GAGASANRIAU.COM, JAKARTA – Jumlah peserta aksi cor badan dengan semen di depan Istana Negara pada 24 September 2025 bertambah menjadi 10 orang. Aksi yang awalnya hanya akan dilakukan oleh aktivis pejuang agraria Riau, Muhammad Ridwan, kini mendapat dukungan sembilan rekannya sesama petani dan pejuang agraria.
Kesepuluh orang tersebut adalah Riduan (40) asal Pekanbaru, Bujang (56) dari Kelayang, Sarif Padilah (28) dari Kelayang, Wamin (48) dari Lubuk Batu Jaya, Riki Reja Permadi (35) dari Peranap, Budi Utomo (48) dari Peranap, Samsuri alias Awi (43) dari Lubuk Batu Jaya, Cita (59) dari Lubuk Batu Jaya, Nasarudin (49) dari Peranap, dan Slamet (39) dari Lubuk Batu Jaya.
“Bertambahnya peserta aksi ini semakin membuktikan bahwa apa yang saya rasakan juga dirasakan kawan-kawan seperjuangan lainnya. Hal ini semakin membulatkan tekad kami untuk tetap melaksanakan aksi ini,” ujar Muhammad Ridwan, Rabu (17/9/2025).
Ridwan menegaskan, aksi ekstrem tersebut akan dilakukan tepat di depan Istana Presiden Jakarta. Ia hanya berharap dapat bertemu langsung dengan Presiden Prabowo Subianto untuk menyampaikan aspirasi kaum tani. Aksi ini, kata dia, merupakan bentuk protes terhadap situasi darurat agraria yang masih membelenggu rakyat di berbagai daerah.
“Aksi cor badan dengan semen adalah simbol betapa negara lewat kebijakan-kebijakan agraria telah membatasi akses rakyat terhadap tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan. Kami memprotes lambannya penyelesaian konflik oleh Kementerian Kehutanan dan ATR/BPN,” tegasnya.
Ridwan yang juga Ketua Serikat Tani Riau (STR) dan kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) selama ini dikenal sebagai simbol perlawanan masyarakat Pulau Padang dan sekitarnya dalam menghadapi ekspansi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Menurutnya, Riau kaya sumber daya alam, namun justru menjadi ladang konflik yang terus memiskinkan petani dan masyarakat adat.
“Sejak puluhan tahun lalu, tanah rakyat dirampas dengan dalih pembangunan. Puluhan ribu hektare kini diklaim milik perusahaan. Petani menjadi buruh di tanah sendiri, masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya,” kata Ridwan.
Ia menambahkan, konflik agraria bukan hanya soal hukum kepemilikan tanah, melainkan juga menyangkut masa depan petani, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Karena itu, ia mendesak pemerintah pusat dan daerah menjalankan reforma agraria sejati sebagaimana diamanatkan UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001.
“Tanpa keberanian negara melakukan pembaruan agraria, Riau akan terus menjadi lahan konflik. Tanah harus kembali kepada rakyat, bukan terus-menerus dikuasai segelintir korporasi,” tutup Ridwan.(*)