Daerah

DPR Kampanye Terselubung dan "Politisisasi" Program Jelang Pemilu

gagasanriau.com ,Jakarta-"Masa jabatan saya akan berakhir pada Oktober 2014 selaku anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional dan saya akan kembali mencalonkan diri pada pemilu 9 April 2014 ini dan oleh karena itu dukungan bapak-bapak dan ibu-ibu sangat kami harapkan." Demikian salah satu kalimat yang disampaikan anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) asal daerah pemilihan (dapil) XI Madura ini dalam acara sosialisasi mitigasi bencara yang digelar Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkab Pamekasan. Anggota Komisi VIII DPR RI ini merupakan satu dari tiga narasumber yang diundang hadir menyampaikan sosialisasi mitigasi bencana. Pemateri lainnya adalah rekan seprofesinya di komisi VIII, yakni MH Said Abdullah dan seorang narasumber lagi dari Pemprov Jatim. Secara panjang lebar Ruba'ie menceritakan hal ikhwal pentingnya memperjuangkan alokasi anggaran dari pemerintah pusat untuk membantu mengurangi risiko bencana dan penanganan pascabencana, agar masyarakat korban bencana merasa diayomi dan diperhatikan oleh pemerintah. "Berkat upaya yang kami perjuangkan bersama anggota DPR RI dari Madura lainnya, maka Alhamdulillah, Pamekasan menjadi perhatian dan kini telah memiliki dana penanggulangan bencana," kata Rubaie. "Oleh karena itu, izinkan saya unjuk melanjutkan perjuangan ini menjadi wakil sampean semua bersama-sama Pak Said pada pemilu 9 April 2014," katanya menambahkan. Kampanye terselubung di balik program pemerintah sebagaimana dalam sosialisasi pengurangan risiko bencana (PRB) atau "mitigasi bencana" yang digelar pemkab Pamekasan ini, tidak hanya dilakukan oleh calon legislatif DPR RI. Praktik yang sama juga dilakukan hampir semua caleg yang memiliki akses langsung dengan pihak eksekutif. Seperti yang terjadi pada pelaksanaan program perbaikan rumah tidak layak huni atau bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS) di Kelurahan Kowel, Kecamatan Kota, Pamekasan. Salah seorang caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPRD Pamekasan juga memanfaatkan program eksekutif itu dengan menjadi tenaga pendamping program kegiatan itu. Caleg ini juga menegaskan kepada masyarakat penerima bantuan agar memih dirinya, karena berkat perjuangannya, maka warga miskin di kelurahan itu mendapatkan bantuan perbaikan rumah. "Jadi kami, para penerima bantuan ini, diminta untuk memilih dia, saat pemilu legislatif nanti. Alasannya, karena program bantuan perbaikan rumah itu atas perjuangan dia," kata salah seorang penerima bantuan, Amiruddin. Amir bersama 40 penerima bantuan stimulan perumahan swadaya di kelurahan ini menyayangkan adanya kampanye terselubung calon legislatif itu. Sebab menurut dia, bantuan itu bukan merupakan program politik, akan tetapi murni untuk kepentingan warga miskin. Bahkan, warga penerima bantuan mengecam adanya praktik kampanye terselubung di balik program bantuan rumah Kemenpera di Kabupaten Pamekasan itu, apalagi bantuan yang disalurkan tidak sesuai dengan ketentuan, yakni hanya disalurkan Rp3,5 juta dari seharusnya Rp7,5 juta. Perlu Pengawasan Khusus Dosen Ilmu Politik Universitas Madura (Unira) Pamekasan Abubakar Basyarahil menilai, upaya memanfaatkan program eksekutif sebagai ajang kampanye terselung sebagaimana dilakukan sebagian caleg di Pamekasan, memang telah menjadi fenomena umum. Apalagi oleh partai politik yang memiliki akses langsung ke pihak eksekutif. Dari sisi logika politik, kata dia, sebenarnya itu merupakan hal yang wajar, mengingat siapa saja yang memiliki akses media untuk melakukan sosialisasi, maka pasti akan melakukannya. "Namun dari sisi etika politik, memang nampak kurang baik," kata Abubakar Basyarahil. Upaya