Gagasanriau.com Pekanbaru-Akibat kerusakan lahan gambut yang terjadi di Provinsi Riau menurut Tim Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atau UKP4 menyebutkan terdapat 12.541 titik panas pada periode 2 Januari hingga 13 Maret 2014.
"Dari belasan ribu titik panas itu, 93,6 persen berada di wilayah Riau, dan selebihnya di perbatasan," kata Deputi Pemantauan Program Institusi Penegakan Hukum UKP4 Mas Achmad Santosa lewat pesat elektronik yang diterima, Sabtu (18/10/2014). Tim gabungan yang terdiri atas Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), dan Badan Pengelola REDD+, sebelumya juga telah melakukan audit bersama terkait upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Sebelumnya, pada Jumat (17/10) tim tersebut juga telah menggelar rapat koordinasi antara tim audit kaputuhan bersama Pemerintah Provinsi Riau di Kantor Gubernur Riau di Pekanbaru yang dipimpin Pelaksana Tugas Gubernur Arsyadjuliandi Rachman. Dari hasil audit tersebut, tim juga mengeluarkan rekomendasi perbaikan hutan di masa mendatang yang berisikan enam poin penting, yakni perbaikan kebijakan di kawasan rawan kebakaran. Kemudian pelaksanaan evaluasi konsesi perlu dipertimbangkan untuk melakukan evaluasi luas konsesi, dan kemampuan manajerial dari perusahaan yang mengajukan izin. Perlu tindakan segera dan tegas untuk menghentikan okupasi yang telah terjadi dan dapat dipertimbangkan untuk dialihkan kepada perusahaan lain yang siap bertanggungjawab. Selanjutnya penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam resolusi konflik umumnya, kebakaran terjadi di wilayah konsesi yang sedang dalam kondisi konflik dengan masyarakat. Kapasitas Pemerintah Daerah perlu didorong pada proses resolusi konflik untuk dapat membantu menyelesaikan persoalan. Kemudian pembinaan dan pengawasan berjenjang penegakan hukum administrasi terhadap perusahaan memiliki peran penting karena tidak melalui proses panjang sebagaimana pendekatan penegakan hukum pidana dan perdata. Selain itu, penegakan hukum administrasi ini memiliki potensi untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan menimbulkan efek jera karena sanksi langsung diberikan kepada korporasinya. Pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan tidak sedikit perusahaan menganggap masyarakat adalah lawan dan bukan kawan, sehingga untuk itu perlu dilakukan kegiatan yang bernuansa kemitraan dengan masyarakat sebagai suatu kebutuhan dan bukan pelengkap. Pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA) di wilayah-wilayah perbatasan yang rawan kebakaran dengan aktivitas yang saling menguntungkan merupakan satu contoh bentuk hubungan saling menguntungkan. Perlu diatur legislasi terkait dengan kewajiban perusahaan untuk ikut mendukung pendirian MPA khususnya peralatan dan pelatihan sebagai bentuk CSR. Kemudian dukungan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB), dan insentif masyarakat melakukan pembakaran karena tidak terdapat cara lain yang lebih ekonomis selain membakar. Maka, pemerintah daerah harus mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan tersebut melalui penyediaan dukungan PLTB dengan menggunakan teknologi yang ekonomis. Penerapan PLTB ini sebaiknya dilaksanakan selaras dengan proses penegakan hukum bagi pelaku pembakaran dan insentif, sehingga ada dukungan. Dikutip dari antara.Editor Diaz Bagus Amandha