Areal PT. RAPP Pernah Terbakar Dan Upaya Hukumnya Cuma Ingin Menghindar Dari Kewajiban
GAGASANRIAU.COM JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghadirkan saksi ahli dan saksi fakta dalam menjawab gugatan PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP), Senin 11 Desember 2017, di sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
PT. RAPP, anak usaha Group APRIL, merupakan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI), yang berlokasi di Provinsi Riau, dengan luas konsesi 338.536 Ha.
PT. RAPP menggugat Menteri LHK ke PTUN untuk memohon pembatalan SK.5322/ 2017 tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) periode 2010-2019, yang akan berakibat diberlakukannya kembali RKU PT. RAPP yang tidak sesuai dengan kebijakan perbaikan tata kelola gambut tersebut.
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono yang bertindak sebagai Kuasa Hukum pihak KLHK, mengatakan penerbitan SK.5322/2017 adalah untuk membatalkan RKU sebelumnya yang tidak sesuai kebijakan strategis nasional Pemerintah RI dalam mencegah berulangnya kebakaran hutan dan lahan yang sangat dahsyat pada tahun 2015, yang terutama diakibatkan oleh kerusakan ekosistem gambut.
"Tadi sudah dihadirkan para saksi ahli hukum, seperti Prof. Zudan Arif Fakrullah, Prof. Philipus M. Hadjon, dan Prof. Asep Warlan Yusuf. Ketiganya menguatkan langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam hal ini Menteri LHK, bahwa langkah pemerintah bukan tindakan sewenang-wenang. Dalam proses penyesuaian RKU PT. RAPP maupun HTI lainnya terus difasilitasi oleh KLHK. Kalau PT RAPP menyatakan tidak ada respon dari KLHK, tadi juga sudah dijawab oleh para saksi ahli, bahwa respon dapat berupa pemanggilan untuk pertemuan, peninjauan lapangan,surat-menyurat, juga konsultasi," ujar Bambang.
Bambang lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah diterbitkannya PP 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, seluruh pemegang izin HTI yang ada gambut di dalam konsesinya diwajibkan melakukan penyesuaian RKU.
"Kebijakan perbaikan tata kelola gambut ini berlaku untuk semua pemegang izin usaha dan/atau kegiatan, bukan hanya PT. RAPP saja. Apalagi di areal konsesi PT. RAPP dan HTI APRIL group juga tercatat terjadinya kebakaran di tahun 2015-2016. Kita tidak akan tolerir upaya PT. RAPP menghindar dari kewajiban," tukas Bambang.
Bambang menjelaskan bahwa Menteri LHK sebelum berangkat menghadiri Paris One Summit mewakili Presiden Joko Widodo mengingatkan kembali, bahwa implementasi kebijakan pemerintah dalam perbaikan tata kelola gambut adalah wujud amanat Pasal 28H UUD 1945.
"Kita ingin menjelaskan bahwa langkah-langkah pemerintah dalam mewajibkan seluruh pemegang izin melakukan pemulihan fungsi ekosistem gambut, pada akhirnya bertujuan mencegah berulangnya terjadi karhutla, sebagai wujud amanat Pasal 28H UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat," jelas Bambang.
Pasal peralihan PP 71/2014
Dalam persidangan, Kuasa Hukum PT RAPP yang diwakili oleh Kantor Konsultan Hukum Zoelva & Partners, dan diketuai oleh Hamdan Zoelva, Hakim MK periode 2013-2015, mempertanyakan Pasal Peralihan dalam PP 71 Tahun 2014. PT. RAPP beranggapan bahwa kebijakan perbaikan tata kelola gambut tidak bersifat retroaktif, artinya PT. RAPP tidak dapat diwajibkan melakukan penyesuaian RKU berdasarkan kebijakan pasca terbitnya PP 57 Tahun 2016.
Saksi ahli hukum menjelaskan bahwa yang diatur dalam Pasal 45 PP 71/2014 itu adalah izinnya, yakni izin PT. RAPP tidak terganggu sampai habisnya masa berlaku izin. "Sedangkan kewajiban penyesuaian RKU dalam konteks izin, ada norma larangan dan perintah sebagai yuridis preventif, maka RKU adalah penindaklanjutan terhadap pemegang izin. Pasal 45 ini tidak terkait dengan RKU, karena penyesuaian RKU adalah kewajiban yang dilekatkan pada pemegang izin," ungkap Profesor Asep Warlan, yang merupakan Guru Besar di Universitas Parahyangan.
Sedangkan Profesor Philipus M. Hadjon, seorang ahli Hukum Tata Usana Negara dan Hukum Administrasi, yang juga merupakan Guru Besar di Universitas Airlangga, mengatakan bahwa Pasal 45 PP 71/2014 menjamin kepastian izin, tapi tidak berarti tidak diwajibkan menyesuaikan jika ada perubahan situasi, seperti misalnya terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan perlindungan ekosistem gambut.
Selain menghadirkan 3 (tiga) orang saksi ahli hukum, KLHK juga menghadirkan saksi ahli Prof Bambang Hero, Guru Besar di Fakultas Kehutanan IPB, yang menjelaskan bahwa terbakarnya areal konsesi PT. RAPP, tidak saja mengakibatkan kerugian ekonomi, namun juga menyumbangkan emisi gas rumah kaca yang luar biasa, serta mengganggu kredibilitas RI di mata dunia dan negara-negara tetangga.
Saksi ahli kebijakan publik, Dr. Agus Pambagio juga memberikan kesaksiannya dalam sidang PTUN Jakarta hari ini. Ia menjelaskan, pemerintah sebagai regulator punya kewenangan mengatur publik dan industri atau pelaku usaha supaya publik mendapatkan pelayanan yang baik dan industri atau pengusaha dapat mengembangkan usahanya, termasuk memberikan lapangan pekerjaan. Jika kondisi kebijakan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan publik dan dunia usaha, maka pemerintah harus dapat merevisi atau membatalkan kebijakan dan menggantikan dengan kebijakan baru.
"Kebijakan pemerintah tentu tidak boleh diskriminatif. PT. RAPP juga termasuk pemegang izin yang diwajibkan melakukan penyesuaian RKU dengan kebijakan perbaikan tata kelola gambut," pungkas Agus. Pada sesi akhir KLHK menghadirkan saksi fakta Dr. Ruandha Agung Sugardiman Direktur IPSDH terkait pemantauan kebakaran hutan dan lahan, Istanto Direktur Usaha Hutan Produksi terkait proses RKU dan Djati Witjaksono Hadi Kepala Biro Humas terkait liputan peninjauan lapangan dan rapat konsultasi RKU (RILIS).
Tulis Komentar