memanfaatkan program pemerintah atau yang ia sebut sebagai "politisasi program pemerintahan" tidak hanya terjadi di tingkat para polikus lokal saja, akan tetapi juga menjadi fenomena nasional. Menjelang pelaksanaan pemilu 2014, sudah banyak menteri dari partai politik tertentu yang blusukan ke daerah-daerah dengan alasan utama menyerahkan bantuan program. "Kedatangan menteri-menteri dari parpol itu memang tak bisa disalahkan, kendatipun tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, karena di balik itu semua ada misi politik untuk kepentingan partainya," kata Abubakar. Hanya saja, jika hal itu dibiarkan, maka akan tercipta persaingan politik yang kurang sehat. Sebab, tidak semua perwakilan partai politik di Indonesia memiliki akses pemerintahan, dan apabila dibiarkan akan menimbulkan kecemburuan sosial dan persaingan politik yang kurang sehat. Oleh karena itu, kata Abubakar, penyelenggaran pemilu di tingkat pusat perlu mencermati fenomena ini dengan cara membuat aturan terkait adanya praktik "politisasi program pemerintahan" itu. Menurut anggota Pantia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pamekasan Sapto Wahyono, upaya untuk mempersempit ruang gerak caleg untuk melakukan "politisasi program eksekutif" sebenarnya telah dilakukan pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Nomor: B.2013/KMK/D.VII/X/2013 tentang Larangan Pemanfaatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri untuk Kegiatan Politik Praktis. Berdasarkan SE itu, kata Sapto, Panwaslu Pamekasan kemudian menyampaikan rekomendasi kepada Pemkab melalui instansi terkait yakni Dinas Pekerjaan Umum agar lebih ketat melakukan seleksi kepada warga yang hendak direkrut menjadi pelaksana kegiatan pembangunan. "Dalam rekomendasi itu secara spesifik kami memang menyebutkan program PNPM, karena hal ini memang sesuai dengan surat edaran Menko Kesra," kata Sapto. Sebenarnya, menurut Sapto, rekomendasi Panwaslu itu tidak hanya untuk PNPM saja, akan tetapi juga program lain yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan dan program pembangunan lainnya yang sifatnya bantuan, termasuk, program bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS) yang kini dilaksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera). Direktur Forum Kajian Kebijakan Publik Pamekasan Muid Syakrani berpendapat, perlu adanya upaya transparansi pada setiap program yang dilaksanakan pemerintah untuk menghindari adanya upaya politisasi atau kegiatan kampanye terselubung yang akan dilakukan caleg. Semisal mengumumkan kepada publik melalui media website di masing-masing instansi pemerintah dan media massa lainnya, jauh sebelum program itu dijalankan. Sehingga, dengan cara seperti itu, maka caleg akan merasa enggan untuk mencari keuntungan dibalik program itu. "Sebab dengan cara seperti itu, kan masyarakat akan tahu, bahwa program itu dari eksekutif bukan dari si caleg yang nebeng berkampanye itu," kata Muid. Selama ini, ujarnya, memang ada kesan bahwa program yang menyentuh kepentingan masyarakat banyak disembunyikan dan publikasinya terkesan kurang. "Entah karena eksekutifnya yang kurang respons terhadap media publikasi, atau karena disengaja agar bisa dimanfaatkan parpol tertentu. Yang jelas, apabila publikasi kurang, maka kecenderungan untuk dimanfaatkan akan semakin terbuka," katanya menjelaskan. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini juga meminta agar institusi penyelenggara pemilu, termasuk panitia pengawas bisa peka terhadap adanya upaya politisasi program pemerintahan itu, sehingga pelaksanaan pemilu benar-benar sesuai dengan harapan, yakni jujur, adil tanpa adanya praktik menyimpang yang merugikan salah satu pihak. (Ant)


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar