Misi Kemanusiaan FPR-APSI-KPJ

Jeritan Pengungsi dan Nasib Korban Terhimpit Reruntuhan Tsunami Palu

GAGASANRIAU.COM, PALU - Bencana alam selalu menyisakan cerita dan kisah duka yang memilukan. Tidak terkecuali bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang meluluh-lantakkan Palu, Sigi dan Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah, 28 September lalu.
 
Tim Kemanusiaan Forum Pemred Riau (FPR), Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Riau dan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Pekanbaru yang turun langsung ke Palu sejak Senin (5/11/2018) lalu, mencatat banyak hal pasca- bencana dahsyat tersebut. Tidak saja tentang wajah kota Palu, Donggala dan Sigi yang dipenuhi puing-puing runtuh berbagai bangunan, tetapi juga nasib para korban baik yang masih hidup maupun masih tertimbun di bawah reruntuhan. Entah kapan jasad-jasad yang menebarkan aroma busuk itu akan bisa diangkat.
 
Rachman, 69 tahun, adalah satu dari sekian banyak warga Palu yang lolos dari maut di lokasi Perumnas Balaroa, Palu. Namun sejumlah keluarganya, tak bisa selamat dari gempa dahsyat itu. Kini tak ada yang bisa dilakukan Rachman, selain tiap hari dari pagi hingga sore mendatangi lokasi Perumnas Balaroa untuk berharap jenazah anak dan isterinya, bisa ditemukan.
 
Ketika Tim Kemanusiaan FPR-APSI-KPJ mendatanginya, pria tua itu sedang menatap bangunan rumahnya yang ambruk. "Mereka masih di dalam. Tapi tidak ada daya saya untuk mengeluarkannya," kata Rachman, yang tampak sangat berharap ada pihak-pihak yang mau mendatangkan bolduzer, memindahkan puing-puing bangunan.
 
"Saya ingin isteri dan anak saya ditemukan untuk dapat dimakamkan secara layak," ujar Rachman dengan suara sendu.
 
Tak hanya Rachman. Parlin, yang kehilangan empat keluarganya, juga terlihat menatap reruntuhan di sebelah lain. Di sana, terkubur hidup-hidup lebih dari lima anggota keluarganya. Saat kejadian, ketika gempa datang dan disusul dengan runtuhnya bukit yang menggulung serta menimbun Perumnas Balaroa, Parlin bisa menyelamatkan diri. Tapi tidak dengan keluarganya.
 
"Masih banyak jasad yang dievakuasi, termasuk lima anggota keluarga saya. Kami tidak tahu apakah masih ada harapan untuk menemukan mereka dan menguburkannya secara baik-baik," kata Parlin yang juga tiap hari mendatangi lokasi bencana.
 
Parlin maupun Rachman kini hanya berharap para pencari besi tua yang memenuhi lokasi bencana mencari barang rongsokan, akan dapat menemukan keluarganya. "Makanya kami ke sini tiap hari. Sebab beberapa hari silam, ada penemuan jenazah oleh pencari barang rongsokan," katanya.
 
Ditagih Rumahsakit
 
Tim Kemanusiaan dari Riau yang berintikan Asep Ruhiat (APSI), Tun Akhyar (FPR) dan Budi Yusadi (KPJ) di sela-sela penyerahan bantuan, juga menemukan berbagai situasi menyedihkan yang dialami para pengungsi yang menempati berbagai 'kem pengungsian' baik di Palu, Donggala dan Sigi.
 
Seperti cerita pengungsi yang berada di lokasi Mesjid Agung Darussalam, Palu. Meski secara kebutuhan makan dan minum terpenuhi setiap hari, namun banyak hal yang menjadi tanda tanya tentang penanganan korban oleh pemerintah setempat.
 
Misalnya, soal cerita 1,5 ton rendang kiriman dari Pemerintah dan masyarakat Sumbar untuk korban bencana gempa-tsunami Sulteng. "Kami hanya mendengar soal rendang itu. Tapi tak pernah merasakannya," tutur Kasim, salah seorang pengungsi di halaman mesjid Agung Darussalam.
 
Begitu juga dengan bantuan lain berupa pakaian bekas dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang banyak berdatangan ke Sulteng, tapi tidak sampai ke warga yang membutuhkan.
 
"Lihat video ini. Ini para PNS yang berebut pakaian bekas. Yang baik-baik mereka ambil dan yang tidak layak baru diberikan pada kami para warga di pengungsian," kata Kasim.
 
Kasim yang juga pengurus salah satu LSM kemudian mengajak Tim Kemanusiaan FPR-APSI-KPJ ke sebuah tenda pengungsi yang ditempati Hairil Anwar, 45 tahun, yang saat gempa terjadi lompat dari rumah susun di Kelurahan Lere, Palu. Akibat kejadian itu, Hairil mengalami cedera pada perut, karena jatuh ke tanah dengan posisi tertelungkup.
 
Hairil kemudian dirawat beberapa hari di RSUD Anatapura Palu. Tapi ketika sudah diperbolehkan pulang ke tenda pengungsian, betapa kagetnya Hairil karena ditagih biaya berobat sebesar Rp1,8 juta lebih. "Mana ada kita punya uang untuk bayarnya," kata Hairil.
 
Karena tidak mampu bayar, akhirnya Hairil terpaksa membuat perjanjian dengan pihak rumah sakit. Dia diminta membayarnya paling lambat 5 bulan dengan jaminan KTP ditahan.
 
"Semestinya karena ini bencana alam, warga tidak dibebani biaya. Negara atau pemerintah yang harus menanggung pengobatan. Tapi ternyata kok begini?" Ungkap Kasim.
 
Kasim sendiri sudah mencoba membantu Hairil mengurus Jamkesmas. Tapi ternyata, pihak Jamkesmas tidak bisa mengabulkannya dengan alasan tidak ada anggaran untuk itu.
 
"Ini menjadi tanda tanya bagi kami. Kemana saja uang bantuan dari berbagai daerah dan negara. Apakah dana bantuan itu tidak bisa digunakan untuk masyarakat yang ditimpa musibah bencana ini," kata Kasim.
 
Keluhan Kasim, kebingungan Hairil soal utang di rumah sakit, adalah secuil cerita tentang jeritan para korban selamat bencana gempa, tsunami dan likuifaksi Sulteng.
 
Di banyak titik lokasi pengungsian lain, juga berkembang pertanyaan lain, apakah pemerintahan Sulteng dan Pusat, akan membantu mereka untuk membangun kembali rumah-rumah mereka yang rusak.
 
"Banyak relawan dari daerah lain yang datang ke sini dan berbagi informasi dengan kami. Katanya, waktu gempa di Padang, Yogya, dan juga Aceh, masyarakat mendapat bantuan untuk membangun atau merehab rumah yang rusak. Kami tidak tahu bagaimana nasib kami di sini," kata Kasim.
 
Editor: Arif Wahyudi


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar