Daerah

Sitok Srengenge Si Penyair Pemerkosa itu Belum Juga Diperiksa Polisi

Gagasanriau.com ,Jakarta- Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama seorang penyair Sitok Srengenge, hingga saat ini tidak ada perkembangannya.

Hal ini dikeluhkan Iwan Pangka, kuasa hukum RW, korban kekerasan seksual yang dilakukan penyair tersebut. "Sudah hampir tiga bulan sejak pelaporan, sampai saat ini, pelaku ini belum juga diperiksa," tulis Iwan dalam rilis yang diterima redaksi, Jumat (7/2).

Menurut Iwan, waktu lebih dari 3 bulan sudah terlalu lama untuk suatu proses pemeriksaan kasus kekerasan seksual ini ada apa?

Ditegaskannya, untuk kasus pemerkosaan, pencabulan, ataupun kekerasan seksual (pasal 285 KUHP), pemeriksaan harus dipercepat dan bahkan perlu mendapatkan perlakuan yang khusus, mengingat adanya kondisi trauma yang dialami korban.

"Saya khawatir kasus ini akan tenggelam dan kurang diperhatikan, mengingat adanya kegiatan Pemilu yang akan segera dilaksanakan. Saya pun khawatir, prioritas aparat kepolisian untuk melakukan penanganan keamanan serta ketertiban masyarakat pada masa pemilu turut berpengaruh terhadap kasus ini. Lantas dampak terburuknya kasus ini mungkin saja akan dihentikan. Karena itu, saya berharap pihak kepolisian segera memeriksa pelaku, memberikan informasi dan kepastian hukum atas kasus ini secara terbuka kepada publik," ujar Iwan. 

Advokat yang biasa disapa Iwan ini juga menyesalkan pasal yang dikenakan terhadap aktivis komunitas Salihara itu hanya perbuatan tidak menyenangkan atau Pasal 335 KUHP. "Ini sangat tidak tepat. Karena, perbuatan pelaku sudah jelas merupakan pemerkosaan dan kekerasan seksual. Jadi, kami akan memperjuangkan agar SS dikenakan Pasal 285 dan Pasal 294 KUHP," kata Iwan.

Sementara itu, Iva Kesuma, yang juga kuasa hukum korban, menambahkan kesaksian dari  dua korban lain selain mahasiswi Universitas Indonesia itu seharusnya menjadikan adanya peningkatan, bukan lagi Pasal 335 KUHP. "Ini yang penting yang akan kami perjuangkan," ujar Iva.

Dijelaskan pula, bukti forensik psikologis dan fisik juga sudah diperkuat dengan penjelasan dari ahli ginekolog. "Yang jelas, kami tidak akan berhenti mengawal sampai proses hukum ini benar-benar berjalan," tutur Iva.

Proses hukum atas kasus Sitok Srengenge agar dikenakan pasal pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan ini juga turut mendapat dukungan dari kalangan Majelis Kedaulatan Penyai.

Di sisi lain, pada akhir Desember 2013 lalu, penulis peraih banyak penghargaan nasional dan internasional, Linda Christanty, mengajak teman-temannya di Facebook untuk memperingati tanggal 29 November sebagai Hari Antipemerkosaan. “Teman-teman yang tercinta, bagaimana kalau kita memperingati tanggal 29 November (hari RW melaporkan pemerkosaan terhadapnya yang dilakukan penyair Sitok Srengenge) setiap tahun sebagai hari antipemerkosaan?” tulis Linda dalam statusnya, Ahad (29/12).

Meskipun negara belum mengesahkan hari antipemerkosaan itu, Linda mengajak teman-temannya untuk tetap memperingati. “Tanggal tersebut akan menjadi peringatan dalam sejarah negeri ini (atau bahkan dunia) dan sekaligus terus mengingatkan kita untuk berjuang melawan tindak kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan, anak, danLGBTQI. Gerakan ini melintas agama, ras, status sosial, dan preferensi seksual,” kata Linda dalam statusnya tersebut.

Sebelumnya, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memprotes Polda Metro Jaya yang mengalihkan penangananan kasus dugaan eksploitasi seksual yang dilakukan Sitok Srengenge. Menurut Komnas Perempuan, pengalihan tersebut diskiriminatif.

Awalnya, penanganan kasus ini dilakukan di Unit III Subdit Remaja, Anak, dan Wanita, tapi kemudian dialihkan ke Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Alasan polisi, kasus ini telah menyedot perhatian publik.

“Sikap Polda Metro Jaya mengalihkan penangananannya pada Subdit Kamneg adalah tidak tepat dan dapat dipandang sebagai praktik diskriminasi bagi perempuan korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf (c) dan (f) Konvensi CEDAW,” demikian antara lain ditulis dalam siaran pers Komisi Nasional Perempuan yang  terima pada Selasa (24/12).

Konvensi CEDAW adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah disahkan melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1984

asatunews


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar