gagasanriau.com ,Jakarta-Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang akan berlangsung di Bali pada Desember mendatang dikhawatirkan hanya akan memberatkan anggaran negara.
Perhitungan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) ,memperkirakan anggaran yang diperlukan mencapai Rp 319,6 miliar.
Peneliti Senior FITRA, Yeni Sucipto dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (24/11/2013) menjelaskan kebutuhan anggaran pertemuan WTO ini diatur melalui Keputusan Presiden (Kepres) nomor 15 tahun 2013 tentang Pembentukan Panitia Nasional Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Menteri Negara-negara Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) IX tahun 2013.
Dalam ketentuan tersebut disebutkan semua biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas panitia nasional sebagian besar dibebankan pada Kementerian Perdagangan. Setidaknya terdapat delapan 8 program dalam agenda WTO yang seluruh dananya diperoleh dari anggaran negara
Kedelapan pos anggaran tersebut adalah: 1. Laporan Hasil analisa tentang adanya indikasi importasi barang dumping/barang mengandung subsidi yang mencapai Rp 218 juta 2. Laporan ketentuan anti dumping yang sesuai dengan agreement WTO mencapai Rp 539 juta 3. Laporan penyelenggaraan/Keikutsertaan dalam sidang/Konfrensi Internasional di Dalam/Luar Negeri Rp 3,8 miliar 4. Partisipasi sidang-sidang Fasilitasi Perdagangan di dalam dan luar negeri Rp 1,4 miliar 5. Peningkatan peran dan kemampuan diplomasi perdangangan internasional Rp 266 miliar 6. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis lainnya ditjen kerjasama Perdangangan Internasional Rp 30 miliar 7. Peningkatan kerjasama di bidang perdangangan jasa Rp 7,8 miliar 8. Peningkatan kerjasama dan perundingan multilateral Rp 9 miliar
Yani mengungkapkan, kebutuhan anggaran penyelenggaran Konferensi WTO tersebut hampir setara dengan anggaran untuk perbaikan gizi Indonesia.
Secara substantif, lanjut Yani, pertemuan WTO kali ini bertujuan menyelesaikan sebagian isu kunci dalam Putaran Doha, seperti Trade Facilitation, LDC's package, dan Agriculture. Ketiga isu tersebut yang selanjutnya disebut Paket Bali itu tidak memberikan keuntungan bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang.
Ketiga poin tersebut dikhawatirkan hanya akan mendorong arus barang dan jasa dari negara maju akan lebih mudah masuk ke negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk ke Indonesia. Bahkan, negara berkembang terancam kehilangan kesempatan meningkatkan produksi pangan domestiknya setelah negara maju menolak proposal pemberian subsidi bagi kepentingan Public Stockholding dan Food Security yang diusulkan oleh negara Kelompok 33 (G33).
Dengan pertimbangan tersebut, Yeni mengecam keputusan pemerintah yang bersedia menjadi tuan rumah dan berkomitmen melanjutkan negosiasi perdagangan bebas multilateral dalam kerangka WTO di Bali nanti. Keputusan-keputusan buruk yang akan dihasilkan akan memberikan dampak negatif bagi rakyat Indonesia dan menjadi beban bagi pemerintahan pasca Pemilu 2014.
FITRA sendiri mendesak pemerintah untuk menghentikan praktek pengurangan subsidi-subsidi rakyat, mengubah orientasi kebijakan anggaran negara yang lebih mencerminkan keberpihakan pada pembangunan sektor pertanian, kelautan dan perikanan, dan pengembangan industri nasional.
Liputan6