Hukum

KPK Didesak Segera Tetapkan 20 Korporasi HTI di Riau Tersangka

Kondisi Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Operasional PT RAPP
GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU —Organisasi lingkungan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak agar 20 Koorporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang beroperasi di Provinsi Riau segera ditetapkan sebagai Tersangka.
 
Hal ini menurut Made Ali, Koordinator Jikalahari berkaca dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong yang memutuskan menolak gugatan Nur Alam mantan Gubernur Sulawesi Tenggara terpidana korupsi kasus pemberian IUP kepada PT Anugerah Harisma Barakah terhadap ahli kerusakan lingkungan hidup Dr Ir Basuki Wasis, M.Si.
 
“Putusan ini mempertegas bahwa KPK segera menetapkan korporasi sebagai tersangka karena penghitungan kerugian ekologis dalam perkara korupsi memiliki dasar hukum" ujar Made kepada Gagasan Jumat (14/12/2018).
 
Karena kata Made, uji coba KPK pertama kali menggunakan penghitungan kerugian ekologis berhasil.
 
Sehingga katanya lagi tidak ada lagi alasan bagi KPK memperlama penetapan korporasi sebagai tersangka, ditambah pula telah ada hukum acara menangani korporasi, Perma 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
 
Dituturkan Made, dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Chandra Gautama serta dua anggota Andri Falahandika dan Ali Askandar menegaskan setiap ahli yang memberikan keterangan dalam persidangan harus mendapat jaminan perlindungan dan tidak dapat digugat secara perdata atau pidana.
 
“Putusan majelis hakim ini merupakan bentuk kepedulian penegak hukum terhadap perlindungan lingkungan dan perlindungan terhadap para pejuang lingkungan. Hakim telah memaknai prinsip
pro natura dengan bijak,” kata Made Ali.
 
Dan katanya lagi, putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Maret 2018 dengan nomor perkara 123/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst memvonis Nur Alam pidana penjara 12 tahun, denda Rp 1 miliar dan membayar uang pengganti sebesar Rp 2.781.000.000.
 
Kemudian katanya lagi, Nur Alam keberatan dengan kesaksian yang diberikan ahli Basuki Wasis terutama terkait perhitungan kerusakan lingkungan hidup. Basuki menghitung kerusakan lingkungan di lokasi tambang yang diakibatkan dari pemberian IUP.
 
Atas perhitungan tersebut, Basuki menyatakan kerusakan lingkungan dan ekologis akibat izin yang diterbitkan Nur Alam sebesar Rp 2.728.745.136.000 (2,72 triliun).
 
Atas kesaksiannya, Nur Alam menggugat Basuki Wasis pada 12 Maret 2018 di PN Cibinong. Basuki Wasis digugat karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian immateril sebesar rp 3 triliun dan ganti rugi materiil Rp 1,7 miliar.
 
Kemudian lanjutnya lagi, pada 17 Juli 2017, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan memperberat hukuman bagi Nur Alam dalam putusan nomor 16/Pid.sus-TPK/2018/PT.DKI.
 
"Ia dipidana penjara 15 tahun, denda Rp 1 miliar, membayar uang pengganti Rp2.781.000.000 dan pencabutan hak politik selama 5 tahun sejak selesai menjalani hukuman" terang Made.
 
Namun pada 13 Desember 2018, majelis hakim Mahkamah Agung yang diketuai Salman Luthan serta anggota LL Hutagalung dan Syamsul Rakan Chaniago mengurangi hukuman bagi terpidana korupsi tersebut.
 
Masa hukuman dikurangi dari 15 tahun menjadi 12 tahun dan membayar denda Rp 750 juta dengan subsidair 8 bulan penjara. Nur Alam juga harus membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar, jika tidak hukumannya akan ditambah 2 tahun penjara. Hak politik Nur Alam juga dicabut selama 5 tahun terhitung setelah ia selesai menjalani hukuman.
 
“Putusan ini cambukan bagi KPK agar segera menetapkan 20 korporasi kehutanan di Riau sebagai tersangka korupsi hutan alam Riau dengan menggunakan penghitungan kerugian negara berupa kerugian ekologis,” kata Made Ali.
 
Menurut Made, majelis hakim sudah mempertimbangkan perhitungan kerusakan lingkungan sebagai salah satu aspek dalam menghukum para pelaku koruptor.
 
Dan kata dia lagi, perhitungan kerugian ekologis juga jauh lebih progresif dibandingkan hanya menghitung kerugian negara yang muncul akibat tindakan korupsi.
 
Kemudian Made mencontohkan di Riau, dimana tindakan Gubernur Riau Rusli Zainal, Bupati Siak Arwin AS, Bupati Pelalawan T Azmun Jaafar dan 3 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau menerbitkan IUPHHKHT, RKT dan BKTUPHHKHT, telah memperkaya 20 korporasi HTI yang menikmati izin menebang hutan alam hingga kini.
 
“Seharusnya KPK juga bisa menyasar kerugian ekologis yang diakibatkan penerbitan izin tak sesuai prosedur oleh gubernur, bupati dan kepala dinas ini sehingga memperkaya korporasi HTI yang terus beroperasi,” kata Made.
 
"Sejak 11 tahun lalu pertama kali perkara Azmun disidangkan KPK belum berani menetapkan korporasi yang jelas-jelas menikmati manfaat dari penerbitan izin sebagai tersangka karena belum adanya payung hukum" tutup Made Ali.
 
Reporter Nurul Hadi
Editor Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar