanen ketika musim kemarau seperti sekarang, sehingga dampaknya areal konsesi tetap basah sementara areal permukiman dan wilayah kelola masyarakat kering, sehingga mudah terbakar" ungkap dia.
Dan ungkapnya lagi, sebaliknya jika musim penghujan pintu-pintu air di perusahaan dibuka sehingga areal masyarakat kebanjiran.
"Solusi ini yang harus kongkrit diselesaikan oleh pemerintah yang dalam hal ini BRG, KLHK dan Kementan dan otoritas yang lainya. Bukan malah melemparkan dan meng“kambing hitam”kan masyarakat gambut”. Pungkas Isnadi.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera (JMG-Sumatera) Albadri Arif yang biasa disapa Boneng mengatakan “Masyarakat yang terlibat dalam pembakaran lahan tidak bisa di generalkan.
Menurut dia, ada perusahaan dan pemodal yang menggunakan modus dengan membayar masyarakat untuk membakar lahan yang akan disiapkan untuk lahan perkebunan seperti sawit dan HTI.
“Mereka bukan masyarakat petani yang menanam padi, jagung serta palawija yang hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dimana mereka memang bergantung hidup pada lahan gambut" kata dia.
Karena kata dia, masyarakat yang berada di kelas petani kecil tadi diyakini mereka mengelola lahan secara hati-hati dan arif.
"Disinilah pentingnya kejelian pemerintah dalam penegakan hukum. Tidak hanya masyarakat yang ditetapkan tersangka hingga vonis namun tidak kalah penting terhadap perusahaan, cukong dan pemodal, dimana mereka benar-benar mengeksploitasi gambut untuk kepentingan bisnis dan industri” Tutup Boneng