GAGASANRIAU.COM, PEKANBARU — Sikap ngotot untuk mengesahkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW ) atas nama proyek nasional oleh Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman dan Ketua Panitia Khusus (Pansus RTRW ) dicurigai ada udang dibalik batu. Pasalnya sikap mgotot ini ada indikasi untuk meloloskan beberapa kawasan ilegal industri kehutanan dan perkebunan yang ada di Bumi Lancang Kuning ini.
"Jikalahari mengkritik pernyataan Ketua Pansus DPRD Riau dan Gubernur Riau saat Rapat Percepatan Pengesahan RTRWP Riau di Gedung DPRD Riau pada Rabu 10 Mei 2017" kata Woro Supartinah Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) kepada GAGASANRIAU.COM Minggu ((14/5/2017).
Hal ini kata Woro, sebagaimana sebuah pernyataan di sebuah media harian di Riau pada Mei 2017, Asri Auzar Ketua Pansus RTRWP Riau mengatakan pihaknya meminta KLHK mengeluarkan 142 desa dari kawasan hutan untuk percepatan pembangunan strategis nasional Riau.
Senada dengan Gubernur Riau Andi Rahman mengatakan pembahasan RTRWP Riau terkait projek strategis nasional telah dibincangkan dengan pihak terkait dari kejaksaan dan pemerintah.
Andi Rachman juga mengatakan kehadiran KLHK dan KPK dapat mempercepat pengesahan Ranperda RTRWP Riau. Menurut Andi Rahman semua (proses RTRWP Riau) dilakukan secara terbuka sehingga tidak ada yang bermain.
“Mengapa Pansus DPRD Riau dan Gubernur Riau mendorong pengesahan Ranperda RTRWP Riau karena kepentingan projek nasional, dan bukan karena kepentingan rakyat Riau yang hutan tanahnya dirampas oleh korporasi HTI, Sawit dan Tambang di Riau?” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
“Temuan Jikalahari proyek nasional yang dimaksud justru sebagian besar berasal dari Industri Kehutanan dan Perkebunan, yang diantaranya PT Riau Andalan Pulp and Paper/PT Sateri Viscose International (Rayont Plant), Perusahaan-perusahaan perkebunan swasta (perkebunan, pabrik kelapa sawit, jalan produksi), perusahaan-perusahaan tambang dan pengeboran minyak yang dikelola oleh swasta. Tidak satupun pertimbangan percepatan pengesahan RTRWP itu untuk rakyat" urai Woro.
Data Bappeda Provinsi Riau yang disampaikan kepada Gubernur Riau per Februari 2016 berjudul “Investasi yang tertunda proses perizinannya di Propinsi Riau yang disebabkan belum selesainya Perda RTRW”. Padahal potensi korupsi sangat tinggi dalam proyek strategis nasional tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa praktek-praktek perijinan industri kehutanan dan perkebunan lekat dengan praktek-praktek koruptif.
“Terkait 142 Desa yang diusulkan dilepaskan dari kawasan hutan, “perlu dilihat itu desa yang dikuasai cukong dan jaringannya atau tidak? Karena temuan Jikalahari, dominan desa-desa yang berada dalam kawasan hutan saat ini hutan tanah masyarakat adat dan tempatan telah dikuasai cukong dan korporasi,” kata Woro Supartinah.
“Sepanjang Andi Rahman menjabat Gubernur Riau, belum pernah melakukan konsultasi dan menyerap aspirasi masyarakat terdampak yaitu masyarakat adat dan tempatan terkait pembahasan RTRWP Riau,” kata Woro. Bagaimana kemudian bicara percepatan pengesahan RTRWP ketika proses dan pertimbangan keputusannya tidak mengakomodir kepentingan dan kesehjahteraan masyarakat lokal?
“Masyarakat adat dan tempatan Riau saat ini butuh hutan tanahnya yang dirampas oleh korporasi HTI, Sawit dan Tambang serta migas dikembalikan agar rakyat bisa sejahtera mengelola hutan tanah untuk hidup berkelanjutan. Mereka punya kearifan dalam menjaga dan menyeimbangkan ruang kelola dan ruang ekologis.”
Masih ada waktu bagi Pansus DPRD Riau dan Gubernur Riau untuk berpihak pada ruang kelola masyarakat dan ruang ekologis, ketimbang berpihak pada kepentingan segelintir kelompok pemodal"tutup Woro.
Editor Arif Wahyudi