Opini

Polemik SKM dan SKTM

Erwhin Widyanto, SE

Dua singkatan yakni SKM dan SKTM menjadi buah bibir masyarakat belakangan ini. Keduanya menjadi topik terhangat di tengah ingar-bingar pandemic Covid-19. Susu Kental Manis (SKM) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) mengisi lembaran berita baik di media mainstream maupun media sosial.

Produk kental manis atau dahulunya disebut dengan susu kental manis (SKM) masih menjadi polemik berkepanjangan di tengah masyarakat. Persepsi masyarakat bahwa produk kental manis merupakan salah satu produk susu yang layak dikonsumsi oleh setiap keluarga Indonesia termasuk anak-anak sudah tertanam sejak puluhan tahun.

Padahal, secara jelas dan tegas para ahli menyatakan bahwa produk kental manis tersebut ternyata 50 persen bahan yang terkandung di dalamnya adalah gula, dan bahan susunya hanya sedikit sekali di dalamnya.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan aturan tentang label, promosi dan penggunaan produk kental manis melalui PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Peraturan tersebut menyebutkan aturan akan disosialisasikan selama 30 bulan untuk memberi cukup waktu perbaikan label bagi produsen susu kental dan analognya.

Hal itu disebabkan iklan SKM itu telah mempengaruhi pola pikir masyarakat yang menganggap SKM itu setara dengan susu formula selama puluhan tahun. Walaupun SKM ini masih memiliki kandungan susu dengan kadar yang rendah, tetapi bukan sebagai pengganti ASI bagi anak bayi.

Anggapan masyarakat pun harus diubah dengan cara “memaksa” produsen untuk mengubah label iklan pada produk tersebut. Tidak sedikit masyarakat yang mengonsumsi produk susu kental manis.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata pengeluaran masyarakat Riau per orang per bulan untuk kelompok makanan telur dan susu sebesar Rp 38.197. Nilai yang cukup besar setelah beras; rokok; ikan, udang, cumi, dan kerang; dan sayur-sayuran. Konsumsi telur dan susu berada pada posisi kelima untuk konsumsi makanan diantara 14 jenis kelompok makanan, dengan catatan ini diluar konsumsi makanan dan minuman jadi. Komoditas susu tergabung dalam kelompok makanan telur dan susu.

Jika melihat wilayah, rata-rata pengeluaran per orang per bulan untuk kelompok makanan telur dan susu lebih besar di daerah perkotaan dibandingkan daerah perdesaan.

Sebanyak Rp 46.119 dikeluarkan oleh masyarakat (per orang) yang tinggal di perkotaan untuk konsumsi telur dan susu dalam sebulan. Sedangkan di perdesaan hanya sebesar Rp 32.839.

Selain isu tentang susu kental manis, masyarakat juga tengah heboh masalah Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Ini merebak pada penerimaan murid baru di sekolah-sekolah negeri. SKTM memuluskan langkah untuk diterima bersekolah dan memperoleh jatah kursi di sekolah negeri. Aturan ini dikeluhkan oleh beberapa orang tua siswa yang anaknya tidak lulus.

Apa pasal?. Disinyalir banyak beredar SKTM palsu untuk meluluskan mereka yang kaya secara ekonomi. Jika ini terjadi maka pupus sudah kesempatan bersekolah bagi anak-anak miskin.

Padahal pendidikan di sekolah adalah bekal hidup untuk memutus rantai kemiskinan. Pada akhirnya angka putus sekolah pun membengkak. Merujuk pada data BPS tahun 2020, partisipasi sekolah menurun mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Artinya, ada tendensi bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit yang melanjutkan sekolah. Ini dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM) Riau tahun 2020 untuk tingkat jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SLTA.

BPS juga mencatat masih ada 0,77 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta huruf di Riau. Selain itu, masih terdapat 26,41 persen dari penduduk berusia 7-24 tahun yang tidak bersekolah.

Melihat semakin rendahnya kategori jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan, maka kualitas sumber daya manusia Riau tahun 2020 menjadi kurang berkualitas. Ini menjadi ancaman serius bagi kualitas sumber daya manusia Riau. Padahal Indonesia termasuk Riau akan mengalami bonus demografi pada 2020-2030.

Situasi ini mesti diselesaikan sebaik mungkin jika ingin meningkatkan partisipasi sekolah anak-anak, khususnya mereka yang tersandera masalah kemiskinan. Melihat begitu pentingnya pendidikan formal sebagai bekal masa depan yang lebih cerah. Terutama untuk kemajuan bangsa dengan sumber daya yang unggul.

Di sisi lain, kecukupan gizi anak -anak juga mesti menjadi perhatian serius. Pemerintah diharapkan meningkatkan program perbaikan gizi yang menyentuh usia siswa, misalnya dengan pemberian makanan bergizi di sekolah. Jangan sampai hanya
mengandalkan SKM yang hanya mengandung sedikit susu sebagai penunjang gizi.

Erwhin Widyanto, SE
Koordinator Statistik Kecamatan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekanbaru


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar