gagasanriau.com-Berjuang dan belajar, tanpa belajar tak mungkin bisa berjuang. Itulah semboyan seorang pejuang anti-kolonial paling konsisten, Aliarcham, saat menjalani pembuangan di Boven Digul, Papua.
Sekalipun dalam situasi tidak bebas, bahkan di bawah tekanan, Aliarcham terus belajar dan memperdalam teori marxis-nya. Ia bahkan mempelajari banyak bahasa. Ia juga tak berhenti menyimak perkembangan situasi melalui Koran. Inilah mungkin yang disebut filsuf Slovenia Slavoj Žižek: “Kurangnya kebebasan bergerak tidak membatasi kebebasan berfikir.”
Tak salah kemudian, pada tahun 1959, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) mengabadikan namanya: Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham”. Sayang, pasca peristiwa G/30.S, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham turut dibubarkan paksa.
Memilih jalan perjuangan
Aliarcham dilahirkan di sebuah daerah di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada tahun 1901. Ayahnya adalah seorang pemuka agama. Karena itu, Aliarcham sempat mengenyam pendidikan di pesantren.
Selain itu, lantaran kedudukan sosial orang tuanya, Aliarcham juga sempat mengikuti pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Konon, Aliarcham tergolong murid yang pandai dan cerdas.
Aliarcham muda banyak mengenal Saminisme, sebuah ajaran yang disebarkan oleh Samin Soerantiko, seorang petani di Blora, yang menekankan persamaan dan kesederajatan manusia. Ajaran saminisme menentang penindasan dan penghisapan. Sebaliknya, ia mempromosikan kerjasama alias gotong-royong.
Aliarcham juga menggemari Koran-koran pergerakan, seperti Sinar Hindia (kelak berubah menjadi Koran “API” komunis), Suara Rakyat (ISDV), dan De Express (Indische Partij). Disinilah Aliarcham mengenal teori-teori perlawanan, khususnya marxisme. Ia kemudian bergabung dengan Sarekat Islam (SI) cabang Salatiga.
Pada bulan November 1917, akibat aktivitas politik radikalnya, Sneevliet diadili oleh pengadilan kolonial. Ia menyampaikan pidato pembelaan yang setebal 366 halaman. Isinya: analisa tentang situasi rakyat Hindia-Belanda dan gugatan terhadap imperialisme Belanda. Aliarcham sangat terpengaruh oleh pidato Sneevlit tersebut.
Pada tahun 1920, Aliarcham memasuki sekolah guru tingkat atas (Hogere Kweekschool, HKS) di Purworejo, Jawa Tengah. Saat itu, gerakan revolusioner sedang pasang. PKI resmi berdiri tanggal 23 Mei 1920. Saat itu, Aliarcham mulai terlibat dalam gerakan politik yang sedang bangkit. Pada tahun 1921, ia resmi bergabung dengan PKI.
Lantaran aktivitas radikalnya, juga pembangkangannya di sekolah, Aliarcham dikeluarkan dari sekolah guru. Itu terjadi pada tahun 1922. Namun demikian, Aliarcham tak menyesal sedikitpun. Baginya, pilihan hidupnya sudah jelas: menceburkan diri dalam perjuangan rakyat melawan kolonialisme!
Menurut Djamaluddin Tamin, seorang anggota PKI dari Sumatera Barat, begitu bergabung dengan PKI, Aliarcham banyak membantu memberikan pengajaran marxisme kepada massa rakyat. Ruth T McVey dalam bukunya, Kemunculan Komunisme Indonesia, menyebut Aliarcham sebagai “ahli teori yang bersemangat”.
Saat itu, pimpinan PKI adalah Semaun, bekas ketua Sarekat Islam (SI) cabang Semarang. Situasi jaman itu cukup revolusioner. Takashi Shiraishi, penulis buku “Zaman Bergerak”, menyebut “zaman partai”, yang ditandai dengan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Seiring dengan prose situ, kebangkitan perlawanan dan pemogokan buruh di berbagai tempat.
Tahun 1923, diadakan konferensi bersama PKI/SI Merah di Bandung, Jawa Barat. Ali Archam ikut ambil bagian. Konferensi inilah yang mengubah nama Sarekat Islam Merah menjadi Sarekat Rakyat (SR). Buku terbitan Akademi Ilmu Sosial “Aliarcham” pada tahun 1964, “Aliarcham, sedikit tentang riwayat dan perjuangannya, menyebut nama Aliarcham sebagai pencetus dan pemberi nama Sarekat Rakyat itu.
Aliarcham dibentuk oleh zaman itu. Ia terjun langsung dalam semangat revolusioner di jaman itu. Pemogokan datang silih berganti bak gelombang. Aksi-aksi pengeboman juga marak terjadi. Haji Misbach, seorang haji progressif anggota PKI di Surakarta, dianggap mendalangi aksi tersebut.
Bersamaan dengan itu, SR juga melancarkan propaganda di mana-mana. Aliarcham pun menjadi propagandis ulung. Pada tahun 1923, dalam sebuah rapat umum SR di Semarang, Aliarcham mengeritik pedas penguasa kolonial. Ia pun ditangkap dengan tudingan delik berbicara. Ia dijatuhi hukuman penjara 6 bulan.
Tahun 1924, ia keluar dari penjara dan langsung terjun kembali ke dunia pergerakan. Saat itu berlangsung kongres II PKI di Batavia (Jakarta). Kongres itu menunjuk Winanta sebagai ketua dan Budisucitro sebagai sekretaris. Usai kongres, Aliarcham menikah dengan seorang kawan seperjuangannya, Sukimah, aktivis SR wanita.
Hanya lima bulan pasca kongres, Winanta ditangkap. Alhasil, untuk melanjutkan roda organisasi, PKI menggelar kongres baru untuk memilih kepemimpinan baru. Kongres berlangsung di Jogjakarta. Di sini, peranan Aliarcham makin menonjol. Takashi Shiraishi mencatat dalam buku “zaman Bergerak”: Aliarcham menjelaskan beberapa usulan dari pengurus pusat PKI, seperti penghapusan SR yang borjuis kecil, pembentukan sel-sel inti PKI, mengintensifkan pengorganisiran di sektor buruh.
Ruth T McVey melihat garis strategi Aliarcham yang bertumpu ke “proletar”. Bagi Aliarcham, seperti ditulis Ruth McVey, sekalipun SR punya keanggotaan besar, tetapi kadar revolusionernya sangat kecil. Penyebabnya, sebagian besar anggota SR adalah kaum tani, yang notabene masuk kategori “borjuis kecil”.
Aliarcham menganjurkan agar PKI serius membangun serikat buruh revolusioner. “Abdikan dirimu dengan segala kekuatan bagi gerakan buruh,” demikianlah slogan pertemuan di Kota Gede. Lalu, diputuskanlah untuk membangun gerakan buruh, dengan pusatnya di Surabaya, Jawa Timur. Aliarcham ditunjuk sebagai Ketuanya.
Pada November 1925, terjadi pemogokan besar-besaran. Sebagian besar aksi pemogokan dipimpin oleh PKI. Pemerintah kolonial, yang ketakutan dengan kebangkitan gerakan buruh, segera menindas pemogokan dan menangkap pimpinannya. Desember 1925, Aliarcham dan sejumlah pimpinan PKI ditangkap.
Pada tanggal 24 Desember 1925, Aliarcham bersama kawan seperjuangannya, Mardjohan, dibuang ke Papua.
Setia kawan dan setia sampai akhir
10 Januari 1926, Aliarcham sudah tiba di Merauke. Di sana, ia masih sempat mengirim sura kepada kawan-kawannya di Jawa. Ia antara lain bilang, “Dengan selamat pada tanggal 10 Januari 1926, kami sudah sampai di Merauke, dengan melalui tempat-tempat: Makassar, Buton, Raha, Amboina, Saparua, Pirun, Banda, Bula, Wahai, Kokas, Fak-Fak, Kaimana, Kei eilanden dan Dobu.”
Setelah dari Merauke, Aliarcham dipindahkan ke Okaba, yang berjarak 127 km dari Merauke. Ia tinggal disana selama 1 setengah tahun. Lalu, seiring dengan pembuangan orang-orang PKI pasca kegagalan pemberontakan 1926/27, Aliarcham dipindahkan ke Tanah Merah (Boven Digul).
Terhadap pemberontakan PKI yang gagal itu, Aliarcham berpendapat sangat bijak: “Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang bersalah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara. Kita harus terus menggunakan waktu pembuangan ini untuk belajar pengetahuan Marxisme dan pengetahuan umum.”
Di dalam pembuangan, Aliarcham dianggap seorang kawan yang setia-kawan. Di Boven Digul, seperti diceritakan Mas Marco dalam buku “Pergaulan Orang Buangan Di Boven Digul”, banyak dipasang mata-mata dan pengacau oleh penguasa kolonial. Tak jarang diantara mereka adalah orang buangan juga. Karena itu, untuk melindungi kawan-kawannya, Aliarcham membangun organisasi pertahanan.
Di Boven Digul, banyak orang yang kecewa dengan kegagalan pemberontakan berusaha mencari cara untuk mendakwa pimpinan pusat (Hoofdbestuur) PKI. Salah satu diantaranya adalah bekas PKI dari Bandung, Sanoesi, yang menggalang sebuah komite penghakiman bernama “Comite Pertanyaan” —selanjutnya berubah menjadi CK (Comite Kebesaran).
Namun, propaganda Sanoesi dan CK itu membahayakan persatuan di kalangan orang buangan PKI di Boven Digul. Suatu hari, Ali Archam gerah juga dengan propaganda busuk CK dan orang-orangnya. Terjadilah pertengkaran antara Ali Archam dan Sanoesi. Sebuah bogem mentah pun mendarat di muka Sanoesi. “Untung sekali Sanoesi tidak berani melawan. Umpama berani, ia pasti masuk liang kubur, paling tidak diangkut ke rumah sakit,” kata Marco menceritakan pertengkaran itu.
Di sana, semangat juangnya tak pernah luntur. Di tempat pembuangan, ia tetap memperingati Hari Buruh Sedunia (1 Mei) dan Hari Kemenangan Revolusi Rusia (7 November). Seiring dengan kondisi Boven Digul yang buruk, kondisi Aliarcham juga terus merosot. Ia menderita sakit paru-paru.
Akhirnya, pada tanggal 1 Juni 1933, Ali Archam menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggalkan di tengah perjalanan untuk berobat. Ia dimakamkan di Boven Digul dengan upacara sederhana. Puisi Henriette Roland Holst, seorang penyair wanita dari Belanda, terukir di atas makam Aliarcham:
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangan kami yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan kata mulia/Hidup penuh harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut
Ira Kusumah- kontributor Berdikari Online