Daerah

Teori Pulau Cawan

gagasanriau.com ,Tembilahan-Beberapa waktu lalu saya melewati Pulau Cawan, yang terletak di Kecamatan Mandah, Indragiri Hilir. Memang, menyebut atau mendengar nama Pulau Cawan, maka terbayanglah Pantai Solop. Sebuah pantai yang memiliki keunikan tersendiri, yang tidak dimiliki pantai manapun di dunia, yaitu pasir putihnya bukan dari pasir, melainkan terbentuk dari kulit kerang dan tumbuhan laut yang dibawa ombak ke tepi pantai. Keberadaan hutan mangrove disepanjang pantai seolah memagari keindahan pantai alami ini. Jika pada hari raya sangat ramai dikunjungi. Apalagi menjelang petang, tawaran keindahan matahari terbenam (sunset) membuatmata tak berkedip memandang.

Lama saya memandangi hamparan pulau itu. Saya mencoba mencari makna dari bentangan alamnya. Sebab, kata pepatah alam terkembang menjadi guru. Paling tidak dapat memberi pemahaman dan pemaknaan lain atau lebih jauh akan sesuatu. Agar kita tidak hanya mengenali sesuatu itu dari satu sisi saja, tapi banyak sisi. Kadang, inilah cara saya mengasingkan diri dari kesibukan dan hiruk pikuk rutinitas pekerjaan. Mencari dan memahami makna dari sisi lain. Belajar dari hal-hal sederhana yang remeh temeh. Sesekali berpikir lain dari kelaziman. Jujur, terkadang dari kumpulan-kumpulan remah-remah itulah saya membangun konstruksi strategi. Apakah itu strategi pembangunan daerah, strategi politik, strategi organisasi dan strategi bisnis.

Pun Pulau Cawan memberi inspirasi bagi saya. Karenanya saya ingin membaginya kepada kita semua, sebagai aparatur pemerintah dan sebagai warga masyarakat. Yang mau saya bagi ini tentang bagaimana kita harus menempatkan diri dalam keseharian ketika menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat. Tak berlebihan jika saya menyebutnya “Teori Pulau Cawan”.

Seperti apa? Begini. “Cawan” itu memiliki makna sebagai mangkuk untuk makan nasi atau lainnya, atau cangkir yang tidak bertelinga atau lapik cangkir. Artinya ia adalah sebuah wadah/tempat yang akan digunakan untuk melayani si pengguna, baik itu untuk minum atau makan. Begitu juga halnya para aparatur pemerintahan, baik di kampung-kampung, desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi bahkan nasional, adalah sebagai cangkir-cangkir, mangkuk atau pun lapik cangkir yang menempatkan diri secara tulus, ikhlas dan profesional untuk menjadi tempat penyedia jasa layanan publik kepada masyarakat. Bukan sebaliknya. Apalagi dengan diberlakukannya Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik.

Karenanya, saya mengingatkan seluruh aparatur pemerintah agar dalam penyelenggaraan pelayanan publik senantiasa bekerja dan melakukannya berdasarkan azas; kepentingan umum,  kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, serta kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.

Juga harus diingat, ketika melakukan atau disaat memberikan pelayanan kepada masyarakat, komunikasinya harus tetap menggunakan Teori Pulau Cawan, karena menurut bahasa Wales, “Cawan” itu artinya cair. Nah, berkomunikasilah dengan baik, ramah, sopan dan santun. Selamat mencoba teori Pulau Cawan!

 


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar