Daerah

"Bencana" Kepemimpinan Riau

Gagasanriau.com Pekanbaru-Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Riau pasca tertangkapnya Gubernur Riau beberapa minggu yang lalu oleh lembaga anti rasuah KPK, peristiwa ini menjadi “tamparan” terberat bagi masyarakat Riau. Ketika seorang nahkoda: mengendalikan kapal dan menentukan kompas perjuangan masyarakat Riau, apabila tertangkap oleh KPK akan membuat kita prihatin!.

Secara psikologis, berdampak kepada pemangku kebijakan 12 kabupaten yang ada di Riau. Ditambah lagi suasana kebatinan para generasi muda yang melihat Gubernur Riau mendekam dijeruji “besi”.

Kepada siapa lagi kita bisa mendapatkan sumber keteladanan dan pelayanan bagi rakyat? Jika terjadi “demoralisasi” dalam konteks kepemimpinan gubri.

Sekarang, ditingkat nasional telah menggurita pemberitaan tentang Riau. Bisa kita saksikan di acara bergengsi sekelas ILC dengan judul: hattrick gubri ditangkap KPK.

Realitas politik yang di terjadi tingkat daerah yang katanya daerah minyak ini secara spontan telah membuat kita tersentak dan menangis jika mengingat peristiwa politik seperti itu.

Siapa yang patut disalahkan dalam persoalan krisis kepemimpinan seperti ini? Jika kita melihat fakta sejarah bahwa 3 kali kepemimpinan gubri 3 kali berakhir hidup dibalik jeruji “besi”.

Riau ini merupakan provinsi yang kaya sumber daya alamnya yang bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat riau.

Tapi kemana hasil dari kekayaan itu? Hanya dinikmati oleh elit Riau dan para kaum kapitalis yang ada di Riau.

Kembali dalam pembicaraan mengenai kepemimpinan di Riau: untuk melahirkan pemimpin di era demokrasi seperti sekarang ini diperoleh melalui rekrutmen partai politik untuk mengusung baik gubernur, bupati/walikota. Menurut hemat saya, ada yang salah dalam proses rekrutmen politik untuk menjadi penguasa di provinsi Riau.

Beberapa kali kita melihat partai politik yang ada di Riau hanya sebatas “kendaraan” bagi kaum elit yang haus akan kekuasaan kalau terpilih: amnesia dengan rakyatnya. Partai politik hanya diberi mahar dari calon pemimpin. Tetapi tidak memperhatikan apa motif dari calon tersebut.

Dan apa visi dan misi atau dengan kata lain gagasan seperti apa yang bisa ditawarkan dalam memajukan daerahnya. Itu yang tidak pernah terpikirkan oleh kaum elit jika ingin menjadi nahkoda di Riau ini. Dalam hal suksesi gubernur.

Begitu banyak potensi yang secara sadar di “lalaikan” oleh elit penguasa. Ada potensi dibidang pertanian, perkebunan, pendidikan serta sumber daya alam yang sangat kaya dibumi yang saya pijak sehari-hari dalam beraktivitas sebagaimana biasanya.

Kalimat yang sangat tepat menggambarkan kondisi Riau saat ini adalah: selamatkan Riau dari bencana kepemimpinan. Ketika era reformasi ini, kita sedang dibuai dalam lantunan demokrasi. Ada yang mempengaruhi dengan suara lantang.

Kita bukan hanya memilih seorang nahkoda tetapi kita mencari “figure” seorang pemimpin yang bisa berpikir holistic dan visioner bahkan menjadi supernahkoda. Kita membutuhkan pahlawan untuk menyelamatkan Riau daerah beradat.

Agar degradasi moral yang menjadi penyakit kronis ini bisa terselamatkan, seorang pemimpin harus menjadi teladan dan mampu menakhodai kapalnya supaya selamat sampai ke arah yang jelas dan terukur. Seorang nakhoda haruslah “paham”. Begitulah yang diajarkan kearifan melayu. Menurut Chaidir, dalam bukunya: Membaca Ombak, paham disini mengandung makna: kapabilitas, kapasitas dan kredibilitas.

Narasi kebijaksanaan lancang kuning adalah kekayaan dahsyat yang universal. Ini adalah milik semua dan untuk semua. Banyak pemimpin yang pintar tetapi hanya sedikit pemimpin kita yang paham. Yang berani menjawab keluh kesah rakyatnya, dan paham bagaimana menjadi “pelayan” rakyat.

Keberadaaan seorang pemimpin, seperti yang selalu diungkapkan Kongfucius pada zamannya: adalah terlahir untuk memenuhi kepentingan rakyat. Maka atas dasar itu, pemimpin haruslah menjalankan roda pemerintahannya berlandaskan aturan moral. Selain itu, krisis keteladanan juga acap kali mewabah.

Padahal hampir semua wilayah nusantara telah lama menceritakan arti penting dari sebuah keteladanan itu. Keteladanan adalah sosok bermoral yang melekat dari sikap seorang pemimpin. Keteladan seorang pemimpin menjadi penting: karena akan diikuti oleh masyarakat yang dipimpinya.

Bagi elit politik, elit kelompok maupun masyarakat sudah seyogianya mengubah paradigma kekuasaan. Bukan karena kita sudah lelah dengan kemarahan yang berpotensi menimbulkan kehancuran.

Tetapi lebih dari itu karena rakyat Riau rindu akan sebuah penghormatan dan jiwa teladan dari seorang pemimpin. Rakyat menginginkan pemerintah yang dimotori melalui landasan humanisme dan memposisikan kepentingan bersama diatas segala-galanya.

Dengan tindakan demikian, kita telah mengubah paradigma kekuasaan pada tingkatan yang lebih arif, dan tinggi. Dalam perspektif ini kepemimpinan yang kuat adalah pemimpin yang bisa menjunjung tinggi marwah.

Ini perkara yang tidak mudah. Harus ada kesadaran politik bersama untuk menunjukkan kepemimpinan yang kuat: berpihak pada rakyat bukan kaum elit semata.

Suasana kebatinan yang dihadapi oleh masyarakat Riau saat ini sudah saatnya dilupakan. Dan kita kembali kepada spirit kemelayuan yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang bisa mengisi ruang kepemimpinan.

Karena tak akan mungkin larut dalam penyakit kronis, krisis kepemimpinan secara berkepanjangan. Yang bisa kita lakukan adalah: semangat gotong-royong untuk menyembuhkan “marwah” Riau dan melakukan reevaluasi kepemimpinan lancang kuning secara total yang beorientasi pada petuah lancang kuning itu sendiri. Dengan begitu, akan selamatlah negeri bumi lancang kuning ini.

"Bencana" Kepemimpinan Riau :Oleh: Rasid Ahmad


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar