Opini Sempena Hardiknas

Transformasi Pendidikan dan Pendangkalan Intelektual di Indonesia

Sarjana (Ilustrasi)

GagasanRiau.Com Pekanbaru - KAMPUS dewasa ini telah bertransformasi sedemikian rupa menjadi lembaga yang sangat birokratis dan bervisi industri. Transformasi ini jelas tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme kontemporer, dimana perputaran arus modal telah merasuk ke dalam segala sendi-sendi kehidupan, termasuk lembaga pendidikan.

Terjebaknya pendidikan dalam skema industrialisasi dimulai pada saat Orde Baru berkuasa. Melalui skema pembangunan bertahap dengan konsep Repelita (Rencana Pembangunan Per Lima Tahun), rezim orba sukses mengubah corak produksi masyarakat Indonesia yang awalnya masih terbatas pada corak produksi pertanian ke corak produksi industri padat karya dan eksplorasi sumber daya alam. Agenda pemerintah ini tentu saja tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan sumber daya manusia yang cakap dan terampil dalam memasok tenaga kerja yang profesional untuk memenuhi tuntutan agenda industri secara besar-besaran. Oleh sebab itu melalui dukungan modal asing, pada tahun 1970-an pemerintah membangun sarana dan prasarana pendidikan dengan massif, terutama penambahan tenaga pengajar, pembangunan gedung-gedung baru, menambah kuota mahasiswa, dan pembuatan kurikulum pendidikan yang memperkokoh agenda pembangunan nasional.

Namun demikian, kita tidak akan mampu melihat lebih dalam problem dunia pendidikan kita tanpa mengaitkannya dengan Peristiwa 1965. Pasca G30S, rezim orba bergerak cepat dengan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kemudian menyatakannya sebagai partai terlarang. Tidak itu saja, orba kemudian membuat kebijakan yang melarang pengajaran Marxisme/Leninisme di seluruh jenjang pendidikan. Dan sejak saat itu, lembaga pendidikan menjadi lahan untuk menyerang paham komunisme yang dianggap sesat dan tidak bertuhan.

Kebijakan ini terbukti sangat ampuh untuk membungkam daya kritis dan menekan sikap intelektual untuk tidak melawan kebijakan orba. Tidak berhenti di situ, rezim orba kemudian melakukan pengawasan ketat terhadap karya intelektual yang sekiranya membahayakan stabilitas rezim. Sementara yang terus menyuarakan sikap kritis pasti dibungkam. Akibatnya, terjadi kemarau panjang dalam hal produksi intelektual atau akademisi yang kritis. Pada saat yang sama, produktivitas  kalangan intelektual dalam melahirkan karya-karya bermutu tinggi sangat rendah. Fenomena akademisi berdiam diri melihat penindasan masyarakat dan meng-iyakan segala bentuk penindasan merupakan sesuatu yang ditanamkan pemerintah orba untuk menghabisi semua musuh-musuh politiknya. Gerakan-gerakan sosial, terutama mahasiswa pada tahun 1970-1980an yang sangat kritis dan bangkit melawan kebijakan  pemerintahan dilumpuhkan dengan berbagai cara.

Pada sisi sebaliknya, produksi wacana dan hegemoni kekuasan orba kian mendominasi dan menghegemoni sistem sosial masyarakat Indonesia, termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa berubah menjadi arena pendisiplinan masyarakat untuk patuh kepada penguasa. Pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia berubah menjadi pendidikan yang mengebiri harkat dan martabat masyarakat Indonesia. Pendidikan yang seharusnya sebagai institusi paling kritis menyuarakan aspirasi masyarakat berbalik menjadi agen penindas di dalam masyarakat itu sendiri.

Pendidikan kita dewasa ini memang tidak lebih dari sekedar mesin pencetak tenaga kerja yang siap pakai untuk dunia industry. Pendidikan hanya sebagai pelengkap agenda liberalisasi ekonomi semata yang jauh sekali dari sikap kritis emansipatoris untuk membela kaum tertindas. Setelah peristiwa Reformasi 1998, sektor pendidikan malah semakin jauh dari realitas masyarakat proletar. Pendidikan malah menjadi institusi eksklusif karena hanya bisa diakses oleh kelas sosial tertentu. Hal yang paling parah lagi, pendidikan terlibat terlalu jauh dalam iklim indutrialisasi sehingga sikap ilmiah, dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kajian keilmuan, hanya menjadi proyek sampingan untuk mendapatkan keuntungan finansial semata. Pada tahun 1940-an tentunya kita tidak mempunyai ratusan akademisi yang bergelar Profesor, tidak mungkin kita mempunyai ratusan orang yang bergelar Doktor, bahkan orang yang bergelar Sarjana dan Magister tidak berjumlah ribuan seperti sekarang. Akan tetapi mengapa ratusan Profesor, ratusan Doktor, ribuan lulusan Magister dan Sarjana kurang memberikan dampak apapun atas kesejahteraan sosial masyarakat? Mengapa karya intelektual Indonesia kurang memberikan perhatian atas kondisi yang memilukan terkait praktik penindasan-penindasan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya? Minimnya karya yang berbobot dari intelektual dalam negeri untuk melihat masyarakat Indonesia secara luas, layaknya karya intelektual Indonesianis seperti Clifford Gertz, George Kahin, Herbert Feith, Benedict Anderson, Max Lane, dll, yang telah melakukan kajian masyarakat secara luas dan dipakai sebagai rujukan utama dalam melihat masyarakat Indonesia.

Pendangkalan Intelektual ini memang menjadi permasalahan pokok mengapa pendidikan Indonesia mutunya sangat rendah dan kalah bersaing dengan pendidikan di luar negeri. Pendangkalan yang dilakukan secara sistemik ini merupakan settingan langsung dari kekuasaan negara untuk mengondiskan kaum intelektual Indonesia agar tidak bersuara apapun atas penindasan yang dilakukan pemerintah. Hal yang sangat lucu, misalnya, ketika mahasiswa mendiskusikan peristiwa G30S, kampus malah membubarkan diskusi ilmiah yang seharusnya disikapi dengan kedewasan berpikir dan mengedepankan aspek kajian intelektual, bukan malah melakukan pembubaran secara paksa.

Perubahan radikal dalam sistem pendidikan merupakan pokok utama yang harus diusahakan sendiri oleh kaum intelektual. Penjajahan akademik, pembodohan keilmuan, dan pengingkaran terhadap tanggung jawab intelektual harus diselesaikan secepat mungkin. Stigma-stigma bahaya laten komunis dan politik identitas seharusnya sudah diberangus dari peradaban perguruan tinggi. Semangat ilmiah dan kemajuan progresif kaum intelektual untuk memajukan masyarakat harus berdasarkarkan pada sikap asketis dan kritik emansipatoris. Ini agar kampus tidak sekadar menjadi menara gading semata. Kampus jangan hanya menjadi agen pencetak tenaga kerja instan untuk kaum pemodal, tetapi harus sebagai pendorong kemajuan kepribadian nasional dan menjadi agen penyambung lidah masyarakat. Kalau pendidikan hanya berpihak pada pemerintah dan kaum pemodal saja maka tidak usah ada namanya lembaga pendidikan, tidak perlu ada kebijakan wajib belajar bagi masyarakat, karena belajar ataupun tidak belajar pendidikan hanya memberikan pembodohan bagi masyarakat Indonesia.***

Penulis adalah mahasiswa Pend. Sosiologi UNY, dan Anggota Mazhab Colombo
Sumber artikel indoprogress.com


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar