GAGASANRIAU.COM, JAKARTA - Aksi demonstrasi di Gedung DPR RI pada Kamis (28/8/2025) kembali diwarnai tindakan represif aparat kepolisian. Insiden paling tragis terjadi ketika sebuah kendaraan taktis Brimob (rantis) melindas seorang pengemudi ojek online yang ikut aksi solidaritas, hingga mengakibatkan korban meninggal dunia.
SETARA Institute menilai peristiwa tersebut bukan hanya pelanggaran prosedur keamanan, tetapi juga bentuk penggunaan kekuatan berlebihan yang mencerminkan kegagalan reformasi Polri. “Ini bukan sekadar insiden, melainkan masalah struktural dan kultural di tubuh kepolisian,” tegas pernyataan SETARA yang dirilis Jumat (29/8/2025).
Selain korban jiwa, sejumlah laporan juga menyebut adanya pemukulan, intimidasi terhadap tenaga medis, penangkapan sewenang-wenang, hingga penembakan gas air mata secara sembarangan. Menurut SETARA, hal ini menunjukkan Polri tidak belajar dari tragedi Kanjuruhan tahun 2022.
SETARA menegaskan, konstitusi dan undang-undang menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Pasal 28E UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998 jelas menegaskan kewajiban Polri untuk memberikan perlindungan, bukan justru melakukan kekerasan.
“Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang prinsip HAM di tubuh Polri hanya menjadi dokumen normatif tanpa implementasi di lapangan,” sebut SETARA. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk policy failure, di mana aturan ada, tetapi diabaikan.
SETARA juga menyoroti ketidakpatuhan Polri terhadap standar internasional, khususnya Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (PBB, 1990) yang mengatur asas legalitas, keperluan, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Mereka mendesak Kapolri tidak hanya menghukum anggota yang terbukti melakukan kekerasan, tetapi juga memberi sanksi kepada pimpinan kepolisian yang lalai. “Kapolri harus mencopot pimpinan terkait agar menjadi preseden dan efek jera,” tegas SETARA.
Di sisi lain, lembaga ini juga mengkritik elite politik yang dinilai bebal terhadap aspirasi rakyat. “Elite politik hanya hadir saat pemilu untuk meminta suara rakyat, tetapi mengabaikan partisipasi bermakna publik dalam keseharian. Sudah saatnya mereka melakukan refleksi substantif dan empatik,” tutup pernyataan tersebut.(*)