Forum Gambut dan Mangrove (FGM) menilai rencana kunjungan kerja Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marvest) ke Indragiri Hilir bertentangan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo terkait rehabilitasi mangrove, G 20 dan Riau Hijau.
Rencana kunjungan Menteri Luhut ke Indragiri Hilir berawal dari kunjungan kerja Gubernur Riau Syamsuar pada 7 Januari 2021 ke kantor Kemenko Marvest. Dalam kunjungannya Gubernur Syamsuar menyampaikan pembangunan foofd estate (lumbung pangan), hilirisasi sawit dan kelapa serta replanting sawit dan karet, termasuk pengembangan kawasan mangrove yang dipadukan dengan budidaya kepiting, lobster, udang dan lainnya.
“Di Inhil, kawasannya mangrovenya sangat luas. Ini potensi ekonomi yang luar biasa,” kata Syamsuar
Penyampaian Syamsuar ke Luhut, tidak sejalan dengan kebutuhan di Inhil saat ini. Yang dibutuhkan adalah rehabilitasi kawasan hutan mangrove yang rusak sebagai benteng untuk menahan naiknya air laut dan mengurangi dampak perubahan iklim. Saat ini ribuan hektare kelapa masyarakat mati akibat intrusi air laut.
“Masyarakat membutuhkan lingkungan yang lestari sehingga dapat meningkatkan ekonomi berbasis kearifan lokal, bukan investasi yang justru akan memperparah kerusakan ekosistem mangrove seperti yang sebelumnya,” kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari, Inisiator FGM
Selain itu, investasi budidaya kepiting, lobster, udang di kawasan mangrove yang di rencanakan oleh Syamsuar dan Luhut bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi saat peninjauan Mangrove Concervation Forest pada 2 Desember 2021 terkait persiapan pertemuan G
20.
"Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam rangka perubahan iklim, akan kita tunjukan keseriusan kita merestorasi hutan mangrove, gambut dan lahan-lahan kritis yang ada di negara kita secara konkrit dan real di lapangan,” kata Jokowi
Temuan FGM di Kecamatan Pulau Burung, tambak udang dan ikan yang dikelola oleh PT Sambu Grup justru merusak ekosistem mangrove, PT Sambu merubah hutan mangrove menjadi tambak udang dan ikan. Menurut Illyanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Indragiri Hilir, saat ini tutupan hutan mangrove di Pulau Burung hanya tersisa 0,23%1.
Dalam dokumen Riau Hijau luas mangrove di Inhil pada 1990 seluas 112,568 hektare, yang tersebar di 15 Kecamatan. Pada 2019 luas mangrove di Inhil tinggal 95.608 ha. Terjadi pengurangan tutupan hutan mangrove seluas 16.960 selama 29 tahun.
Dampak dari kerusakan mangrove menyebabkan kerusakan tanaman kelapa sudah sampai pucuk sekitar 100.000 hektare dari 450.000 hektare luas perkebunan di Inhil. Kerusakan terparah salah satunya adalah kebun kelapa rakyat di Dusun Sungai Bandung, Desa Tanjung Pasir lebih 1.500 hektar mati total.
“Dampaknya, lebih 200 kepala keluarga di dusun tersebut melakukan eksodus untuk mencari kehidupan baru, akibat hilangnya sumber kehidupan,” kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari, Inisiator FGM
Bukan hanya sumber penghidupan, rusaknya mangrove juga mengakibatkan abrasi sehingga merusak pemukiman warga di Desa Kuala Selat. Hingga kini, ada 36 rumah milik hanyut dan rusak berat.
“Harusnya Syamsuar bicara pemulihan mangrove untuk menyelamatkan pemukiman dan kebun kelapa masyarakat dan mewujudkan Program Riau Hijau,” kata Okto
FGM meminta Gubernur Syamsuar memfokuskan rehabilitasi kawasan mangrove untuk perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan rakyat.
Tulis Komentar