Riau

KTT Perubahan Iklim, KLHK Libatkan Wakil dari Riau

Ilustrasi
GAGASANRIAU.COM, JAKARTA - Indonesia mempertegas perannya sebagai negara terdepan dalam mengatasi perubahan iklim dunia. Mewakili Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutaan (LHK) Siti Nurbaya, Senin (11/12) telah berada di Paris, Perancis, untuk menghadiri KTT Perubahan Iklim One Planet Summit. 
 
Dalam agenda yang rencananya berlangsung hingga tanggal 14 Desember mendatang, turut hadir juga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin, serta perwakilan parlemen Noviwaldy Jusman dari DPRD Riau.
 
Penunjukan Noviwaldy yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Riau ini, dijelaskan Menteri LHK Siti Nurbaya sebagai bentuk keseriusan pihaknya mengawal agenda perubahan iklim hingga ke tingkat tapak.
 
''Pemerintah Indonesia sangat berharap banyak kepada Riau dalam pengendalian perubahan iklim. Selain lebih advance sejak REDD+ tahun 2011, juga terkait manajemen gambut,'' kata Menteri Siti.
 
Aspek hutan terutama gambut menjadi sangat penting dalam pencapaian target National Determination Contribution (NDC) Indonesia, karena 17 persen dari target 29 persen penurunan emisi GRK berasal dari sektor kehutanan. 
 
selain pengelolaan hutan berkelanjutan untuk pencapaian target NDC, Indonesia juga memiliki agenda lain seperti tata kelola gambut, perlindungan mangrove, restorasi ekosistem, ekowisata, keanekaragaman hayati, penegakan hukum, pengembangan investasi, dan perdagangan (trade). 
 
''Dengan restorasi dan manajemen gambut yang baik, penurunan emisi gas rumah kaca diharapkan bisa tercapai,'' kata Menteri Siti.
 
Dalam KTT Climate Summit di Paris, ada dua agenda pokok dan salah satunya yaitu agenda 'Accelerating Local & Regional Climate Actions'.  
 
''Saya berharap perwakilan dari DPRD Riau bisa mendapatkan insight, bisa diskusi dengan negara-negara lain bagaimana action daerah untuk perubahan  iklim. Karena Riau menjadi salah satu provinsi prioritas kita dalam hal tata kelola gambut, karena di wilayah ini gambut sudah sangat kritis,'' ungkapnya.
 
Dijelaskan Menteri Siti, Indonesia memiliki lebih dari 26 juta ha lahan gambut, atau lebih dari 12 persen atau total lahan hutan. Kandungan karbon lahan gambut mencapai enam ton per hektare dengan kedalaman 1 cm. Saat terbakar, inilah yang menjadi sumber masalah karena menghasilkan emisi yang sangat besar. 
 
Setelah bencana hebat tahun 2015 yang mayoritas terjadi di lahan gambut, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai langkah koreksi dari hulu ke hilir. Tidak lagi berfokus pada pemadaman rutin, tapi juga antisipasi dini dengan mengeluarkan berbagai regulasi yang lebih tegas dalam tata kelola gambut. Salah satunya PP perlindungan gambut.
 
Selain itu dilakukan penegakan hukum pada pelaku perusakan lingkungan hidup (baik berupa sanksi administrasi, perdata sampai pidana). Sepanjang tahun 2015-2017 telah dilakukan 1.444 pengawasan izin lingkungan. 
 
Adapun sanksi administratif di periode yang sama, telah dilakukan sebanyak 353 kali. Meliputi tiga sanksi pencabutan izin, 21 sanksi pembekuan izin, 191 sanksi paksaan pemerintantah, 23 sanksi teguran tertulis, dan 115 sanksi berupa surat peringatan.
 
Total putusan pengadilan yang sudah dinyatakan inkracht untuk ganti kerugian dan pemulihan (perdata), mencapai Rp17,82 triliun. Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP) senilai Rp36,59 miliar. Angka ini menjadi yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
 
Pemerintah juga memberlakukan siaga darurat dan sistem terpadu penanganan Karhutla dari pusat hingga ke daerah. Hasilnya di tahun 2016 dan 2017, Indonesia berhasil mengatasi karhutla dan bencana asap yang biasanya berulang terjadi selama hampir dua dekade. Luas areal karhutla menurun 98 persen dibandingkan Karhutla di tahun 2015.
 
''Ketegasan perlu dilakukan untuk melindungi jutaan rakyat Indonesia yang selama ini menjadi korban. Untuk itu gambut perlu dikelola dengan baik agar menjadi solusi potensial, terutama dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,'' kata Menteri Siti.
 
Persoalan gambut juga menjadi salah satu fokus utama yang dibawa delegasi Indonesia, saat menghadiri Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke-23 di Bonn, Jerman, beberapa waktu lalu. Dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negara, dunia internasional melihat bahwa pengalaman Indonesia menangani gambut dalam dua tahun terakhir, dapat menjadi contoh yang baik. 
 
Ke depan kata Menteri Siti, tantangan yang dihadapi adalah memastikan peran hutan dalam perubahan iklim, terutama untuk mencapai target pengurangan emisi dan menghasilkan manfaat lingkungan, serta pertumbuhan ekonomi lainnya.
 
''Sekaligus melindungi masyarakat serta memastikan kesempatan pembangunan yang adil untuk wilayah berbeda dengan situasi yang berbeda,'' tegas Menteri Siti.
 
''Kita ingin ada keterlibatan aktif masyarakat, untuk bersama-sama menjaga gambut, menjaga hutan, yang artinya sama dengan menjaga peradaban manusia,'' tutupnya.(RILIS)


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar