Opini

Dampak Perang Dagang Cina Vs Amerika, Indonesia Berpihak Kemana?

Yhudi Juliandra Dinata

Perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat pasca kebijakan yang diambil presiden Donald Trump, sangat berdampak luas bagi perekonomian dunia.

Perang dagang bermula karena Trump kesal dengan neraca perdagangan negaranya yang selalu tercatat defisit dengan China. Untuk itu, ia memilih langkah proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangan AS. 

Trump memutuskan untuk menaikkan bea masuk impor panel surya dan mesin cuci yang masing-masing menjadi 30 persen dan 20 persen. Sejak saat itu, tepatnya 22 Januari 2018, perang dagang pun dimulai.
Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok tampaknya semakin tidak bisa dihindarkan.

Imbas perang dagang ini tentu harus secepatnya diantisipasi agar tidak berdampak secara sistematis. Realitas ini menjadi peringatan bagi semua negara karena dominasi Amerika Serikat sebagai adidaya pada tatanan globalisasi kini mendapat tandingan dari Tiongkok yang menjadi kekuatan baru pada era baru perdagangan global. 

Setidaknya daya saing Tiongkok menjadi faktor di balik sukses merajai pasar global sehingga nilai jual produk made in China sukses di pasaran. Fakta ini juga diperkuat oleh ketersediaan tenaga kerja yang melimpah di Tiongkok sehingga tarif menjadi lebih kompetitif. 

Peran teknologi dan inovasi juga memperkuat daya saing produk-produk made in China. Ironisnya, daya saing produk made in Indonesia melemah karena terpengaruh nilai tukar rupiah yang terperosok di level Rp14.000 dengan prediksi bisa menyentuh Rp15.000 per dolar Amerika Serikat.

Jika ini terjadi, ancaman terhadap daya saing produk made in Indonesia akan kian besar dan tentu berdampak terhadap neraca perdagangan. Artinya, imbas perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok Tampaknya semakin krusial, terutama imbas terhadap perekonomian di mayoritas negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Fakta ini secara tidak langsung menegaskan bahwa kesuksesan pemilihan kepala daerah pada akhir Juni lalu tidak menjamin ekonomi Indonesia tumbuh positif karena rupiah terus terpuruk dan ancaman dampak perang dagang kian mengkhawatirkan, sementara pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak nonsubsidi dan suku bunga acuan 50 basis poin menjadi 5,25%.

Menyikapi perkembangan tersebut, Indonesia harus cerdas dan tepat menentukan sikap dan akan berpihak kemana. Keberpihakan akan menjadi keniscayaan, tergantung dari warna dan pandangan politik kelompok yang ada di panggung pemerintahan. Setiap pilihan akan membawa konsekuensi, tidak hanya ekonomi 270 juta penduduk negeri tetapi menyangkut takdir NKRI. 

Pemeo yang menyatakan bahwa ‘gajah lawan gajah, pelanduk mati ditengah-tengah’ harus disingkirkan dari benak setiap anak bangsa yang cerdas. Kita ubah menjadi ‘gajah lawan gajah pelanduk ketawa dipunggung gajah’. 

Perlu diingat bahwa di Asia akan terbelah menjadi dua kelompok. Mereka yang berpihak ke AS adalah Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Thailand, Malaysia, India, dan Filipina. Adapun yang berada pada sisi China adalah Korea Utara, Myanmar, Laos, Kamboja, Pakistan dan Singapura. Indonesia kemana?

Penulis: Yhudi Juliandra Dinata


[Ikuti GagasanRiau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar