GAGASANRIAU.COM, KUANSING – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai penganugerahan Bintang Mahaputera oleh Presiden Prabowo Subianto kepada 122 tokoh pada 28 Agustus 2025 menuai polemik dan tidak sejalan dengan ketentuan hukum.
Ia menyebut, proses pemberian tanda kehormatan itu sarat subjektivitas Presiden dan berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Menurut Hendardi, pasal 2 UU tersebut menegaskan sejumlah asas yang harus menjadi landasan pemberian tanda kehormatan, yakni asas kemanusiaan, keteladanan, kehati-hatian, keobjektifan, dan keterbukaan. “Penganugerahan tahun 2025 justru bertentangan dengan asas-asas itu, sehingga secara substansi patut ditolak,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa beberapa penerima tanda kehormatan terindikasi terlibat pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Nama Wiranto, misalnya, disebut dalam kasus Tragedi 1998 maupun pelanggaran HAM terkait Referendum Timor Leste. “Tokoh dengan catatan kelam seperti ini tidak layak memperoleh penghargaan tertinggi negara,” tegas Hendardi.
Selain itu, pemberian Bintang Mahaputera kepada mantan terpidana korupsi juga menuai kritik. Burhanuddin Abdullah, eks Gubernur Bank Indonesia yang pernah terjerat kasus korupsi, termasuk salah satu penerima. “Publik mencatat ia berperan dalam kebijakan ekonomi pemerintahan saat ini, tetapi statusnya sebagai eks koruptor membuatnya tidak pantas menyandang tanda kehormatan setinggi itu,” kata Hendardi.
Kritik juga diarahkan pada pemberian tanda kehormatan kepada sejumlah menteri Kabinet Merah Putih. Nama-nama seperti Teddy Indra Wijaya hingga Bahlil Lahadalia dinilai belum memiliki rekam jejak kontribusi nyata yang layak diganjar Bintang Mahaputera. Bahkan, beberapa di antaranya disebut dalam kasus dugaan korupsi. “Integritas para menteri ini tidak terbukti teruji. Pemberian penghargaan ini cenderung hanya bersifat politis,” tambahnya.
Penolakan publik, lanjut Hendardi, semakin memperlihatkan bahwa proses profiling calon penerima Bintang Mahaputera tidak dilakukan secara transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Kritik datang dari akademisi, intelektual, hingga aktivis masyarakat sipil yang mempertanyakan integritas dan jasa besar penerima.
Menurut SETARA Institute, penganugerahan yang dilakukan secara serampangan justru menurunkan kredibilitas dan nilai penghargaan negara. “Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk bagi praktik pemerintahan di masa depan,” ujar Hendardi.
Hendardi menegaskan, meski kecil kemungkinan Presiden Prabowo menganulir keputusan tersebut, publik harus terus mengingatkan bahwa tindakan negara, termasuk pemberian tanda kehormatan, wajib tunduk pada hukum.
“Mengabaikan hukum sama saja dengan melanggar sumpah jabatan Presiden sendiri,” pungkasnya.(*)